Membaca brosur yang mempromosikan sebuah sekolah dasar swasta, saya tersenyum miris dan sebuah kalimat para pakar pendidikan Indonesia pun terngiang di benak saya: “Quo vadis pendidikan Indonesia?”
Brosur itu menggunakan semua kata kunci impian saya: metode berfikir kritis, kreatif, otak kiri – kanan, multiple intelligences, character building, pendekatan multikulturalisme, berbasis ICT,… dan berbagai jargon-jargon berbau pendidikan lainnya. Pasti menggiurkan bagi sebagian orang, sementara sebagian orang yang lain mungkin penasaran: “seperti apa ya sekolahnya?”
Ayah saya pernah bilang, “Kalau kamu datang ke sebuah restoran yang menyajikan menu mulai dari makanan Jepang, Padang, Cina, sampai Eropa, kamu boleh curiga bahwa restoran itu tidak percaya diri bahwa mereka punya spesialisasi, jadi kemungkinan tidak enak, karena tidak berani untuk fokus pada satu genre saja, terlalu banyak yang ditawarkan!” Tapi jelas sekolah bukan restoran toh? Maka jangan cepat-cepat menuduh sekolah itu terlalu ‘jualan’, siapa tahu memang benar. Siapa tahu memang metode-metode yang digunakan benar-benar berbasis penelitian mutakhir.
Maka, seperti yang saya anjurkan pada teman-teman saya yang mulai cari-cari sekolah untuk anak mereka, datangi saja sekolahnya. Haruskah datang ke sekolahnya? Apa tidak cukup bertanya dan minta pendapat pada teman lain yang anaknya sekolah di situ? Selain praktis, cara ini memang umum digunakan di kalangan ibu-ibu kan? Word of mouth memang sering dianggap strategi promosi sekolah yang paling banyak digunakan. Tetapi apakah berita dari mulut ke mulut ini cukup valid untuk dijadikan dasar pengambilan keputusan menyekolahkan anak? sebaiknya tidak. Sangat susah mendapat berita yang objektif dari strategi ini.
Hal pertama yang selalu saya sampaikan pada teman-teman saya adalah: “yakin kalau si ibu A benar-benar puas dengan sekolah anaknya?” Saya bukan mempengaruhi teman saya untuk curiga dengan ibu A, tetapi lumayan banyak ibu-ibu yang saya temui memiliki sekurang-kurangnya salah satu dari karakter berikut:
a)Enggan mengakui bahwa sekolah anaknya tidak seperti yang diharapkan, karena bagaimanapun juga si ibu mempunyai perasaan malu. Kalau bukan karena malu, saya juga melihat gelagat lain, bahwa si ibu berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa sekolah anaknya baik-baik saja, kadang yang bermasalah memang anaknya, bukan guru atau sekolahnya;
b)Kepercayaan atau keyakinan orangtua yang sudah turun-temurun. Ini biasanya kalau dari Kakek, paman, ayah, kakaknya si anak sekolah di sekolah tersebut. Anda akan sulit mendapat jawaban objektif dari orangtua yangseperti itu. Ortu yang demikian lebih percaya pada sekolah-sekolah yang memiliki historis bagus, misalnya SD A dari dulu terkenal bagus. Well, zaman berubah ;)
c)Orangtua tidak benar-benar tahu kegiatan sekolah anaknya. Sebagian ortu mungkin sibuk sekali sehingga tidak tahu persis kegiatan belajar anak-anaknya. Sementara sebagian yang lain menganggap cukup dengan mengetahui bahwa sekolah anaknya adalah sekolah bilingual (berbahasa Indonesia dan Inggris), atau bahkan internasional, dan menggunakan kurikulum luar negri (Negara maju, tentunya). Sehingga apabila Anda merujuk kepada orang tua seperti ini, akan besar kemungkinannya informasi yang Anda dapat tidak jauh dari brosur sekolah yang kita bahas mula-mula
d)Orangtua percaya (baca: menyerahkan) sepenuhnya pendidikan anak pada sekolah, sehingga tidak ada rasa ingin mengkritisi sekolah.
e)Lawan dari keempat alasan di atas: ada pengalaman buruk antara orangtua dengan guru/sekolah sehingga semua yang disampaikan kepada Anda adalah yang buruk-buruk tentang sekolah ini. Tetapi kemungkinan ini kecil, karena biasanya orangtua yang tidak puas dengan sekolah, mereka akan keluarkan anak mereka dari sekolah tersebut dan pindah ke sekolah lain (dan biasanya mereka lebih jeli memilih sekolah yang baru).
