Produksi film perjuangan di Indonesia dalam 10 tahun terakhir ini memang cukup beragam dari segi kualitas dan kuantitasnya. Ada yang menceritakan tokoh, seperti "Soekarno", "Guru Bangsa: Tjokroaminoto", "Jenderal Soedirman", dan ada pula yang berbentuk animasi, yakni "Battle of Surabaya".
Sejarah produksi film bertema heroisme di Indonesia ternyata sudah lama sejarahnya, yaitu 67 tahun. Film 'Darah dan Do'a' adalah film perjuangan dan sekaligus film nasional pertama yang sepenuhnya diproduksi rakyat Indonesia dan disutradarai oleh Usmar Ismail pada tahun 1950.
Setahun kemudian, di tahun 1951, Usmar Ismail kembali menyutradarai film nasional kedua yang masih bertema perjuangan yaitu "Enam Djam di Djogja". Film yang masih berwarna hitam-putih ini berlatarbelakang peristiwa Serangan Umum (SU) 1 Maret 1949 di Yogyakarta.
"Enam Djam di Djogja" disebut film yang mewakili kondisi paling realistis tentang SU. Penonton disuguhi dengan kalimat pembuka yaitu tujuan film untuk menggambarkan kerja sama yang erat antara rakyat, tentara, dan pemerintah RI dalam mempertahankan kemerdekaan.
Jadi, tidak ada satu pun tokoh yang menonjol dalam film "Enam Djam di Djogja". Film ini memang lebih mengisahkan tentang kondisi nyata rakyat Indonesia --diwakili masyarakat Yogya-- ketika Belanda kembali gencar untuk menguasai Indonesia setelah Proklamasi tahun 1945.
Namun, segala keterbatasan Indonesia sebagai negara yang baru merdeka, ditambah dengan Agresi Militer Belanda tahun 1948, tak lantas menyurutkan semangat nasionalisme sineas Indonesia. Berjuang jelas dapat dilakukan dengan banyak cara, termasuk melalui film.
Selama ini, SU 1 Maret 1949 di Yogyakarta --waktu itu menjadi Ibu Kota RI setelah sejumlah pemimpin nasional di Jakarta diasingkan oleh Belanda --identik dengan pengkultusan terhadap peran Presiden RI ke-2, Soeharto. Sejatinya, kesuksesan SU 1 Maret 1949 tersebut juga sangat didukung oleh Sultan Hamengkubowono (HB) IX yang dalam film itu dipanggil Mataram XIII.
Belanda pun terus mengabarkan ke seluruh dunia bahwa seolah Indonesia tinggal nama setelah berhasil menduduki Yogyakarta dalam Agresi Militer II pada Desember 1948. Adanya SU 1 Maret 1949 menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Indonesia masih dan tetap ada.
Film "Enam Djam di Djogja" mengisahkan tentang rakyat biasa yang berjuang dalam bertahan hidup di Yogya selama pendudukan Belanda. Mereka adalah Mochtar (wartawan), Hadi (tentara), Endang (laskar wanita), dan Wiwiek (adik Hadi). Keempatnya terus mengobarkan semangat orang-orang di sekitarnya untuk tetap berjiwa nasionalisme saat ekonomi sedang sulit.
Keluarga Hadi pun tak luput dari tuntutan ekonomi. Ayahnya ingin bekerja di lagi perusahaan Belanda agar dapur keluarga tetap menyala. Tetapi, ide itu ditentang keras oleh ibunya Hadi dan Wiwiek. "Apa kata Hadi kalau Bapak bekerja untuk Belanda?!" protes Sang Istri.
Di sinilah konflik mulai mengalir. Endang dan Wiwiek yang bekerja sebagai pelayan restoran sambil diam-diam menjadi kurir pesan rahasia di antara tentara Indonesia mendapati diri mereka masing-masing terlibat dalam kisah cinta yang rumit di kala perang berkecamuk.