Mohon tunggu...
Khairunisa Maslichul
Khairunisa Maslichul Mohon Tunggu... Dosen - Profesional

Improve the reality, Lower the expectation, Bogor - Jakarta - Tangerang Twitter dan IG @nisamasan Facebook: Khairunisa Maslichul https://nisamasan.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Bahasa untuk Berkomunikasi, Bukan Gengsi

4 April 2015   07:16 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:34 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Harus Bangga Berbahasa Indonesia

Meskipun berprofesi sebagai pengajar Bahasa Inggris, saya termasuk pendukung adanya wacana penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi ASEAN. Bahkan kalau bisa sampai tingkat PBB. Sehingga masyarakat Indonesia bangga ketika menguasai bahasanya sendiri sekalipun sudah mampu berbahasa asing, terutama Inggris. Bahasa sangat berpotensi menjadi duta bangsa jika disosialisasikan dengan baik dan benar.

[caption id="attachment_407553" align="aligncenter" width="600" caption="Harus Bangga Berbahasa Indonesia (Gambar: http://www.keepcalm-o-matic.co.uk)"][/caption]

Saya tak bisa menahan tawa sekaligus prihatin ketika muncul pemberitaan heboh tentang mantan tunangan dari seorang penyanyi dangdut Ibu Kota. Pria tersebut mengaku lulusan luar negeri. Di televisi, dengan penuh percaya diri, dia berbahasa Inggris yang tak karuan, baik dari suku kata (vocabulary) apalagi tata bahasanya (grammar). Murid-murid saya sampai berkomentar kritis, “Kalau mau sok bicara Inggris, kursus dulu deh supaya enggak malu-maluin.” Seharusnya masyarakat Indonesia mengingat kalimat bijak Sutan Sutan Takdir Alisjahbana1), “Kalau belum mampu berbahasa asing, berbahasa Indonesialah yang baik dan benar!”

Satu waktu, saya pernah menjadi pengawas untuk ujian susulan (Make-up Test). Setelah hampir satu jam, pintu kelas diketuk oleh seorang bapak yang basah-kuyup sambil memegang payung dengan wajah penuh coreng-moreng. Usianya sekitar akhir 40-an. Saya kira, dia adalah wali murid atau mungkin supir yang hendak menjemput. Ujian baru berakhir setengah jam lagi.

Di luar dugaan, bapak itu dengan polos bertanya sambil menyodorkan nomor tesnya, “Bu, ruang ujian untuk make over2)di mana ya? Saya telat datang karena baru selesai memperbaiki mesin di pabrik.” Setengah mati saya menahan tawa saat menjawab pertanyaan sambil mengantarnya ke ruang ujian. Dia ternyata murid kelas karyawan yang salah menyebut make-up menjadi make over! Mungkin dia berniat merapikan penampilannya sebelum ujian, tapi tidak sempat karena sudah telat. Ada-ada saja. Namun, saya menghargai semangatnya untuk tetap belajar bahasa asing di usianya yang sudah tidak muda lagi.

Di lain waktu, saya pernah duduk bersebelahan dalam bus wisata dengan seorang ibu separuh baya yang terlihat seperti ibu pejabat. Begitu mengetahui saya guru bahasa Inggris, saat bis melintasi Sungai Ciliwung, dia spontan berpendapat, “Ciliwung raiver itu harus segera dibersihkan jika akan dijadikan obyek wisata di Jakarta. Setuju kan, Mbak?” Saya terdiam. Raiver? “River3) maksud Ibu?” tanya saya untuk memastikan. “Ya, Mbak. Raiver yang bahasa Inggrisnya untuk sungai itu lho,” ujarnya lagi dengan penuh rasa bangga. Astaga! Saya hanya bisa tersenyum mendengarnya. Tapi, tidak tega untuk mengoreksinya. River seharusnya dibaca sama persis seperti tulisannya! Hi…hi…hi…..

Kuasai Bahasa Ibu Dulu

Saya mendapati sendiri, kecenderungan orang tua masa kini yang semakin dini mengajarkan anaknya bahasa asing. Tak mengapa sebenarnya. Yang menjadi masalah, saat sang anak belum lancar berbahasa Indonesia dengan baik, namun kemudian sudah mempelajari bahasa asing. Teman saya pernah mengajar kelas anak-anak yang hampir separuh muridnya belum lancar apalagi sudah hafal alfabet dalam Bahasa Indonesia. Akibatnya, dia harus menjadi guru Bahasa Indonesia sekaligus Bahasa Inggris saat mengajar!

[caption id="attachment_407494" align="aligncenter" width="500" caption="Kuasai bahasa ibu dulu sebelum belajar bahasa asing (Gambar: https://fc4pentingers.files.wordpress.com)"]

14281063381149042644
14281063381149042644
[/caption]

Saat menggantikan teman mengajar murid kelas satu, saya mengadakan lomba menggunting dan menempel kertas yang bertuliskan potongan huruf dalam bahasa Inggris. Kelompok dibagi menjadi dua, yaitu kelompok murid laki-laki dan perempuan. Tugas mereka adalah menyusun huruf menjadi kata dalam bahasa Inggris. Kata yang saya minta mereka untuk menyusunnya adalah angka satu hingga sepuluh. Tujuannya agar mereka tidak hanya tahu cara mengucapkannya (pronunciation), tapi juga mengerti pengejaannya (spelling). Pemenangnya adalah kelompok yang paling awal berhasil menyelesaikan susunan kata dengan benar.

Seperti yang sudah saya duga, murid laki-laki lebih berorientasi dengan hasilnya sedangkan wanita lebih pada prosesnya. Saat murid perempuan dengan sabar dan rapi menggunting serta menempel setiap huruf, murid pria asal gunting saja. Kerapian menjadi urusan nomor seribu sekian untuk para bujang sehingga dalam satu kata, ada huruf yang besar dan kecil potongannya.

Namun, kedua kelompok sama-sama menjadi pemenang. Kenapa? Sepele saja, para bocah laki-laki itu salah mengeja kata ‘lima’. Mereka mengejanya menjadi ‘vife’ dan bukannya ‘five’! Memang unik dan lucu sekali tingkah-laku anak-anak, termasuk saat belajar bahasa.

Kejadian menggelitik lainnya tentang bahasa terjadi saat saya bermain dengan putri rekan kerja. Dia berusia enam tahun. Ayahnya guru senior. Untuk mengisi waktu di ruang guru, kami mewarnai gambar dalam Bahasa Inggris. Saya bilang padanya, “Cheryl, rok itu diwarnai merah ya. Bahasa Inggrisnya ‘merah’ apa?” Dengan lincah dijawabnya, “Red, Tante. Aku kan sudah diajari Papi.” Saya tersenyum. Like daughter, like father. Buah apel biasanya jatuh tak jauh dari pohonnya. Saya tanya lagi kepada gadis kecil yang ceriwis namun menggemaskan itu. “Jadi,Cheryl tahu dong bahasa Inggrisnya ‘api’?” Pikir saya, warna merah dan api jelas berhubungan erat. Dia pasti tahu jawabannya. Ternyata? “Hot4)! Ah, itu sih gampang, Tante.” Ya ampun! Kalau begini, siapa yang lebih pintar? Guru atau murid? Merah, api, dan panas memang saling berkaitan ha….ha….ha……

1)Sastrawan dan ahli tata Bahasa Indonesia dari Angkatan Pujangga Baru (1908

– 1994)

2)Memperbaiki

3)Sungai

4)Panas

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun