Akhir dan awal tahun identik dengan liburan. Lokasi wisata pun diserbu para wisatawan lokal dan asing. Turis yang berduit bisa pergi ke luar negeri sedangkan pelancong yang ala kadar dananya cukup (bahagia) berlibur di dalam negeri saja. #bukancurhat
Selain dana, pemilihan lokasi liburan juga dipengaruhi oleh informasi tentang obyek wisata yang tersedia. Sebelum adanya internet, keberadaan lokasi wisata lebih banyak diketahui dari promosi mulut ke mulut (words of mouth). Sekarang? Cukup mengetikkan kata kunci obyek wisata yang dituju di Google, maka ribuan barisan informasi via dunia maya pun bermunculan.
Lalu, bagaimana dengan kualitas informasi tersebut? Jelas ada artikel di internet yang kebenaran informasinya dapat dipercaya. Tapi tak sedikit pula yang kebenarannya informasinya bahkan tak sampai 50%! Idealnya sih, sebelum datang ke lokasi wisata, kita bisa menyurvei tempatnya dulu. Tapi, kalau tidak sempat, mau tak mau, googling di internet jadi solusinya.
Nah, berdasarkan kompilasi pengalaman pribadi dan curhatan dari sana-sini, saya pun mendapati ada 3 (tiga) poin yang seringkali berbenturan antara harapan dan kenyataan saat liburan. Apa sajakah ketiganya? Silakan terus membaca hingga akhir artikel ini ya.
Ternyata, bukan cuma urusan kencan yang kerap berurusan dengan manipulasi foto alami (apa adanya) manusia menjadi foto penuh pesona. Tempat wisata pun tak lepas dari urusan retouch untuk penampakan di media visualnya. Di foto website dan media sosialnya, mirip danau kelas dunia yang instagramable. Aslinya? Tak jauh seperti kolam pemancingan pada umumnya. Hadeuh, tepok jidat!
Junior saya di kampus pernah mengalami kasus serupa. Informasi dari internet menunjukkan satu lokasi wisata budaya lokal yang (tampaknya) luar biasa eksotis dan penuh nilai historis di Pulau Jawa. Apalagi website yang mengelola cagar budaya tersebut menunjukkan (lumayan) banyaknya turis asing di sana. Maka, bersama teman sekelasnya dengan semangat 45 --terutama mahasiswa dari luar Jawa-- dia mengunjungi tempat tersebut.
Okelah, harapan memang (seringnya) tak akur dengan kenyataan. Sejak mendengar cerita itu, saya pun mengurangi tingkat kepercayaan sekaligus harapan terhadap foto-foto tempat wisata yang dipasang di dunia maya hingga 30% sebelum mendatanginya langsung. Lebih baik berharap biasa saja namun ternyata aslinya malah luar biasa daripada sebaliknya, ya kan?
Ulasan trip memotivasi, aslinya bikin emosi
Kadang memang sulit untuk membedakan antara review yang berbayar dengan ulasan sukarela. Tapi, jujur saya lebih percaya dengan review yang berimbang, terutama untuk lokasi traveling. Kalau sang reviewer bisa menulis sisi positif plus sisi negatif obyek wisata yang pernah didatanginya, berarti sebagai calon wisatawan berikutnya, kita bisa lebih menyesuaikan harapan.
Keluarga paman dan bibi saya pernah terjebak macet berjam-jam dari dan ke lokasi wisata alam di Puncak yang beberapa tahun lalu sempat hits. Mereka termasuk orang tua modern yang melek internet sehingga sebelum ke sana, mereka (merasa) sudah cukup memiliki informasi setelah membaca banyak ulasan artikel di dunia maya serta media sosial tentang obyek wisata itu.
So, selain review yang berimbang di internet, maka pengakuan jujur dari keluarga, teman, dan rekan yang pernah mendatangi langsung tempat liburan itu, kini menjadi panduan saya saat traveling. Lebih baik lagi kalau mempunyai saudara dan kenalan yang merupakan penduduk asli di sekitar obyek wisata tersebut hingga mereka telah mengenal baik lokasi itu.