Mohon tunggu...
Aanisa Rohmi
Aanisa Rohmi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Mahasiswa yang Bikin Sedih

22 April 2017   20:23 Diperbarui: 23 April 2017   05:00 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada satu keresahan yang saya pikirkan dari semester pertama kuliah hingga sekarang. Seperti sudah kita ketahui bahwa bukan suatu kewajiban bagi para mahasiswa untuk memiliki buku referensi suatu mata kuliah. Ya semua tergantung dosennya lagi sih, kalau dosen mewajibkan untuk memiliki buku pegangan mau tidak mau mahasiswa itu harus punya. Bukannya bermaksud sombong tapi dulu sewaktu saya kuliah, saat dosen memberikan referensi buku akan saya catat atau saya perhatikan buku pegangan dosen yang dibawa setiap mereka mengajar dan mencarinya di toko buku.Mungkin karena terbiasa dengan sistem sekolah jadi kalau tidak ada buku cetak / buku referensi itu rasanya seperti ada yang kurang kalau sedang belajar. Seperti tidak ada arah.

Saya senang memperhatikan tingkah laku teman-teman saya, dari yang memiliki kantong tebal hingga yang biasa-biasa saja. Nah, ada satu fenomena ketika saya melihat mereka yang memiliki gadget mahal, kendaraan mobil, dan fashionnya yang kekinian tapi sayang sekali mereka tidak memiliki buku mata kuliah yang direferensikan oleh dosen. Ini beneran, beberapa kali saya satu kelas dengan mereka. Mereka hanya berbekal binder dengan isi kertas putih dan gadget yang bisa digunakan untuk browsing. Dan sesekali saya melihat mereka yang kantongnya tebal memilih untuk sekedar "fotokopi" buku referensi tersebut. Sedangkan mereka yang hanya mahasiswa biasa-biasa saja malah membeli buku referensi asli cetakan dari penerbitnya. WAW! Miris sekali.

Ada satu mata kuliah yang benar-benar membuat mata saya terbuka tentang pentingnya sebuah buku. Jadi pada saat ujian akhir semester itu ternyata peraturannya diperbolehkan open book. Dan alhamdulillahnya saya membawa buku referensi, semua jawaban ada disana. Kelas pun menjadi ramai, mahasiswa yang tidak memiliki buku sibuk mencari dan meminjam buku. Tapi sayang sekali namanya ujian ya ujian, tetap kerjakan secara individu. Disini saya merasakan betapa beruntungnya saya memiliki buku ini, rasanya seperti Thor yang memiliki palunya hahaha. Jadi bisa disimpulkan yang membantu saya bukan gadget dengan googlenya, tapi sebuah buku.

Seharusnya mahasiswa semakin sadar bahwa mereka memiliki peran sebagai agent of change. Mau bawa change apaan kalau hanya bisa mengandalkan gadget atau kendaraan yang toh juga itu dibeliin sama orang tua. Mau bawa change apaan kalau kuliah aja hanya bawa binder dengan kertas kosong. Mungkin sekarang tujuan utama mahasiswa bukan menuntut ilmu, tapi menuntut pengakuan dan prestise.

Faktanya mahasiswa sekarang hanya datang, duduk, dan mendengarkan ocehan ilmiah dosen yang bahkan tidak dicoba untuk dicerna oleh otak atau istilahnya sih masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Sadar dong! Mau sampai kapan gini mulu? Sampai Maroon 5 jadi bintang tamu di Dangdut Academy Indosiar? Saya sedih nih :(

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun