Mengkaji sebuah desa, tidak jauh dari feminisasi kemiskinan. Apa itu feminisasi kemiskinan? Feminsasi kemiskinan dapat dikatakan jika adanya peningkatan jumlah perempuan dalam kategori miskin. Khusunya para pekerja perempuan yang menjadi ibu kepala rumah tangga. Hal tersebut terjadi karena perempuan sebagai pencari nafkah seperti pekerja domestik sampai dengan buruh migran (TKI). Semua itu dilakukan untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Mau tidak mau, hal tersebut berdampak pada hak-hak milik anak yang tidak terlindungi dan pola pengasuhan anak menjadi minim. Â Selain berbicara tentang feminisasi di desa, tentunya tidak jauh dari otonomi kebudayaan yang ada di desa untuk mengharagai sebuah perbedaan dan adanya keunikan sebagai identitas budaya desa.
Maka dari itu bermanfaat sekali jika mendirikan sebuah komunitas yang memiliki visi untuk memberdayakan kaum perempuan dan anak-anak. Dengan begitu, mampu menunjukan bahwa mereka memiliki inisiatif untuk meningkatkan pengetahuan, keberlangsungan hidup serta memberi ruang gerak bagi perempuan untuk dapat memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Contohnya Komunitas Tanoker di Jember yang didirikan untuk mewujudkan lingkungan ramah anak, memberi perhatian kepada kaum perempuan dan lingkungan. Â Berbagai kegiatan yang dilakukan oleh Komunitas Tanoker sejalan dengan pemikiran (John Stuart Mill & Hariet Mill) Â menolak pemikiran bahwa perempuan secara intelektual dan emosional dikatakan inferior, lebih menekankan pada kecakapan (capacity) dan kemampuan (capability) perempuan. Â
Secara tidak langsung Komunitas Tanoker memberikan ruang gerak terhadap perempuan serta anak-anak untuk berkontribusi mengatasi permasalahan sosial dan kemiskinan. Gerakan yang dilakukan oleh Komunitas Tanoker juga dapat melindungi dan dapat memenuhi kebutuhan anak-anak. Dari gerakan-gerakan yang dilakukan oleh Komunitas Tanoker, mampu menjadikan  komunitasnya sebagai daerah tujuan wisata yang tidak hanya mengembangkan kecakapan perempuan dan anak tetapi juga dapat meningkatkan perekonomian desa.
Berbagai keikutsertaan masyarakat, melibatkannya dalam kebijakan dan program-program pembangunan tingkat desa tentunya membuka ruang dan merayakan pluralisme melalui hak perempuan dan anak-anak yang hadir di ranah publik. Secara tidak langusng, hal tersebut berdampak pada pembangunan dan memperkuat modal sosial.  Mengingat terdapat sekolah ibu-ibu, sekolah eyang-eyang di Komunitas Tanoker mampu mengembangkan pemberdayaan komunitas yang berkeadilan gender  dan inklusif dalam bingkai pluralisme, feminisme, nilai-nilai kemanusiaan, kesetaraan  serta keadilan, sebagai wujud implementasi PUG dan mandat SDGs. Selain sekolah ibu-ibu dan eyang-eyang, di Komunitas Tanoker juga terdapat festival egrang dan kegiatan lainnya ini dapat menjadi sarana inventarisasi serta implementasi objek pemajuan kebudayaan dengan merayakan desa melalui pemenuhan  hak dan perlindungan anak.
Sehingga menurut klasifikasi Moulyneux, bahwa membangun kesadaran mengenai isu gender dan feminisme yang memiliki keterkaitan dengan agama, politik, etnik, ekonomi, lingkungan serta hak perempuan dan anak untuk memenuhi kepentingan gender secara praktis dan kepentingan gender secara strategis sangat penting untuk diciptakan. Apalagi memahami sebuah etnografi dari desa penting untuk digali yang kerap kali terpinggirkan dalam balutan nilai ideologi patriarki dan kapitalisme.
 "Memuliakan hidup  dan kehidupan dimulai dari desa sebagai rumah Kita semua untuk dapat merawat dan merajut perdamaian dalam bingkai pluralisme dan feminisme".  - Dr. Pinky Saptandari, Dra. MA-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H