Jika buku menjadi jendela dunia maka bahasa adalah pintu menuju dunia. Bagi yang pernah menyaksikan film thriller politik The Interpreter yang dibintangi oleh aktris Australia nan luar biasa jelita, Nicole Kidman, dan aktor kawakan Amerika, Sean Penn, akan mendapati bahwa bahasa bukan sekedar alat komunikasi.
Film produksi tahun 2005 tersebut bahkan berlokasi langsung di dalam ruangan markas besar PBB (United Nations) di New York City. Saat menonton The Interpreter, bisa jadi penonton akan mengetahui untuk pertama kalinya tentang adanya bahasa Bantu (di film disebut sebagai bahasa 'Ku') yang dipakai di Afrika. PBB sendiri memiliki enam bahasa resmi yang digunakan saat bersidang dan dalam dokumen tertulisnya yaitu : Arab, Cina, Inggris, Perancis, Rusia, dan Spanyol. Para staf PBB wajib menguasai minimal dua bahasa resmi PBB.
Akhir Maret 2014 lalu, saya menghadiri Festival Sastra se-ASEAN (ASEAN Literary Festival/ALF) yang pertama kali diadakan sebelum Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community) mulai berlaku sejak tahun 2015. Indonesia dipercaya menjadi tuan rumah dan festival perdana berlangsung di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Ternyata tahun 2015 ini, TIM Jakarta kembali menjadi tuan rumah festival sastra se-Asia Tenggara tersebut untuk kedua kalinya. Info lengkap berkaitan dengan ALF 2015 dapat dibaca di situs Indonesia Travel dan situs resmi ALF.
Ada dua acara diskusi ALF ke-1 yang saya hadiri waktu itu. Diskusi pertama membahas tentang pengaruh etnis dan agama dengan sastra. Seperti biasa, bahasa Inggris sebagai bahasa internasional jelas menjadi bahasa utama dalam diskusi tersebut. Namun, yang paling berkesan bagi saya adalah kemampuan multilingual interpreter diskusi tersebut - seorang pria muda bertampang Oriental yang saya lupa namanya - yang fasih berbahasa Indonesia, Inggris, dan Mandarin sekaligus.
[caption id="attachment_395046" align="aligncenter" width="490" caption="Bahasa adalah salah satu kunci menaklukkan dunia (Gambar: homecityfamilies.org)"][/caption]
Saat berbicara dengan ketiga bahasa tersebut, aksen maupun dialek interpreter tersebut mirip penutur asli (native speaker) sehingga enak didengar. Sungguh, saya terkesan betul dengan kemampuan berbahasanya ketika menerjemahkan ketiga bahasa yang dipergunakan kepada moderator yang berasal dari Belanda (Laura Schuurmans), seorang pembicara dari Australia (Andy Fuller), seorang sastrawati dari Cina (Na Ye), dan peserta diskusi yang mayoritas berasal dari Indonesia. Di sesi kedua, interpreter handal tersebut kembali hadir dalam diskusi yang menampilkan Wang Gan, sastrawan lainnya dari Cina daratan.
Patut diketahui, tugas seorang interpreter jauh lebih berat daripada translator meskipun tugas utama mereka sama-sama menjadi penerjemah. Translator bertugas menerjemahkan bahasa atau dokumen tertulis dalam waktu yang relatif lebih lama sehingga mereka bisa mengandalkan kamus jika mendapatkan kesulitan dalam memahami bahasa asing. Sementara itu, seorang interpreter berhubungan langsung dengan bahasa lisan yang dilakukan selama percakapan berlangsung. Kemampuan mendengar yang baik dan menginterpretasikan bahasa asing dengan tepat sangat penting bagi seorang interpreter karena jeda waktu untuk menerjemahkan bahasa sangat singkat bahkan dalam hitungan menit.
Bahasa memang kadang masih dianggap sebelah mata bagi sebagian besar orang. Contohnya bisa dilihat di kampus. Pamor mahasiswa sastra biasanya kalah bersinar dibandingkan mahasiswa ekonomi ataupun teknik. Padahal, kini dunia semakin tidak bersekat (borderless world). Selain menguasai bahasa ibu (mother tongue), setidaknya di era kecanggihan ICT (Information and Communication Technology) saat kini, seseorang harus mengerti bahasa Inggris. Kalaupun belum bisa secara aktif (lisan), paling sedikit bisa memahami bahasa Inggris secara tulisan (pasif).
Tahun 2015 ini, sang pendiri Microsoft dan salah satu orang terkaya di dunia sejak tahun 90-an, Bill Gates, menuturkan dalam salah satu wawancaranya, dia sangat menyesali dirinya yang hanya bisa bertutur dalam bahasa Inggris. Padahal semasa sekolahnya, dia pernah mendapat pelajaran bahasa Latin dan Yunani. Sayangnya dia tidak serius mempelajari keduanya saat itu. Oleh karena itu, Bill Gates bertekad untuk menguasai bahasa asing dan Perancis menjadi minatnya kini karena menurutnya lebih mudah dipelajari.
Bill Gates pun mengaku sangat kagum dengan kemampuan Mark Zuckerberg, pendiri Facebook, yang fasih berbahasa Mandarin. Kemampuan Zuckerberg tersebut tentunya berdampak positif ganda dalam kehidupan personal dan profesionalnya. Istri Zuckerberg, Priscilla Chan, adalah seorang imigran Cina di Amerika Serikat.
Saat berkunjung ke Cina, Zuckerberg dengan lancar dapat menjawab pertanyaan para awak media dalam bahasa Mandarin. Bisa dipastikan, negosiasi bisnis bos FB yang juga termasuk hartawan kelas dunia tersebut dengan para pengusaha dari Cina pun bisa berlangsung lancar tanpa kesulitan berkomunikasi antara kedua belah pihak. Selain Zuckerberg, orang muda terkaya dunia lainnya dari Amerika Serikat yang lancar berbahasa Mandarin adalah Elizabeth Holmes, pendiri laboratorium dan teknologi di bidang kesehatan, Theranos.