Jadi boleh saja mencari informasi dari teman atau kerabat, tetapi sebaiknya (apalagi mengingat komitmen sekolah dasar adalah enam tahun) sempatkan juga datang ke sekolah tersebut untuk melakukan dua hal penting: observasi dan diskusi/wawancara dengan pihak sekolah.
Berbincang-bincang dengan kepala sekolah ataupun guru juga sebaiknya dipersiapkan dari awal, Anda boleh mencatat daftar pertanyaan dan juga hal-hal yang perlu diobservasi. Saya selalu menyarankan teman-teman saya yang akan datang ke sekolah untuk mencatat hal-hal yang ingin mereka observasi dan tanyakan ke pihak sekolah. Sebab setibanya di sekolah, Anda mungkin akan berkenalan dengan guru-guru dengan latar belakang yang menarik, atau ruang kelas yang cantik, dsb yang membuat perhatian Anda pecah, akhirnya hal-hal penting yang harusnya ditanyakan/diobserbasi menjadi terlewat. Dan saran saya, sebagai ex.guru (sungguh saya masih berharap terus menjadi guru :p) sebaiknya Anda tidak melakukan kunjungan dua-tiga kali hanya karena ada hal-hal yang lupa ditanyakan atau diamati. Bagaimanapun kehadiran tamu di kelas akan menarik perhatian siswa dan mengganggu proses belajar. Dan juga, bukan hanya Anda kan yang datang ke sekolah tersebut ;)
Pertanyaan selanjutnya yang biasa teman-teman saya tanyakan: “apa saja nis, yang sebaiknya saya observasi atau tanyakan ke guru?” saya suka balik bertanya: “menurutmu apa?” Sungguh saya bukan mau mengetes teman-teman saya, tetapi daftar yang akan dibuat adalah hal yang bisa jadi sangat subjektif. Misalnya, bisa saja saya menganggap tidak ada ayunan di sekolah tidak masalah; tetapi untuk orang lain mungkin ayunan sangat penting untuk anaknya. Di bagian inilah saya suka agak rewel, meminta teman-teman saya membuat daftar sekaligus mengkategorikannya, misalnya: a) fasilitas yang harus ada (biasanya teman-teman saya setuju bahwa perpustakaan ada di kategori ini); b) fasilitas yang sebaiknya ada tetapi kalau tidak ada masih bisa dimaklumi (biasanya: ruang bermain indoor); c) fasilitas yang sebenarnya tidak perlu tapi bagus juga kalau ada (biasanya: ruang tunggu babysitter, karena teman-teman saya setuju anak SD tidak perlu lagi). Dan observasi fasilitas hanyalah bagian yang sangat kecil, karena “sekolah” jauh lebih besar dari sekedar bangunan dan fasilitas. Budaya, saya sangat anjurkan para ortu untuk observasi bagaimana anak-anak berinteraksi saat istirahat, apa yang dilakukan guru di luar kelas dengan siswanya, dan sebagainya.
Begitu juga panduan wawancara dengan guru, saya tidak bisa buatkan pertanyaan begitu saja karena pandangan saya tentang mendidik anak yang efektif mungkin berbeda dengan pandangan (dan terutama keyakinan) teman saya. Percaya atau tidak, saya yang anti hukuman fisik ternyata tidak demikian dengan teman saya yang beranggapan: “kalau dulu saya tidak dipukul, mungkin saya tidak lulus matematika.” Hm, apa iya harus saya debat hal-hal seperti itu? Kadang iya, kadang tidak sempat ;)
Bagaimana dengan Anda? Saya sungguh ingin tahu pertanyaan-pertanyaan apa yang akan Anda tanya pada guru di sekolah sebagai pertimbangan Anda untuk menyekolahkan (atau tidak) anak Anda di situ; juga hal-hal penting apa yang akan Anda observasi? Semoga Anda mau berbagi di sini :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H