Di era web 2.0 saat ini, teknologi seperti tablet, smartphone, netbook, apalagi PC bukanlah hal baru lagi bagi sudara-saudara kita yang masih duduk di bangku sekolah. Tidak hanya untuk berkomunikasi dan bermain game, mereka bisa menemukan apa pun dalam gadget cukup dengan sekali sentuh atau klik, termasuk konten-konten yang dilarang di usia mereka.
Bagaimana dengan peran gadget di bidang pelajaran? Adik-adik kita ini bahkan bisa mengekplorasi berbagai pengetahuan di luar yang tertera pada buku teks pelajaran. Peran guru bukan lagi sebagai pendikte ilmu pengetahuan. Peran guru lebih kepada fasilitator sekaligus teman tempat murid bertanya dan bercerita. Lantas, sudah siapkah para guru Indonesia memasuki era pembelajaran digital?
[caption id="attachment_343727" align="aligncenter" width="560" caption="Anies Rasyid Baswedan, Rektor Universitas Paramadina dan penggagas gerakan Indonesia Mengajar, ssaat menjadi salah satu narasumber dalam mini seminar Menuju Pembelajaran Digital yang dilaksanakan oleh Grasindo, Rabu (17/9/2013), di Bentara Budaya Jakarta"][/caption]
Anies Baswedan, rektor Universitas Paramadina yang juga penggagas gerakan Indonesia Mengajarmengatakan, permasalahan di era menuju pembelajaran digital bukanlah pada murid, tapi siapkah para guru Indonesia menghadapi perubahan era digital ini?
"The issue is not our student. The issue is are we (teachers) ready for the changes?", tanya Anies saat membuka sesi presentasinya dalam Mini Seminar Pembelajaran Digital yang dilaksanakan oleh Grasindo dan Peson Edu, Rabu (17/9/2013), di Bentara Budaya Jakarta.
Sudah siapkah para guru terhadap perubahan metode pembelajaran di kelas, termasuk perubahan gaya interaksi dengan para murid? Sudah siapkah para guru untuk tidak menutup diri dan menanamkan nilai-nilai postif kepada murid-muridnya terhadap penggunaan gadget dan internet? Di sinilah tantangan era pembelajaran digital.
Dalam presentasinya, Anies menganalogikan perubahan ini pada perbedaan hasil jelajah dunia yang dilakukan bangsa Tiongkok (Ceng Ho) dan Eropa. "Keduanya sama-sama menjelajah, berkeliling dunia. Hanya saja, akibat dari penjelajahan tersebut, (bangsa) yang satu (Tiongkok) menutup diri, sedangkan lainnya (Eropa) Â justru membuka dan mengeksplorasi dunia. Berada di manakah kita?" terang Anies.
Jika berbicara tentang pembelajaran digital, lanjut Anis, tentunya kita berbicara pada pendidikan untuk sekolah dengan kelas ekonomi mengengah ke atas, yang infrastrukturnya sudah siap. Jika diibaratkan bentuk piramida, posisi sekolah itu ada di paling atas atau tengah-tengah. Anies juga menyebut era pembelajaran digital ini dengan nama Project Gutenberg, suatu ikhtiar menggandakan ilmu pengetahuan dengan cara mengumpulkan buku-buku klasik dalam bentuk digital.
Anies bertutur, latar belakang dibentuknya gerakan Indonesia Mengajar agar setiap orang memiliki rasa bangga sebagai seorang guru. Tentunya hal ini turut didukung apabila setiap guru bisa menginspirasi para muridnya. Selepas murid lulus sekolah, tentunya para guru ingin diingat oleh murid-muridnya dalam puluhan tahun mendatang melalui kenangan yang baik.
Anies bercerita tentang keberhasilan seorang fisikawan muslim dari Pakistan yang juga peraih nobel fisika, Abdus Salam. Ketika Abdus Salam ditanya siapa yang menginspirasi dirinya selama ini? Ia menjawab, guru SD.
Melalui praktik percobaan IPA, sang guru membawa para murid ke lapangan sambil membawa kaca pembesar. Lalu, ia letakkan kaca pembesar itu di bawah terik matahari dan dialasi kertas putih. Tak lama, kertasnya terbakar.