Mohon tunggu...
Nuni Saraswati
Nuni Saraswati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Pendidikan Sejarah UPI Bandung. Angkatan 2022

Saya hanyalah seorang awam yang sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Menerapkan "Filosofi Teras" dalam Kehidupan Sehari-hari di Era Kontemporer

6 November 2023   10:00 Diperbarui: 20 November 2023   10:21 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://mubadalah.id/ajaran-stoisisme-memperkukuh-hablum-minannas-dan-hablum-minal-alam/

Dalam aktivitas sehari-hari, kadang kala kita dihadapkan pada  peristiwa tidak mengenakkan yang terjadi di luar kendali. Tentu saja hal tersebut menimbulkan perasaan sedih, kesal, marah, yang mengganggu produktivitas dan kinerja kita dalam beraktivitas. Belum lagi sikap paranoid yang berasal dari penyesalan dimasa lalu dan dihantui ketakutan akan masa depan yang tidak pasti. Ke semua itu bersumber dari fantasi  sendiri bahwa orang-orang dan takdir sedang berusaha menjatuhkan dirimu. Lalu, bagaimana caranya agar bisa bahagia? atau setidaknya dunia mau berpihak sedikit saja.

Penulis teringat dengan suatu ungkapan populer “Kalau mentimun yang kamu makan ternyata pahit, maka buang saja mentimun itu. Jangan dipikirkan kenapa bisa pahit. Karena itu tidak mengubah kenyataan bahwa kamu sudah makan mentimun yang pahit”  

Apa yang kamu tangkap dari ungkapan tersebut? Nah, menurut penulis, pesan yang bisa kita ambil adalah bahwa apabila kita dihadapkan pada suatu kejadian yang tidak menguntungkan, jangan terlalu dipikirkan berlarut-larut hingga sakit kepala. Karena apa yang terjadi itu berada di luar kendali kita, dan kejadian itu tidak bisa diputar ulang dengan kita banyak memikirkannya. Cukup ambil pelajarannya dan fokuskan diri pada hal-hal internal yang bisa kita kendalikan. Nah, begitulah kira-kira cara kerja stoisisme

Apa itu stoisisme? Stoisisme merupakan salah satu filsafat yang telah ada bahkan sejak Romawi dan Yunani kuno masih eksis. Filsafat ini berawal dari Zeno yang kehilangan barang dagangan akibat kapal karam dan ia terdampar di Athena.  Di Athena, ia banyak belajar berbagai filsafat dan mulai mengajar filosofinya sendiri di sebuah teras berpilar, yang dalam bahasa Yunani disebut Stoa. Oleh karena itu, filsafat ini dinamakan filsafat stoisisme dan para pengikutnya dinamakan “kaum stoa”. Filsafat ini menjadi populer di kalangan anak muda beberapa tahun terakhir berkat buku karya Henry Manampiring dengan judul yang sama, yaitu “Filosofi Teras” 

Kembali kepada pembahasan awal, kunci kebahagiaan bagi stoa bukan sesuatu yang sifatnya materiil, melainkan saat stoa terhindar dari nafsu-nafsu tidak jelas, seperti addicted akan sesuatu, overthinking, takut, iri hati, obsesif, penyesalan, dan lain sebagainya. Artinya, kaum stoa menempatkan kebahagiaan dalam ketenangan batin dan bukan dalam hal-hal eksternal. 

Filsafat stoa mampu membedakan antara apa yang tergantung pada kita, dan apa yang tidak tergantung pada kita. Artinya, hal yang fundamental bahwa dalam hidup, ada yang bisa kita kendalikan ada juga yang tidak. Yang bisa kita kendalikan adalah pertimbangan, opini, persepsi, keinginan, dan segala sesuatu  yang merupakan tindakan dan pikiran yang bersumber dari diri kita sendiri. Sedangkan yang tidak bisa kita kendalikan adalah kesehatan kita, opini dan tindakan orang lain, bencana alam dan hal-hal eksternal lainnya. 

Nah, stoisisme mengajarkan kepada kita bahwa kebahagiaan sejati pada dasarnya didapat dari hal-hal yang ada di bawah kendali kita. Dengan kata lain, kebahagiaan berasal dari dalam. Sebaliknya, menggantungkan kepada hal-hal irasional yang ada di luar kendali, sangat mungkin untuk berakhir dengan kekecewaan. Hal-hal yang ada di luar kendali seperti kekayaan, sewaktu-waktu dapat hilang tanpa bisa kita prediksi. Itu sebabnya kita akan merasa was-was akan kehilangan dan tidak bisa benar-benar merdeka dari perasaan negatif itu. 

Namun, tidak ada kebebasan yang benar-benar hilang. Bahkan, saat kegelapan sudah merenggut kebebasan itu, selalu ada bagian di dalam diri kita yang tetap merdeka, yaitu pikiran dan persepsi. Misal, kamu sudah memberi bunga, coklat dan surat kepada crush mu. Tetapi, keputusan apakah dia mau menerima kamu atau tidak, itu sepenuhnya pilihan dia.  Yang penting kamu sudah melakukan yang terbaik  dalam kendalimu, maka itu sudah cukup. Santai dan nikmati hasilnya. Disini kamu tahu kenyataan bahwa cinta tidak bisa dipaksakan dan perasaan dia tidak bisa kamu kendalikan. Kalau ternyata dia menerimamu, syukurilah. Kalau dia menolak, maka dengan menyadari bahwa respon orang lain berada di luar kendali diri sendiri, kamu tidak akan berlarut-larut dan cepat menerima keadaan itu.

Soal baik dan buruk tergantung dari cara jiwa kita menafsirkannya. Epictetus pernah berkata bawah sumber sebenarnya dari segala macam keresahan dan kekhawatiran kita ada di dalam pikiran kita, dan bukan dari luar kita. 

Bahkan, menurut stoisisme, peristiwa-peristiwa yang memicu emosi negatif itu adalah netral alias tidak baik namun juga tidak buruk. Namun, persepsi dan anggapanlah yang membuat itu semuanya terasa buruk. 

Misalkan, saat teman kamu berbicara dengan keras kepadamu, kamu mungkin berpikir bahwa dia sedang marah padamu, atau bahkan dia membencimu. Padahal representasi subjektif itu tidak benar. Bagi temanmu, cara bicaranya itu “netral” karena dia terbiasa oleh lingkungan dengan  berbicara seperti itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun