Mohon tunggu...
Khairunisa Maslichul
Khairunisa Maslichul Mohon Tunggu... Dosen - Profesional

Improve the reality, Lower the expectation, Bogor - Jakarta - Tangerang Twitter dan IG @nisamasan Facebook: Khairunisa Maslichul https://nisamasan.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Apelku Sayang, Apelku Malang

4 Februari 2015   16:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:51 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_394815" align="aligncenter" width="300" caption="Cinta apel Malang sama dengan memajukan petani lokal (Gambar: http://www.rmolsumsel.com/read/2015/02/02/22115/Akhirnya,-California-Dikalahkan-Malang-)"][/caption]


“An apple a day keeps the doctor away”.Rutin mengkonsumsi sebuah apel setiap hari memang dipercaya bisa untuk menjaga kesehatan.Namun, pepatah tersebut belakangan ini sepertinya harus dikoreksi lagi: “A hygiene apple a day”.Apel yang higienis berarti bebas bakteri, terutama dari bakteri Listeria monocytogenes (L. monocytogenes) seperti yang sedang terjadi belakangan ini.

Selama ini masyarakat Indonesia umumnya lebih senang (atau bangga?) dengan membeli apel impor daripada apel lokal, seperti apel Malang. Apel Granny Smith dan Gala dari Amerika – yang tercemar bakteri L. monocytogenes – sangat mudah kita jumpai pada pedagang buah di pinggir jalan, minimarket, hingga hypermarket.Apel impor selain untuk dikonsumsi sendiri juga sering dibawa sebagai buah hantaran saat menjenguk orang di rumah sakit.

Saya sendiri bukan termasuk penggemar apel impor.Ukurannya yang jumbo membuat saya langsung kenyang bahkan saat baru melihatnya.Beda halnya dengan apel lokal yang lebih mini sehingga lebih praktis dibawa maupun dihabiskan dalam waktu relatif singkat.

Selain itu, saya juga senang memakan apel sekaligus kulitnya.Makanya saya lebih sering memakan apel lokal karena kulitnya terasa lebih manis.Menurut lidah saya, memakan kulit apel impor seperti memakan plastik saja rasanya.

Saat kuliah S1 dulu, ada dosen dan juga ahli keamanan pangan yang pernah bertutur bahwa apel impor dilapisi lilin pada bagian luarnya agar terlindung dari bakteri dan hama tanaman.Jadi sekalipun menempuh perjalanan jauh dan berhari-hari dari negeri asalnya dalam kemasan pendingin, kulit maupun daging buah apel impor bisa tetap halus dan mulus.Dosen tersebut lalu mengingatkan kami – para mahasiswanya – untuk selalu mencuci apel dengan cara menyikat halus kulitnya di bawah air mengalir agar lapisan lilin bisa luntur.Lebih baik lagi jika kulitnya dikupas dulu sebelum memakannya.Sejak itulah, saya tak begitu lagi tertarik dengan apel impor.

[caption id="attachment_394826" align="aligncenter" width="260" caption="Apel Granny Smith ini termasuk yang tercemar dengan bakteri Listeria monocytogenes (Gambar: http://www.figswithbri.com/?p=1969)"]

14230163811901795051
14230163811901795051
[/caption]

Saya sempat kaget juga dengan berita tercemarnya apel impor dengan bakteri yang merebak akhir-akhir ini.Pikir saya, bagaimana mungkin? Bukankah sudah ada lilin yang melapisi kulit apel impor? Selain itu, apel impor bukannya juga disimpan dalam suhu dingin selama dalam kapal? Saya malah tidak kaget jika apel lokal yang tercemar bakteri karena setahu saya, apel lokal tidak dilapisi lilin.

Ternyata bakteri L. monocytogenes yang mencemari apel impor tersebut memang tahan garam, suasana asam, suhu dingin maupun beku, dan baru mati pada suhu 750C.Ah, pantas saja!Tak heran, L. monocytogenes dapat bertahan hidup pada apel impor sekalipun  kulitnya sudah dilapisi lilin dan disimpan dalam suhu rendah.

Kasus ini sangat berpotensi untuk dioptimalkan sebagai peluang emas bagi petani buah lokal, terutama apel Malang, sehingga mampu merajai produksi apel di dalam negeri.Meskipun sudah ada slogan ‘ACI’ atau ‘Aku Cinta Indonesia’ dengan cara menggunakan produk dalam negeri, faktanya apel lokal masih tetap kalah pamor dari apel impor.

Padahal secara harga, apel lokal dan impor tak berbeda nyata.Saat apel lokal sedang panen, harganya pun bisa semurah apel impor.Sementara itu, apel impor banyak pula yang harganya jauh di atas apel lokal.Anehnya, masyarakat Indonesia tetap lebih memprioritaskan apel impor sebagai pilihan pertama.

[caption id="attachment_394831" align="aligncenter" width="500" caption="Apel Gala ini sebaiknya kulitnya dikupas dahulu sebelum dimakan (Gambar: http://www.davewilson.com/product-information/product/apples)"]

1423016850303873706
1423016850303873706
[/caption]

Fenomena tersebut bisa dijelaskan secara ilmiah dengan cabang ilmu ekonomi yaitu behavioral economics.Menurut buku Principles of Economics oleh Case, Fair, dan Oster(2013) dari Pearson Education , behavioral economics membahas tentang hubungan antara kondisi emosi dan sosial dengan pengambilan keputusan serta kebijakan dalam ekonomi.Singkatnya, behavioral economics berfokus pada perilaku individu dan juga kelompok yang berkaitan dengan bidang ekonomi.

Behavioral economics banyak melibatkan persinggungan antara ilmu ekonomi dan psikologi.Hal tersebut banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari.Misalnya saja dengan istilah retail therapy yang lebih sering terjadi pada wanita.Saat emosinya sedang berantakan, tak sedikit wanita yang berbelanja untuk menenangkan hatinya.Urusan barang yang dibeli itu perlu atau tidak, itu urusan lain lagi.Selama hati senang, sekalipun uang melayang, hanya belanja ini-itu yang terbayang.

Secara ekonomi, produksi apel impor dan lokal sangat dipengaruhi oleh faktor permintaan dan penawaran.Saat permintaan konsumen naik, maka produsen pun akan menambah jumlah produksinya agar penawaran juga meningkat di pasaran, begitu pula sebaliknya. Jumlah penduduk Indonesia yang keempat terbesar di dunia tentunya menjadi pangsa pasar apel impor yang sangat menjanjikan.Terlebih lagi dengan meningkatnya jumlah penduduk kelas menengah yang ditandai dengan membaiknya tingkat pendidikan dan pendapatan serta kesadaran untuk hidup lebih sehat.

Tak heran, harga apel impor yang mahal sekalipun akhirnya tetap tidak meningkatkan permintaan terhadap apel lokal.Kenapa? Stok apel impor memang jauh lebih banyak dan relatif lebih stabil dibandingkan dengan apel lokal di pasaran.

Selain Amerika, negara lainnya yang juga mengimpor apel antara lain Australia, Selandia Baru, dan Cina.Negara-negara pengimpor apel tersebut tidak usah diragukan lagi efisiensinya – terutama dengan mesin berteknologi tinggi yang modern - dalam produksi produk pertanian.Produksi yang efisien jelas menekan biaya produksi dan berujung pula pada harga jual yang lebih rendah.Menurut ekonom Bramantyo Djohanputro dalam bukunya Prinsip-Prinsip Ekonomi Makro (2006) dari Penerbit PPM, hanya produsen yang efisien saja yang mampu bertahan pada harga rendah.

Sebaliknya, produksi apel lokal belum ditunjang dengan sistem pertanian yang maju – apalagi efisien - dan masih banyak yang berupa pertanian tradisional.Tak heran, walaupun permintaan apel lokal besar, petani apel lokal belum bisa mengoptimalkan penawaran dari produksinya selama ini.Akibatnya, harga maupun suplai apalagi mutu apel lokal sangat fluktuatif karena tergantung musim.Konsumen pun lalu beralih ke apel impor yang tersedia melimpah di pasaran sepanjang waktu dan memiliki variasi harga, dari yang termurah hingga termahal sesuai kualitasnya.

Sedangkan ditinjau dari sudut psikologi, produk impor – tak terkecuali apel impor – memiliki nilai gengsi yang tinggi dari sudut persepsi.Persepsi memang sangat bersifat sangat relatif dan subyektif, namun pengaruhnya sangat besar.Prosesnya dimulai dari penginderaan terhadap suatu obyek, berlanjut pada suatu munculnya suatu persepsi dalam pikiran, dan kemudian diwujudkan dalam suatu reaksi.Ketiga proses psikologis tersebut dikenal sebagai busur refleks.

Menurut guru besar Fakultas Psikologi UI, Profesor Sarlito Wirawan Sarwono, dalam bukunya Psikologi Lingkungan (1992), persepsi adalah dasar dari setiap pengalaman.Contohnya persepsi tentang mobil.Meskipun sama-sama berbentuk kendaraan roda empat, seorang pengusaha yang mengendarai BMW dipersepsikan lebih sukses secara materi daripada yang menaiki taksi paling premium sekalipun.Padahal bisa jadi, yang ber-BMW itu bisnisnya tidak secemerlang sang penumpang taksi.

Persepsi yang ada pada masyarakat Indonesia bahwa hal-hal berbau asing (biasanya) bernilai lebih baik bahkan bisa ditarik jauh ke belakang dari sejak zaman penjajahan Belanda.Kaum kulit putih malah menjadi warga negara kelas satu sedangkan penduduk pribumi terpinggirkan di negaranya sendiri selama 350 tahun.Penduduk bumiputera yang mampu mengecap pendidikan ala kolonial pun dipandang dan juga berstatus lebih terhormat di lingkungannya.

[caption id="attachment_394832" align="aligncenter" width="320" caption="Apelku sayang, apelku (dari) Malang (Gambar: http://apelmalangku.blogspot.com/2012_06_01_archive.html)"]

14230169612033495794
14230169612033495794
[/caption]

Saya sendiri mendapati awal Desember 2014 lalu.Saat akan menjenguk rekan sesama dosen yang sedang sakit, mayoritas rombongan penjenguk lebih memilih apel impor yang berukuran raksasa, bercita rasa manis, dan daging buahnya lebih rempuk.Ketika saya bilang, “Kenapa tidak membeli apel lokal?” Jawab mereka,”Kan lebih keren apel impor.Lagipula, apel lokal itu kecil-kecil, dagingnya lebih keras, dan rasanya asam.Mana cocok untuk orang sakit?”

Maka, tugas pemerintah Indonesia untuk memajukan pertanian di Indonesia bisa dimulai dari dengan mengubah persepsi masyarakat bahwa produk pangan lokal – terutama apel – pun tak kalah gengsinya dengan apel impor.Perubahan persepsi juga harus didukung dengan efisiensi dan modernisasi produksi produk pertanian untuk menjamin kualitas pangan yang dihasilkan.Kalau sudah begitu, maka kelak masyarakat Indonesia bisa dengan bangga berkata, “Apelku sayang, apelku dari Malang”.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun