Mohon tunggu...
Khairunisa Maslichul
Khairunisa Maslichul Mohon Tunggu... Dosen - Profesional

Improve the reality, Lower the expectation, Bogor - Jakarta - Tangerang Twitter dan IG @nisamasan Facebook: Khairunisa Maslichul https://nisamasan.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nasib Pahlawan Tanpa Tanda Jasa di Hari Pendidikan

2 Mei 2018   11:51 Diperbarui: 2 Mei 2018   11:52 502
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Profesi guru mirip buah simalakama.  Mulia tapi jarang peminatnya.  Tidak sedikit pula yang menjadikannya batu loncatan.  Atau bahkan pilihan terakhir setelah gagal di profesi lain.  Mau buktinya?

Pertanyaan favorit saya kepada anak-anak usia sekolah adalah: "Mau jadi apa waktu besar nanti?" Maka berhamburanlah jawaban mereka.  Dokter, polisi, tentara, insinyur, arsitek, artis, penyanyi, pengusaha, ustadz, presiden, hingga pelawak (comic).  Waktu saya tanya lagi : "Ada yang bercita-cita jadi guru?"  Mayoritas jawabannya adalah keheningan bercampur kebingungan.      Saya lalu mengejar : "Kenapa enggak ada yang tertarik jadi guru? Profesi itu mulia.  Pahalanya juga banyak lho...."  Nah, barulah responnya bermacam.  Mulai dari gajinya kecil, tidak suka mengajar, sampai kurang bergengsinya status sosial-ekonomi guru di antara sesama profesi pengajar lainnya.  "Kalau dosen kan lebih keren.  Mengajarnya mahasiswa di kampus...." begitu satu jawaban yang pernah saya terima.  Duh, mirisnya......

Namun, begitulah fakta dan realitanya pada masyarakat di Indonesia.  Rata-rata para murid berprestasi di sekolah lebih memilih profesi selain guru.  Paling gampangnya, lihatlah persepsi para murid SMU terhadap universitas dan fakultas non-keguruan jika dibandingkan dengan universitas dan fakultas keguruan.  Fakultas kedokteran, teknik, dan ekonomi biasanya dianggap lebih bergengsi untuk dimasuki daripada fakultas pendidikan dan keguruan.

Mungkinkah karena itu, kualitas pendidikan di Indonesia masih jauh panggang dari api?  Ditambah lagi dengan adanya ungkapan untuk guru sebagai "Pahlawan tanpa tanda jasa."  Perannya sangat vital dan strategis dalam keberhasilan proses belajar-mengajar.  Sayang, baik keberadaan maupun kontribusi guru masih dianggap sebelah mata.    

Di Hari Pendidikan Nasional 2018 ini, kesejahteraan guru sebagai tulang punggung utama proses belajar di sekolah juga harus diperhatikan (tribunnews.com)
Di Hari Pendidikan Nasional 2018 ini, kesejahteraan guru sebagai tulang punggung utama proses belajar di sekolah juga harus diperhatikan (tribunnews.com)
Tak heran, kesejahteraan para guru pun seringnya terabaikan.  Apalagi bagi para guru honorer yang mengajar di daerah terpencil di pedalaman Indonesia.  Bukankah di Indonesia sudah lazim kita mendapati para murid diantar pulang-pergi oleh supir pribadi dengan mobil mewah sedangkan gurunya menaiki kendaraan umum.  Bisa jadi, profesi guru di Indonesia lebih kuat unsur pengabdiannya (atau malah pelariannya?) dan bukannya untuk meniti jenjang karir profesional.

Saya banyak mendapati para guru yang berdedikasi tinggi.  Wajarlah, mereka berulang kali dinobatkan sebagai guru terbaik dengan mencetak murid berprestasi sekaligus menjadi guru favorit para siswa.  Setiap materi pelajaran yang mereka ajarkan sudah dipersiapkan sebelumnya.  Pernah satu pagi, sekitar 2 minggu lalu, saya duduk di samping guru SD yang tekun membaca buku ajarnya untuk materi IPA di dalam bus Kopaja yang kami naiki bersama.  Luar biasa sekali persiapannya untuk mengajar.   

Ironisnya, ada pula oknum guru yang menjadikan kecilnya gaji mereka sebagai alasan untuk bekerja ala kadarnya.  Di awal jam pelajaran, guru tidak profesional tersebut hanya memberikan setumpuk tugas kepada siswanya sementara mereka meninggalkan kelas sepanjang jam belajar hingga bel pulang sekolah, entah ke mana.  Bahasa anak mudanya zaman kini yaitu "MaGaBut" atau Makan Gaji Buta.

Indonesia dapat mencontoh negara-negara Asia Timur yaitu Cina, Jepang, dan Korea Selatan yang sangat menghormati guru, dari tingkat guru TK sampai guru besar atau profesor.  Bahkan di Jepang, guru dianggap setara posisinya dengan pejabat pemerintah.  Meminjam istilah penggagas program Indonesia Mengajar yang kini menjabat sebagai Gubernur DKI, Anies Baswedan yaitu "VIP-kan Guru-guru Kita!"

Pendidikan yang merata dan berkualitas adalah kunci bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa yang besar dan berkelas (banjarmasin.tribunnews.com)
Pendidikan yang merata dan berkualitas adalah kunci bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa yang besar dan berkelas (banjarmasin.tribunnews.com)
 Saat simbiosis mutualisme (saling menguntungkan) sudah terjadi antara guru, rakyat dan pemerintah, maka harapan akan kemajuan pendidikan dan kesejahteraan guru Indonesia pastinya dapat menjadi kenyataan di masa depan.  Bangsa yang berjaya adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya, termasuk pahlawan tanpa tanda jasa yaitu para bapak dan ibu guru.  Salam pendidikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun