nisafaridz here come the jak. have fun and please let people have some fun too.
begitulah twit saya sore itu
twit itu saya tulis sambil duduk di salah satu bench di tepi lapangan sofbol Pintu 1 Senayan, sementara iring-iringan bis dan orang-orang dengan kaus dan penutup kepala oranye sudah memenuhi akses ke Gelora Bung Karno. kemudian satu twit lain menimpali, mengeluh karena batal jogging di seputaran GBK demi menghindari the Jak.
Sepertinya semakin lama memang banyak warga Jakarta yang semakin “nyerah” dengan ‘kuasa’ kolektif the Jak. mereka duduk di tepi ataupun tengah jalan tanpa peduli. mereka menghadang bis tanpa takut, dan mereka membunyikan genderang, dan atap bis atau kap mobil, yang dengan sesuka hati mereka pukul-pukul. ya, mungkin saya memang melihat mereka dari jarak yang tidak cukup dekat untuk menilai mereka, dan mungkin saya kebagian melihat The Jak yang rusuh, bukan yang sopan santun-nya. tetapi baik di lebak bulus - ketika salah satu dari mereka tidak ragu-ragu untuk nyolek saya yang tidak berkutik duduk di boncengan motor pak ojek yang gagah - ataupun di senayan sore itu, saya belum berjumpa dengan The Jak yang bisa membuat saya merasa aman untuk dekat-dekat dengan mereka tanpa harus berkostum oranye.
apalagi berkostum biru. “mendingan ganti baju deh, daripada ketemu the jak pas pakai baju biru, apalagi kalau kamu berlogat sunda,” saya selalu senyum menimpali pernyataan tersebut, mungkin karena ragu apakah sebegitu parahnya etnosentrisme kelompok masyarakat yang (apa iya?) didominasi suku betawi ini. tetapi pengalaman hari minggu sore yang lalu membuat saya berhenti menganggap bahwa ‘perang’ antara pendukung persija dengan pendukung persib adalah lagak supporter belaka.
seorang laki-laki dikejar puluhan pasukan oranye. pengejaran itu sampai ke lapangan baseball 1 dan terus ke lapangan 2. panik tentu saja melihatnya, tetapi miris rasanya hati saya ketika akal saya berusaha menebak-nebak, siapa laki-laki sial yang dikejar itu. hipotesis yang paling mudah adalah ia seorang pencopet. dipukuli, ditendang, dikeroyok. mungkin ia maling, tebak saya. dan tentu terbersit di kepala saya, berapa uang yang dicurinya? layak dibayar dengan nyawa?
rumorpun berkembang. si korban bukanlah maling. ia hanya supir bis biasa, yang dihadang pasukan oranye setelah usai kemenangan persija kebanggaan mereka. si supir menolak untuk membiarkan penumpang untuk naik ke atas atap bis-nya. tetapi itu bukan kesialan utama si korban ternyata. kenapa? karena si supir malang itu terlalu fasih berbahasa sunda. spontanitasnya terekspresikan dalam bahasa sunda. dan satu dari pasukan oranye berteriak “VIKIIIINGG!!” maka dikejarlah ia.
entahlah nasib orang yang dikeroyok itu. polisi memang datang terlambat seperti biasa, tetapi sampai satu jam setelah kejadian saya berada di tempat itu, belum ada petugas ambulance atau semata-mata P3K yang datang. semoga darah yang mengalir dari kepalanya serta tusukan di bahunya tidak terlambat untuk diselamatkan.
seettt! tangan salah seorang laki-laki dewasa menghadang seorang bocah 12 tahunan yang tengah berlari ke arah orang yang dikeroyok itu. “Mau ke mana Lo?” bentak orang yang besar dan berwajah garang, yang tidak lain adalah pelatih tim sofbol. si bocah berslayer oranye dan membawa sebilah bambu itupun menjawab tidak kalah menyentak: “Orang itu harus mati!”
saya tertunduk patah hati. suara si bocah itu belum lagi menunjukkan ia sudah dewasa. tetapi kalimat yang keluar dari mulutnya seakan-akan ia adalah seorang jagoan yang patut ditakuti. patah hati karena saya merasa sedih menjadi bagian dari bangsa ini. begitu banyak kesesakan, himpitan, dan ketidakbahagiaan yang dirasakan sebagian rakyat sehingga hidup adalah barang yang sangat murah, dan segala kesalahan pantas dibayar nyawa.
gagah sekali bocah itu, dan pemuda-pemuda itu. baju oranye yang dikenakannya tidak berlogo huruf “S” seperti pada baju “superman”, tetapi sore itu oranye seakan-akan adalah warna baju yang membuat orang menjadi super, mempunyai power luar biasa, dan mampu melakukan apa saja. Superman di jakarta tidak berjubah merah, melainkan oranye. dengan baju itu mereka perkasa, membawa segala benda yang dirubahnya menjadi senjata, menerjang wilayah-wilayah yang bukan haknya.
begitulah minggu petang di tengah kota metropolitan kami. saya merasa hopeless, entah apa “PR” yang harus saya lakukan sebagai bagian dari rakyat Indonesia.
saya tidak membenci siapa-siapa, keputusasaan tidak perlu musuh. ia perlu harapan, yang memang tidak ia dapatkan. mungkin itu juga yang dirasakan atau disangkal mereka yang berkostum oranye sore itu: kekecewaan dan keputusasaan atas kota ini. saya kembali update status twitter saya, hal terkecil yang mungkin masih bisa saya lakukan adalah berbagi rasa dan mencari optimisme darinya: