Mohon tunggu...
Khairunisa Maslichul
Khairunisa Maslichul Mohon Tunggu... Dosen - Profesional

Improve the reality, Lower the expectation, Bogor - Jakarta - Tangerang Twitter dan IG @nisamasan Facebook: Khairunisa Maslichul https://nisamasan.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Hari Televisi Sedunia, Menjaga Idealisme dan Profesionalisme Siaran Televisi

21 November 2014   11:39 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:14 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1416519433849402126

21 November diperingati sebagai Hari Televisi Sedunia berdasarkan Resolusi PBB No 51/205 pada 17 Desember 1996.Siaran televisi diawali di BBC Inggris tahun 1936.Bagi masyarakat Indonesia, televisi menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah bangsa, terutama saat terjadinya reformasi politik.Siaran televisi tak ubahnya pisau bermata dua.Oleh karena itu, televisi di Indonesia perlu membenahi diri dengan tetap menjaga idealisme dan profesionalisme siarannya pasca reformasi, terutama setelah Pemilu 2014.

[caption id="attachment_376945" align="aligncenter" width="599" caption="Hari Televisi Sedunia diperingati setiap tanggal 21 November (Sumber foto: wallpaper.krishoonetwork.com)"][/caption]

Generasi yang tumbuh dan besar di era Orde Baru tentu masih mengingat TVRI, sebagai satu-satunya stasiun televisi nasional kala itu, konsisten menyiarkan berita keberhasilan Soeharto sebagai Bapak Pembangunan.Rakyat hanya memperoleh dua jenis berita: berita baik tentang pemerintah dan berita buruk mengenai selain pemerintah.Selama tiga dekade, televisi menjadi alat kontrol pemerintah terhadap pola pikir dan cara pandang penduduk Indonesia dalam hampir semua hal, termasuk pemilu.

Krisis ekonomi 1997/1998 membawa berkah tersembunyi (blessing in disguise) bagi dunia pertelevisian di Indonesia.Perubahan sosial-politik yang dahsyat akibat krisis ekonomi menghantam berbagai negara dunia, tak terkecuali Indonesia.Masyarakat tak lagi mengandalkan TVRI karena telah mengudara televisi swasta lainnya: RCTI, SCTV, dan TPI.

Masyarakat pun tak lagi dapat dinina-bobokkan apalagi dibodohi oleh penguasa tentang kestabilan kondisi sosial-ekonomi.Harga bahan pokok yang terus meroket karena langkanya persediaan di pasaran, kerusuhan dan penjarahan massal di berbagai kota besar di Indonesia, aksi demonstrasi di jalan hingga pendudukan gedung DPR/MPR oleh mahasiswa, menjadi berita rutin siaran televisi hingga pertengahan Mei 1998.Puncaknya ketika rakyat menyaksikan siaran pengunduran diri Soeharto sebagai presiden kedua RI pada 21 Mei 1998.

Siaran televisi di Indonesia pasca reformasi politik tahun 1998 mengalami perubahan drastis.Segala jenis siaran berita dapat dinikmati oleh pemirsa, mulai dari berita teraktual hingga gossip penuh sensasi.Para penyiar televisi kini lebih memiliki kebebasan dalam mengekspresikan kepribadian masing-masing saat membacakan berita di depan kamera dibanding pendahulu mereka.Sekarang, tak ada lagi ekspresi datar yang ‘terstandarisasi’ dari penyiar televisi di Indonesia.

Fakta tersebut di satu sisi melegakan dan menggembirakan karena masyarakat kini lebih mampu menangkap objektivitas isi berita.Di lain pihak, ekspresi penyiar televisi ternyata mempengaruhi sudut pandang pemirsa terhadap suatu topik berita.Tulisan ini mencoba untuk menjelaskan fenomena menarik yang terjadi pada Pemilu 2004 dan 2009.

Meskipun kepemilikan beberapa stasiun televisi swasta di Indonesia dikuasai oleh kandidat presiden dari partai politik tertentu, presiden terpilih pada dua pemilu sebelum 2014 malah bukan berasal dari partai tersebut.Masyarakat telah jauh lebih cerdas dan selektif ketika mencermati tayangan pemilu.Sekalipun seorang penyiar mewakili stasiun televisi yang dimiliki oleh calon presiden tertentu, akan sulit baginya untuk menyembunyikan keberpihakannya secara pribadi terhadap kandidat presiden lainnya.Keberpihakan tersebut dapat tampak dari cara bicara dan bahasa tubuh seorang penyiar saat membacakan berita.

Menurut teori psikologi yang dipelopori oleh William Condon, cultural microrhythms atau “kesesuaian bahasa tubuh” menjelaskan kesuksesan maupun kegagalan seseorang saat berkomunikasi.Terlebih jika bahasa tubuh tersebut berfungsi untuk mempengaruhi orang lain, misalnya komunikasi yang dilakukan oleh staf penjualan.Tingkat penjualan tidak meningkat ketika isi iklan dan ekspresi sang penjual tidak mengalami sinkronisasi atau keselarasan yang dilakukan secara harmonis dan alami.Cara membujuk yang dibuat-buat, sehalus apapun, akan terlihat janggal dan lawan bicara merasa seolah sedang dibohongi.

Malcolm Gladwell dalam bukunya Tipping Point menerangkan tentang fakta unik, saat pemilu presiden di Amerika Serikat berlangsung, yang diperoleh dari hasil penelitian sekelompok psikolog dari Syracuse University.Salah satu stasiun televisi yang terkenal sangat tidak bersahabat terhadap Ronald Reagan memiliki seorang penyiar yang wajahnya bersemangat tiap kali membacakan berita mengenai Reagan.Hasilnya di luar dugaan.Para penonton berita lebih memilih Reagan walaupun berita tentangnya disiarkan oleh stasiun televisi yang tidak mendukungnya.Peran penyiar berita, dalam hal ini berdasarkan ekspresinya saat membacakan berita, ternyata berpengaruh besar dalam menggiring opini masyarakat secara tidak langsung terhadap kampanye para kandidat presiden di Amerika Serikat.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk menuduh para penyiar televisi sebagai juru kampanye terselubung dari kubu maupun koalisi politik manapun di Indonesia yang tampaknya selama lima tahun ke depan akan terus memiliki dinamika yang tak terduga.Di Indonesia, belum ada penelitian yang serupa seperti halnya di Amerika Serikat.

Selain itu, para pembaca berita dan pemirsa televisi sama-sama memiliki hak memilih dalam pemilu dan berpendapat setelahnya.Bedanya, penyiar televisi di Indonesia memiliki posisi yang jauh lebih strategis dalam mewujudkan proses kehidupan berdemokrasi dalam kehidupan sosial-politik yang transparan, objektif, dan dapat dipertanggungjawabkan.Christiane Amanpour dari CNN merangkumnya dalam satu kalimat optimis, “Dan saya yakin bahwa jurnalisme dan siaran televisi yang baik dapat menjadikan dunia kita sebagai tempat tinggal yang lebih baik.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun