Bentuk Kekerasan Guru Terhadap Siswa Sekolah Dasar
Bentuk kekerasan guru terhadap siswa di sekolah dasar menjadi urutan penting dalam upaya memahami dan mengatasi masalah yang melibatkan kesejahteraan anak- anak. Kekerasan guru, dalam berbagai bentuknya, menyoroti tantangan serius yang dihadapi dunia pendidikan (Nurfazryana, 2022). Melalui pemahaman mendalam terhadap bentuk-bentuk kekerasan ini, kita dapat membuka jendela untuk merinci aspek-aspek yang mempengaruhi interaksi guru-siswa, serta potensi dampaknya terhadap perkembangan dan kesejahteraan psikologis siswa. Kekerasan guru terhadap siswa di sekolah dasar dapat muncul dalam berbagai bentuk, termasuk kekerasan fisik, kekerasan psikis (emosional), kekerasan seksual, dan perundungan (Hardiansyah & Khisni, 2018). Kekerasan fisik melibatkan kontak fisik yang dapat menggunakan alat bantu, sementara kekerasan psikis dilakukan tanpa kontak fisik untuk merendahkan, menghina, menakuti, atau membuat perasaan tidak nyaman. Perundungan adalah kekerasan fisik atau psikis yang dilakukan secara berulang dan ada relasi kuasa. Kekerasan seksual melibatkan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang objek seperti tubuh dan/atau fungsi reproduksi seseorang. Selain itu, diskriminasi dan intoleransi, serta kebijakan yang mengandung kekerasan juga termasuk dalam jenis-jenis kekerasan di sekolah. (Bone Dominifridus, 2023).
Pertimbangan terhadap bentuk kekerasan guru di sekolah dasar sangat relevan ketika mengkaji dampaknya terhadap Gangguan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) pada siswa. Pada tingkat psikologis, kekerasan guru dapat menjadi pemicu pengembangan PTSD pada anak-anak (Berliana et al., 2023). Bentuk kekerasan, seperti ancaman verbal yang mengintimidasi atau tindakan fisik yang mengancam keselamatan siswa, dapat menciptakan pengalaman traumatis yang memberikan kontribusi signifikan pada terjadinya PTSD. Dalam konteks ini, perlu melihat bagaimana bentuk kekerasan yang telah dijelaskan sebelumnya dapat menciptakan lingkungan belajar yang tidak aman dan tidak stabil (Sani & Annisa, 2019). Kekerasan tersebut dapat menciptakan ketidakamanan psikologis yang berkelanjutan pada siswa, yang pada gilirannya dapat memicu gejala PTSD, seperti kecemasan yang berlebihan, flashbacks, atau respons berlebihan terhadap stimulus yang mengingatkan pada pengalaman traumatis. Selain itu, aspek budaya, kelelahan guru, dan peran teknologi juga dapat berinteraksi dengan pengembangan PTSD (Tateki, 2017). Misalnya, norma budaya tertentu atau tekanan stres yang tinggi pada guru dapat menciptakan lingkungan yang lebih rentan terhadap kekerasan, yang pada akhirnya dapat meningkatkan risiko PTSD pada siswa.
Kekerasan yang dilembagakan terwujud dalam konteks, sistem dan struktur, misalnya diskriminasi dalam bidang pendidikan, pekerjaan dan layanan kesehatan. Ada faktor yang bisa mempengaruhi selain sikap siswa yang cenderung jahat atau keras kepala, namun juga berbagai permasalahan internal gurunya, seperti tuntutan formulir, metode kedisiplinan yang berbeda, pencapaian nilai di atas rata-rata siswa, terciptanya nilai yang baik. untuk siswa. murid. sekolah atau mendapatkan pengakuan terbaik atas nama mereka(Wahyuni, 2016). Baik sekolah maupun implementasi kurikulum, kompetensi inti dan indikator yang ditetapkan oleh pemerintah pusat dan daerah menuntut sekolah untuk bekerja keras untuk menghasilkan target-target yang telah ditetapkan, merencanakan dan menentukan. Penting bagi pihak sekolah untuk membangun lingkungan yang aman dan mendukung bagi siswa. Komunikasi terbuka antara siswa, orang tua, dan staf pengajar menjadi kunci dalam mencegah dan menangani kekerasan di sekolah (Agustin et al., 2018). Perlunya penerapan kebijakan terkait perilaku guru serta sistem pelaporan yang efektif untuk memastikan setiap bentuk kekerasan dan ditangani dengan tepat.
Kebijakan yang mengidentifikasi program pendidikan yang mengarah pada perilaku kekerasan di sekolah merupakan salah satu bentuk kekerasan struktural. Seperti yang diketahui beberapa guru melalui wawancara, isi program juga mendorong guru untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap siswanya. Hal ini diungkapkan Poondag A.S (2019) setelah mempertimbangkan tuntutan pemerintah bahwa pendidikan di Indonesia harus setara dengan negara lain, maka untuk membangun Indonesia, siswa dituntut untuk meraih nilai yang tinggi sesuai kurikulum yang ada. Kekerasan struktural adalah kekerasan tidak langsung, yang tidak berasal dari individu tertentu tetapi terbentuk dalam sistem sosial tertentu. Kekerasan ini beroperasi melalui faktor sosial, budaya (aspek), dan struktural (kemasyarakatan). Tindakan kekerasan, terutama yang bersifat struktural, tidak selalu harus bersifat fisik. Seperti apa yang peneliti amati di lapangan mengenai peraturan guru di kelas tentang keterampilan dasar atau indikator yang diharapkan diperoleh siswa selama satu semester (Sidiq, 2021). Kompetensi Dasar yang dijadikan acuan bagi guru bermula dari kebijakan Kementerian Pendidikan Pusat yang mewajibkan setiap pengajar pelatihan guru di sekolah mempunyai pedoman kompetensi dasar yang diperolehnya pada setiap semester mata kuliah. Tujuan dari keterampilan tersebut adalah sebagai acuan bagi siswa untuk mencapai target skor yang perlu dicapainya. Sehingga siswa dapat terus belajar pada tingkat yang lebih tinggi. (Kotijah & Pristiana, 2020). Kebijakan kompetensi ini memaksa guru untuk lebih teliti dalam merancang proses pembelajaran agar siswa dapat mencapai indikator kinerjanya.
