Mohon tunggu...
Hayuning Gurit Budi Setyo
Hayuning Gurit Budi Setyo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Maraknya Kekerasan dan Pelecehan Seksual di Jombang

27 November 2024   20:15 Diperbarui: 27 November 2024   20:23 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Nama : Hayuning Gurit Budi Setyo
NIM : 240111100123
Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Madura

Maraknya Kekerasan dan Pelecehan Seksual di Jombang
Angka kekerasan yang tercatat di kabupaten Jombang menunjukkan angka yang mengkhawatirkan. Berdasarkan data yang saya dapat dari Women's Crisis Center (WCC) Jombang, tercatat ada 400 lebih kasus kekerasan sepanjang tahun 2021-2023. Berdasarkan angka tersebut tercatat beberapa kasus pelecehan seksual juga.
Pada tahun 2024 tercatat sebanyak 95 kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan dan anak. Dari banyaknya kasus yang tercatat mayoritas pelaku kekerasandan pelecehan seksual ini dilakukan oleh orang terdekat. Dalam rentang waktu tahun 2023-2024 ini kasus tersebut tercatat ada 8 kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh ayah tiri pada anaknya.
"Untuk kasus yang pelakunya ayah tiri, itu yang membingungkan. Ketika ibu kandung justru membela bapaknya atau suaminya. Itu yang banyak kami temukan dan menjadi tantangan bagi kami." ungkap Direktur WCC. Selain kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang terjadi di rumah. Tercatat juga ada kasus yang terjadi di lingkup pesantren, dan pelaku kekerasan dan pelecehan tersebut adalah kyai atau petinggi di pesantren tersebut.
Sebagai contoh saya menganalisis kasus pencabulan yang terjadi di Pondok Pesantren Ash-Shidiqqiyah Jombang, dalam kasus ini dilakukan oleh anak dari sang kyai yaitu Moch. Subchi Al Tsani atau kerap dipanggil Mas Bechi. Kasus ini terungkap setelah adanya salah satu santriwati bercerita pada keluarganya, yang kemudian pihak keluarga tersebut yang melapor pada pihak kepolisian.
Mas Bechi ini disebutkan bahwa telah mencabuli sebanyak 5 orang santriwati di Pondok Pesantren Ash-Shidiqqiyah. Kasus ini sempat menggantung dikarenakan Mas Bechi sama sekali tidak memenuhi panggilan dari pihak kepolisian. Karena hal tersebut, pihak Polda Jawa Timur sampai mengepung Pondok Pesantren tersebut. Setelah adanya pengepungan yang dilakukan pihak Polda Jawa Timur ini, akhirnya pihak keluarga Mas Bechi menyerahkannya ke pihak polisi.
Pengadilan negeri Surabaya pada akhirnya memvonis terdakwa dengan kasus pelecehan seksual dengan kurungan penjara selama 7 tahun. Hukuman tersebut ternyata jauh lebih ringan dibanding dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Dalam prosesnya, hakim menyebutkan bahwa terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang melanggar pasal 289 juncto pasal 65 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal ini mengatur tentang perbuatan cabul yang disertai dengan ancaman, hukuman maksimal pasal ini maksimal hanya 9 tahun.

Sedangkan Jaksa Penuntut Umum menilai bahwa terdakwa terbukti melanggar pasal 285 juncto pasal 65 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) seperti pada dakwaan pertama. Namun pasal ini mengatur soal pemerkosaan yang disertai dengan ancaman, hukuman maksimanal pasal ini adalah 12 tahun kurungan penjara. Yang dimana majelis hakim tidak sependapat dengan ungkapan jaksa penuntut umum mengenai terdakwa yang melanggar pasal 285 juncto 65 KUHP.
Keputusan pengadilan yang menjatuhkan hukuman 7 tahun penjara kepada Mas Bechi menuai beragam reaksi dari masyarakat. Banyak pihak menilai hukuman tersebut terlalu ringan mengingat dampak psikologis yang dialami para korban. Beberapa organisasi masyarakat, termasuk Women's Crisis Center (WCC) Jombang, menyuarakan ketidakpuasan terhadap keputusan tersebut, mereka menyerukan perlunya penegakan hukum yang lebih tegas untuk melindungi korban kekerasan seksual, terutama di lingkungan keagamaan yang seharusnya menjadi tempat aman.
Menurut Direktur WCC, kasus Mas Bechi ini menjadi hal yang buruk jika hukuman ringan seperti ini terus diberikan kepada pelaku kekerasan seksual, terutama di lingkungan pesantren. "Kami harus memastikan keadilan bagi korban dan memberikan efek jera kepada pelaku. Kalau hukuman terlalu ringan, ini justru memberi pesan bahwa pelecehan seksual bisa ditoleransi,” tutur Direktur WCC.
Kasus ini juga menyoroti lemahnya pengawasan di lingkungan pendidikan berbasis agama. Banyak pihak menyerukan perlunya perubahan dan penguatan, termasuk mekanisme pengawasan terhadap pesantren, agar dapat mencegah terulangnya kasus yang sama. Selain itu, pentingnya edukasi tentang pelecehan seksual dan keberanian melapor juga menjadi hal yang penting dalam berbagai forum yang muncul setelah keluarnya putusan kasus ini.
Di sisi lain, tekanan terhadap para korban juga menjadi perhatian. Dalam kasus Mas Bechi ini,  banyak santriwati yang enggan melapor karena takut mendapatkan culture dari masyarakat atau dari lingkungan pesantren sendiri. Dalam situasi seperti ini, peran keluarga dan organisasi pendamping korban sangat penting. Sayangnya, tidak semua keluarga korban memberikan dukungan penuh. Dalam beberapa kasus, ada keluarga yang justru menekan korban untuk berdamai demi menjaga nama baik pesantren atau hubungan keluarga.
Pemerintah daerah, melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kabupaten Jombang, telah mengungkapkan tentang rencana memperkuat program edukasi dan pencegahan kekerasan seksual di lingkungan pesantren. Salah satunya adalah dengan menyelenggarakan pelatihan kepada guru, pengasuh, dan santri tentang tanda-tanda kekerasan seksual serta cara melaporkannya. Selain itu, DP3A juga mendukung pendirian pusat aduan yang dapat diakses langsung oleh korban tanpa perlu khawatir akan ancaman lainnya.

Kasus kekerasan seksual seperti yang terjadi di Pondok Pesantren Ash-Shidiqqiyah ini menunjukkan perlunya perubahan dalam menangani dan mencegah kekerasan seksual di Indonesia. Dalam hal seperti ini pentingnya keterlibatan semua pihak, termasuk pemerintah, aparat penegak hukum, lembaga pendidikan, dan masyarakat luas, untuk menciptakan lingkungan yang aman, nyaman, dan adil bagi semua pihak, khususnya perempuan dan anak-anak di Indonesia.
Selain upaya pemerintah daerah dan lembaga pendamping, beberapa tokoh masyarakat juga menyerukan perlunya revisi undang-undang terkait kekerasan seksual. Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang telah disahkan pada 2022 dianggap sebagai langkah maju, namun penerapannya masih terkendala. Salah satunya adalah kurangnya pemahaman aparat penegak hukum tentang prosedur dalam Undang-Undang tersebut, sehingga sering kali korban justru merasa tidak mendapatkan perlindungan yang maksimal.
Dalam kasus Mas Bechi ini proses penegakan hukum sempat tertunda karena adanya perlindungan dari pihak keluarga. Hal ini menunjukkan betapa pengaruh sosial dan politik dapat menghambat keadilan bagi korban. Namun, sejumlah kasus yang berhasil diungkap, seperti kasus Mas Bechi  juga menjadi bukti bahwa perubahan sedang terjadi. Kesadaran masyarakat mulai meningkat, dan keberanian para korban untuk melapor menjadi hal penting dalam mengungkap kasus-kasus serupa. Para santriwati yang berani angkat suara dalam kasus ini menjadi simbol perjuangan melawan ketidakadilan, meskipun mereka harus menghadapi berbagai tekanan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun