[caption id="attachment_419109" align="aligncenter" width="218" caption="Mari selaraskan antara impian dan kenyataan (Photo Credit: www.injoyfoodfitness.com)"][/caption]
Istilah tirani ‘alasan’ pertama kali saya ketahui dari seorang dosen senior di S1 dulu.Kesal dengan 1001 alasan mahasiswa yang telat mengumpulkan tugas, beliau mengultimatum, “Saya tidak terintimidasi dengan tirani ‘alasan’ kalian. Selama tugas dikumpulkan, nilai kalian aman.” Tambahnya lagi, “Hanya kenyataan yang jadi ukuran, bukan alasan.”
Gertakan pria yang menjadi profesor termuda kedua di kampus –menjadi profesor sebelum berusia 40 tahun - tersebut bukan gurauan. Mahasiswa yang tidak mengumpulkan tugas sampai batas waktu yang ditentukan, dipastikan mengulang tahun depan bersama adik kelasnya.
Giliran saya sendiri menjadi dosen, barulah saya memahami maksud dari tirani ‘alasan’. Ada saja alasan mahasiswa yang pernah saya temui. Mulai dari alasan saat terlambat masuk kuliah, tidak mengerjakan tugas, hingga meminta ujian perbaikan ketika nilainya terjun bebas.
Ogah dipusingkan dengan variasi alasan dari mahasiswa, saya menerapkan hal yang sama seperti dosen saya dulu. Kalimat sakti dan favorit saya untuk menghadapi mahasiswa penuh alasan tersebut adalah, “No excuse. Tidak ada alasan.”
Sahabat sekaligus rekan kerja saya, Mbak Lia, mempunyai motto oke untuk para pembuat alasan yang mengulang kesalahan hingga berulang kali: “Once is okay. Twice is enough. More than twice? No way!”. Bahasa simpel lainnya menurut Adib, junior saya, “Sekali masih wajar. Dua kali sih jadinya kurang ajar. Tiga kali? Perlu dihajar!” Hahahaha....
Lalu kenapa banyak orang yang lebih memilih lari dari kenyataan dengan cara membuat berjuta alasan? Senior di tempat kerja saya sebelumnya, Pak Jeffry, pernah berbagi kisah tentang mantan bosnya yang sangat kebal dengan karyawan yang termasuk kategori ‘si tukang ngeles’. Profesi sebagai arsitek jelas mewajibkan mereka untuk super teliti sekali.Tapi, bukan berarti seseorang boleh menunda-nunda kerjaan dan kewajibannya dengan alasan mengejar kesempurnaan.
Jadi, beginilah dialog yang pernah didengar oleh Koko Jef – panggilan akrabnya – ketika sang mantan atasan bertanya kepada seorang arsitek junior tentang perkembangan satu rancangan bangunan:
Bos: “Sudah selesai gambarnya?”
Anak buah: “Sedikit lagi, Bos. Ini karena ada bagian yang belum melapor ke saya.”
Bos: “Jadi, belum selesai?”
Anak buah: “Tenang, Pak. Hari ini pasti selesai karena.....”
Bos: “Saya tidak mencari alasan tapi kepastian. Cukup jawab, selesai atau belum?!” (Nada suara atasan mulai meninggi dengan ekpresi wajah menegang).
Anak buah: “Belum, Pak. Tapi.....” (Staf masih berusaha menyelamatkan muka dengan alasan lainnya).
Bos: “Tidak ada tapi-tapian. Selesaikan sekarang juga!”
Anak buah: Terdiam dan langsung mengerjakan hingga tuntas saat itu juga.
[caption id="attachment_419110" align="aligncenter" width="350" caption="Tindakan adalah jembatan untuk mewujudkan impian dan harapan menjadi kenyataan (Photo credit: www.sparkpeople.com)"]
Yup! Pernah mendengar istilah in denial? Mayoritas orang lebih senang sekaligus gampang terlena dengan penyangkalan daripada harus menghadapi kenyataan di depan mata. Memang jika kenyataannya menyenangkan, semua orang pasti sangat semangat menerimanya dengan tangan terbuka. Akan tetapi, jika kenyataannya luar biasa menyakitkan atau menyusahkan? Masihkah seseorang sanggup menghadapinya apalagi sampai berakrab-ria dengannya?
Saya pernah mengalami sendiri kejadian yang menyebalkan dengan para pencari alasan. Dulu ada teman kuliah – sebut saja mahasiswa Y - yang selalu menghindari kewajibannya dalam mengerjakan tugas kelompok. Alasannya karena dia sibuk sebagai aktivis di organisasi mahasiswa. Dia otomatis menjadi free rider atau “penumpang gelap” dalam setiap tugas kelompok yang dikumpulkan. Namanya tercantum dalam sampul laporan tugas kelompok, nilai pun jalan terus. Sayangnya, tidak ada kontribusinya sedikitpun dalam kelompok. Bahkan sekedar bertanya sejauh mana perkembangan tugas kelompok sudah selesai dikerjakan pun tidak pernah.
Satu kali, seorang kawan lainnya – katakan namanya mahasiswi X - yang sudah luar biasa kesal dengannya, memaksanya mengerjakan tugas kelompok. Si penumpang gelap itu entah bagaimana akhirnya menyanggupi untuk menyelesaikan bagiannya.
Siapa sangka, si mahasiswa Y tersebut lalai dengan tugasnya di hari-H. Akibatnya, kami satu kelompok yang harus menanggung sanksi dari dosen karena laporan kami belum selesai sehingga tidak bisa dikumpulkan. Tidak tanggung-tanggung, nilai kami semuanya langsung ‘di-diskon’ 50%, alamak! Ditambah lagi, kami sekelompok harus membersihkan ruang praktikum berupa laboratorium percobaan hewan sepulang kuliah. Hadeuh, lengkap sudah deritanya! Huhuhu.....
Si mahasiswi X pun langsung mendamprat mahasiswa Y. Kesalahan – lebih tepatnya kelalaian satu mahasiswa – berakibat fatal bagi semua anggota tim. Begini debat mereka setelah kami dihukum dosen:
Mahasiswi X: “Gimana sih?! Gara-gara satu orang, semua orang kena getahnya!”
Mahasiswa Y: “Kok cuma aku yang disalahkan?!” (Mahasiswa Y enggan disalahkan).
Mahasiswi X: “Lho, ini kan memang karena kesalahan kamu?! Masih enggak maungaku lagi!” (Suasana tim mulai memanas).
Mahasiswa Y: “Kalian kan tahu, aku tuh aktivis! Sibuk organisasi sampai malam!”
Anggota kelompok lainnya membisu. Mereka, termasuk mahasiswi X, memang tidak aktif terlibat organisasi mahasiswa. Namun, sebagai sesama aktivis mahasiswa, saya jelas tidak terima dengan alasannya tersebut. Spontan saya angkat bicara setelah dari tadi diam saja.
Saya: “Eh, aku juga aktivis lho. Kenapa juga harus bawa-bawa alasan organisasi?”
Mahasiswa Y: “Tapi, posisiku tuh penting di organisasi! Bukan sekedar staf ecek-ecek.”
Wah, wah, wah! Saya dan teman-teman lainnya tambah keki dengan alasannya. Apa susahnya mengaku salah dan meminta maaf? Bukankah alasan sebagus apapun tidak akan pernah menyelesaikan permasalahan yang menjadi kenyataan sebenarnya?
Saya: “Oke. Jadi, sebenarnya tujuan utama kamu ke kampus itu untuk kuliah atau organisasi sih?” (Sengaja saya singgung tentang skala prioritasnya sebagai mahasiswa).
Mahasiswi X: “Bener tuh! Orang tua kamu nyuruhnya kuliah. Kenapa kamu malah sibuk yang lain?!”
Mahasiswa Y: “Saya enggak terima nih disalah-salahin perempuan! Saya ini laki-laki, punya harga diri!”
Ya ampun! Kenapa malah isu gender disangkut-pautkan? Untuk menuntaskan perseteruan yang sangat mungkin berujung dengan pertengkaran, saya segera menutupnya dengan bertanya, “Semua mahasiswa juga sibuk. Kalau yang lain bisa ngerjain tugas kelompok, kenapa kamu enggak?”
Mahasiswa Y itu pun kehabisan kata. Saya tidak pernah lagi sekelompok dengan si mahasiswa Y tersebut. Yang pasti, dia pindah kuliah ke kampus swasta di kota lainnya pada tahun ketiga perkuliahan. Menurut para dosen, nilai kuliahnya tidak memungkinkannya untuk melanjutkan kuliah di PTN.
Memang kenyataan tidak selalu seperti yang kita harapkan. Sekalipun demikian, pasti banyak pelajaran kehidupan yang bisa dimanfaatkan ketika kita lebih memilih berteman dengan kenyataan dibanding menutup mata darinya.
Jika kenyataan yang kita hadapi itu indah, menjalani hidup pasti akan terasa semakin menyenangkan. Jikalau pun tidak, pasti selalu ada penyelesaiannya. Mengutip kalimat bijak salah satu mahasiswa saya setelah tahu dirinya gagal menembus PTN idamannya hampir setahun lalu, “Kenyataannya memang menyakitkan, Miss. Tapi kehidupan kan terus berjalan.Jadi kita harus terus bertahan untuk menghadapi masa depan.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H