Berdasarkan data dari BPS bulan Maret 2017, jumlah  penduduk miskin dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis  Kemiskinan telah mencapai 27,77 juta jiwa (10,64%). Jumlah tersebut  meningkat jika dibandingkan dengan kondisi September 2016 yang sebesar  27,76 juta jiwa (10,70%). Perhitungan ini dilakukan dengan rata -- rata  pengeluaran per kapita per bulan sebesar kurang lebih Rp. 343.646. Maret  2017 lalu Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution mengatakan  bahwa pertambahan jumlah penduduk miskin bukanlah perubahan struktural  namun lebih disebabkan oleh pengaruh cuaca yang tidak menentu.
Hal  tersebut adalah informasi yang mudah diperoleh publik dari situs resmi  pemerintah maupun media -- media nasional. Namun demikian, yang perlu  dicermati adalah apa indikator pemerintah untuk menetapkan bahwa yang  disebut miskin adalah penduduk yang rata -- rata pendapatan per kapita  perbulan sebesar kurang lebih Rp. 343.646? Tidakkah kita merasa terusik  dengan standar tersebut?
Pada tahun 2014 jumlah orang miskin di  Indonesia mencapai 96 juta jiwa  (40%) dari total penduduk yang mengacu  pada standar kemiskinan dengan pengeluaran US$1,5 per hari. Saat itu  Menteri Sosial Khofifah Indar Prawansa menegaskan bahwa Jokowi sebagai  presiden ingin jujur mengakui jumlah orang miskin di Indonesia sehingga  standar tersebut dinaikkan dari yang sebelumnya standar rata -- rata  pendapatan perhari adalah di bawah 80 sen dolar AS.
Hal ini tentu  saja tidak konsisten, yang artinya jumlah penurunan orang miskin bukan  disebabkan karena kehidupan masyarakat menjadi sejahtera, namun karena  standar tersebut diturunkan kembali. Diakui pemerintah bahwa standar  tersebut disesuaikan dengan kebutuhan kalori manusia untuk dapat  bertahan hidup sehari -- hari. Ini menyedihkan, karena manusia hanya  dianggap makhluk yang hanya perlu bertahan hidup tanpa perlu berkreasi.
Kemiskinan  bukan sekedar uang, namun juga soal kesempatan manusia untuk dapat  berkembang sesuai kapabilitas yang dimiliki. Idealnya pemerintah dalam  menghitung jumlah kemiskinan tidak hanya mengacu pada satu standar saja.  UNDP pada tahun 2010 telah mengeluarkan sebuah indeks baru untuk  mengukur kemiskinan yang disebut Indeks Kemiskinan Multidimesi (IKM),  sehingga pendapatan per kapita per bulan 80 sen, US$ 1 atau 2 bukan lagi  menjadi standar utama dalam menghitung jumlah kemiskinan dalam suatu  Negara.
Manusia tidak hidup hanya untuk makan. Jika seperti itu,  maka hal tersebut akan terus -- terusan menjadi beban Negara. Indeks  Kemiskinan perlu diperbarui agar dapat menyelesaikan persoalan  kemiskinan itu sendiri. Selain kebutuhan pangan, kualitas hidup  masyarakat perlu diperhatikan. Angka kemiskinan hendaknya jangan  dijadikan hanya sebagai alat politik menjelang pemilu untuk membela  pemerintahan yang sedang berlangsung ataupun untuk menjadi alat  penyerang pemerintah yang sedang berkuasa. Konsensus Nasional penting  sekali untuk dilakukan dalam rangka menyepakati indikator -- indikator  apa saja yang perlu dipertimbangkan dalam menghitung angka kemiskinan di  Indonesia.
Diterbitkan di Harian Orbit Rabu, 11 Oktober 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H