Tahun 2018 hanya tersisa 2.5 bulan lagi yaitu Oktober, November, dan Desember. Â Lalu, sudah sejauh manakah pencapaian target awal tahun ini? Â Semoga (mayoritas) resolusi tahun baru kita sudah tercapai. Â Tapi, bagaimana jika belum ada yang terlaksana karena satu dan lain hal, terutama karena kita menundanya?
Pepatah bijak "jangan tunda sampai besok apa yang bisa dikerjakan hari ini" sudah sering kita dengar. Â Tapi, kok ya masih saja kita menunda? Â Padahal kan kalau sudah selesai dikerjakan, hati dan pikiran pasti lebih ringan. Â Pengalaman pribadi hehe..
Nah, lalu apa sih yang membuat seseorang (tak terkecuali saya) suka dan sering menunda?  Kebiasaan menunda akan semakin terasa ketika batas waktu (deadline) untuk mengerjakan sesuatu masih lama.  Alasan terbanyaknya, "Kan masih lama ini!"
 Untuk pelajar dan mahasiswa, kebiasaan buruk 'SKS (Sistem Kebut Semalam)' saat ujian dengan begadang juga membuat badan dan pikiran ngos-ngosan.  Logika sederhananya, materi yang diajarkan berhari-hari harus diserap hanya semalam, fiuuh!
Maka itulah, menunda itu memang harus dikelola sehingga tidak membuat pusing kepala.  Jangan sampai karena kita ogah menunda, eh yang ada malah jadi tergesa-gesa.  Yuk, kita cermati penyebab penundaan dan kiat mengantisipasinya.
Pasti banyak penyebabnya kenapa seseorang sering menunda. Â Mulai dari rasa malas, sibuk, hingga benar-benar lupa menjadi faktor resiko terjadinya penundaan tindakan. Â Secara garis besarnya, ada tiga hal utama yang mengakibatkan kita menunda.
Pertama, Â kecenderungan seseorang untuk melakukan sesuatu dengan sempurna (perfectionist). Â Para perfeksionis ini cenderung menunda karena menurut mereka, masih saja ada yang belum sempurna sehingga harus terus diperbaiki sesuai (standar) mereka. Â Pola asuh dan lingkungan juga ikut membentuk karakter ini.
Penelitian dari American Psychological Association pada 2017 mendapati bahwa generasi milenial lebih perfeksionis daripada generasi sebelumnya. Â Para peneliti menemukan hasil yang menunjukkan generasi yang lahir setelah tahun 1980 menganggap banyaknya prestasi membuat mereka akan lebih dihargai secara sosial.
Kecenderungan menjadi perfeksionis ini pun terus bertambah jumlahnya di era media sosial. Â Orang akan saling membandingkan pencapaian mereka dengan orang lain via dunia maya. Â Bagi blogger, kebiasaan mengunggah artikel lomba di jam-jam terakhir deadline bisa jadi karena mereka melihat artikel blogger lain yang lebih awal dimuat (tampaknya) masih bisa mereka sempurnakan. Â Sedangkan juri lomba sudah terlatih untuk mencermati antara ide asli dengan ide 'asli plus revisi sana-sini.' Betul kan?
Kedua, orang yang sulit berkata 'tidak' terhadap permintaan orang lain (passive aggressive) juga beresiko seringkali menunda.  Ketika perfeksionis menunda karena memiliki standar luar biasa, maka si pasif-agresif menunda lebih karena tidak enak hati.
Perilaku pasif-agresif berupa penundaan pekerjaan ini akan lebih terlihat dengan adanya hirarki atau tingkatan. Â Contohnya, mahasiswa yang tidak menyukai dosen di mata kuliah tertentu lebih cenderung untuk menunda pengumpulan tugasnya dibandingkan mahasiswa yang menyukai ataupun netral terhadap sang dosen.
Bagaimana dengan para blogger? Sikap pasif-agresif ini berpeluang terjadi saat blogger menerima job berupa artikel berbayar.  Sebenarnya dia malas atau tidak tertarik untuk menerima job tersebut.  Tapi, faktor kedekatan dengan sang pemberi job maupun (besarnya) honor yang akan diterima membuat sang blogger pun sungkan menolak.  Job tetap diterima namun artikel dimuat di ujung waktu dengan kualitas ala kadarnya.
Ketiga, penundaan banyak pula terjadi pada orang-orang yang bersifat optimis (optimism bias).  Para optimistik ini memiliki keyakinan bahwa (segala) sesuatu akan membaik seiring berjalannya waktu.  Saking optimisnya, mereka cenderung untuk seringkali memandang hidup dari sisi baiknya saja dengan mengabaikan sisi buruknya.
Para peneliti dari City, University of London, University Oxford, dan Yale University pada Januari 2018 mendapati bahwa orang yang mempunyai bias optimisme akan beresiko memiliki penilaian yang keliru terhadap masa depan mereka. Misalnya, mereka menunda tabungan dana pensiun karena beranggapan tetap sehat sampai tua.
Begitu pula dengan blogger yang optimis sehingga (tak) khawatir hingga hari terakhir lomba blog. Â Resiko laptop bermasalah, listrik mati, apalagi server panitia lomba berulangkali down acapkali luput dari perhitungan para blogger yang optimis.
Saya sengaja memakai kata 'mengelola' karena ada masanya kita tidak bisa menghindari penundaan. Â Untuk Anda yang terbiasa bepergian dengan pesawat, delay penerbangan jelas di luar kuasa kita. Â Tapi, datang lebih awal ke bandara sehingga bisa naik pesawat sesuai jadwal jelas dapat kita biasakan dan usahakan. Â Setuju ya?
Untuk itulah, target yang spesifik menjadi solusi utama dan pertama untuk mengelola kebiasaan menunda. Â Semakin abstrak dan umum suatu tujuan, maka orang akan cenderung menunda. Â Ini sering terjadi pada orang yang sedang menjalani program diet. Â
Kalimat "Saya ingin mengurangi berat badan di tahun 2018 ini" tidak akan seefektif pernyataan spesifik, "Selama 12 bulan di tahun 2018, setiap bulan berat badan saya akan berkurang 1 kg dengan berolahraga setiap hari Minggu selama 2-3 jam."
Untuk blogger, konsistensi menulis di blog juga bisa dimulai dengan jadwal yang spesifik seperti posting setiap akhir pekan.  Namun, patut dicatat pula.Â
Spesifik tidak berarti kaku. Â Jika target seseorang (terlalu) detil, maka ketika dihadapkan dengan kegagalan, orang tersebut akan menunda untuk bergerak lebih lanjut (move on) karena terlalu terpaku dengan target awalnya. Â Idealnya, ada target spesifik plus alternatifnya.
Kecenderungan menunda juga dapat diminimalisir dengan chunking methods (membagi tugas besar menjadi bagian-bagian kecil). Â Seperti kota Roma yang tidak dibangun semalam atau "Rome was not built in a day", keliling dunia juga dimulai dengan satu langkah.Â
Pengalaman saya berulangkali membuktikan, persiapan (jauh) hari membuat kualitas pekerjaan itu meningkat sehingga memuaskan banyak pihak.
Saya masih ingat pesan bijak sekaligus praktis dariseorang profesor di kampus tentang penyelesaian tugas akhir kuliah (skripsi/tesis/disertasi). Â Kalimat beliau yaitu "Ingat, harus ada 1 lembar per hari tugas akhir yang diketik mahasiswa. Â
1 bulan, tak terasa ada 30 halaman yang dihasilkan." Â Bagi seorang akademisi yang meraih S3 beliau di Amerika Serikat saat berusia 31 tahun dan menjadi profesor di usia 41 tahun, nasihat beliau tersebut tentunya sangat cocok untuk dipraktekkan agar lulus kuliah tepat waktu.
Nah, target sudah spesifik dan dibagi dengan seimbang sesuai waktu yang tersedia, maka menghadiahi diri sendiri (self-reward) saat kita berhasil menyelesaikan suatu hal tanpa menunda adalah tindakan yang layak dilakukan. Â
Masih ingat kan, betapa senangnya saat kita diberi hadiah dari orang tua ataupun guru ketika berprestasi, sesederhana apapun hadiahnya? Self-reward dengan tak lagi menunda pun tak harus yang mewah. Â
Cukup hadiah sederhana namun  membuat senang dan tenang.  Kenangan manis itu otomatis membuat seseorang akan semakin termotivasi untuk tepat waktu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H