Dalam upaya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan di sekolah, penting untuk mengenali dan memahami berbagai bentuk kekerasan yang mungkin terjadi, serta mencari solusi yang tepat untuk mengatasi masalah tersebut. Serta dengan memahami hubungan antara kekerasan guru, lingkungan belajar, dan PTSD pada siswa, kajian ini dapat memberikan wawasan tentang faktor-faktor risiko yang mungkin memperburuk kondisi PTSD dan sekaligus merinci cara-cara pencegahan dan intervensi yang lebih efektif untuk melindungi kesejahteraan mental anak-anak di sekolah dasar.
Dampak Kekerasan Guru terhadap Siswa Sekolah Dasar pada Gangguan PTSD
Kekerasan guru terhadap siswa sekolah dasar dapat berdampak serius pada kesehatan mental siswa, termasuk potensi gangguan PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder) (Wulandari et al., 2023). Kekerasan guru dapat menyebabkan efek traumatis, seperti kurangnya kepercayaan diri, depresi, stress, tumbuhnya sikap agresif, dan sulit untuk mempercayai orang lain. Studi menunjukkan bahwa sekitar 25% dari siswa yang mengalami bullying menunjukkan gejala yang mengindikasikan adanya PTSD (Ilham & Handoyo, 2013). Dampak dari tindakan kekerasan guru terhadap siswa juga dapat mencakup perasaan minder, marah, sedih, ingin balas dendam, dan sakit hati. Fenomena ini menyoroti betapa pentingnya memahami dan mengatasi dampak psikologis yang mungkin terjadi ketika siswa mengalami situasi kekerasan di lingkungan pendidikan.
Pembahasan mengenai dampak kekerasan guru pada PTSD menuntut perhatian khusus agar solusi dan intervensi dapat dikembangkan dengan tepat dan memadai. Ketika siswa mengalami kekerasan guru, terutama yang melibatkan ancaman verbal atau tindakan fisik, ini dapat menciptakan pengalaman traumatis yang merusak kestabilan emosional mereka. PTSD, sebagai respons terhadap trauma, dapat menyebabkan gejala yang mencakup kecemasan yang berlebihan, flashbacks, atau bahkan isolasi sosial (Rusyda et al., 2021). Dalam menjalankan perannya, guru dituntut untuk mengayomi semua siswanya. Namun, dalam mendidik siswa, terutama dalam hal disiplin, seringkali oknum guru memperlakukan siswa dengan kasar mengakibatkan terjadinya tindak kekerasan terhadap siswa. Kekerasan dalam dunia pendidikan biasanya disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya adalah kurangnya kemampuan mendidik dengan benar serta tidak mampu menjalin ikatan emosional yang konstruktif dengan siswa (Nashriana & Sofyan, 2022). Selain itu, dengan alasan kedisiplinan siswa, guru seringkali kehilangan kesabaran hingga melakukan hukuman fisik, atau melakukan tindakan yang tidak terpuji dan melanggar batas etika dan moralitas, seperti memukul, meninju, dan menendang (kekerasan fisik) serta mengeluarkan kata-kata yang tidak mendidik (Suprataba et al., 2022), yang dapat menyinggung perasaan siswa (kekerasan psikis).
Penting untuk diingat bahwa anak-anak mungkin memiliki keterbatasan dalam menyuarakan pengalaman traumatis mereka secara verbal atau menyadari sepenuhnya apa yang mereka alami. Oleh karena itu, perubahan perilaku yang terlihat atau indikasi bahwa sesuatu tidak beres harus diperhatikan dengan serius oleh orang dewasa di sekitarnya. Terkadang gejala PTSD pada anak sekolah dasar dapat diidentifikasi melalui perubahan tiba-tiba dalam cara mereka berinteraksi, menunjukkan ketakutan atau kecemasan yang tidak biasa, atau melalui penurunan performa akademis (Tambaip & Tjilen, 2023). Dampak kekerasan guru terhadap siswa sekolah dasar juga dapat mempengaruhi persepsi mereka terhadap kekuasaan dan pembelajaran. Pengalaman buruk tersebut dapat mengubah persepsi mereka terhadap lingkungan sekolah, guru, dan pembelajaran secara umum (Wright J.B, 2015). Untuk membantu anak-anak mengatasi dampak psikologis ini, penting untuk memberikan mereka dukungan emosional secara teratur, membantu mereka mengekspresikan emosi dengan aman, dan memberi mereka akses terhadap bantuan profesional, seperti konseling atau terapi.
Dalam upaya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan di sekolah, penting untuk mengenali dan memahami berbagai bentuk kekerasan yang mungkin terjadi, serta mencari solusi yang tepat untuk mengatasi masalah tersebut. Langkah-langkah pencegahan dan penanganan yang efektif perlu diimplementasikan untuk melindungi kesehatan mental siswa dan mencegah terjadinya gangguan PTSD akibat kekerasan guru di sekolah dasar. Selain itu juga dapat mengkombinasikan prose mengejar melalui pendekatan pengetahuan psikologi anak agar pembeljaaran dapat efektif dan terjalin hubungan baik antara guru dengan siswa.