Integrasi nasional sebagai suatu konsep dalam ikatan dengan wawasan kebangsaan dalam Negara Kesatuan Indonesia yang berlandaskan pada aliran pemikiran atau paham integralistik yang berhubungan dengan paham idealisme untuk mengenal dan memahami sesuatu yang harus dicari kaitannya.
Tahun 2017 adalah tahun yang penuh dengan macam-macam cerita, baik yang menyedihkan atau menggembirakan. Bangsa ini, selayaknya bangsa yang baru masuk pada era yang hampir di segala lini kehidupan dapat ditampilkan dalam dunia digital, dengan segala kemampuannya berusaha melawan pengaruh buruk percepatan informasi melalui dunia digital berupa "Hoax" atau berita bohong. Hoax ini yang awalnya ditabur oleh orang-orang yang memiliki intensi untuk sekedar bercanda, kemudian menjamur di masyarakat tropis ini menjadi sesuatu yang merapuhkan.Â
Pada tingkatan selanjutnya Hoax ditabur bukan lagi hanya untuk wacana hiburan, namun oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab menjadi alat politik. Kita tahu di pertengahan 2017 ada sebuah sindikat yang menamakan diri mereka "Saracen". Sindikat tersebut menjadikan Hoax( dalam konteks ujaran kebencian"menjadi ladang bisnis. Dimulai dari menyebarkan berita bohong mengenai seseorang atau golongan sampai menampilkan berita-berita yang memanas-manasi massa untuk tidak memilih  atau bahkan membenci seseorang/golongan.
 Namun, sekali lagi pemerintah belum berhasil untuk menyelesaikan akar permasalahan dari Undang-Undang yang seharusnya menjadi senjata mutakhir untuk meberantas "Hoax dan teman-temannya" tersebut, karena Pasal 27 ayat (1), 27 ayat (3), Pasal 28 ayat (2), dan Pasal 29 UU ITE masih berupa pasal karet dan ambigu sehingga malah berimplikasi saling lapor dan overkriminalisasi. Koordinator SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network), Damar Juniarto, memaparkan dalam satu tahun saja setidaknya 359 aduan tercatat terkait pasal pencemaran nama baik, 21 aduan terkait pasal penodaan agama, 1 aduan terkait pasal pengancaman online. Jurus jitu pemerintah selanjutnya adalah diterbitkannya Perppu Nomor 2 Tahun 2017 mengenai Organisasi Kemasyarakatan(Ormas) yang juga telah disahkan DPR menjadi UU. UU tersebut secara cepat langsung mendapat tanggapan dari masyarakat luas, banyak yang mendukung namun banyak juga disisi lain yang meminta agar UU ini segera direvisi kembali perihal tugas sekaligus hak khusus yang diberikan kepada pemerintah oleh UU tersebut untuk membubarkan ormas yang anti Pancasila tanpa melalui jalur pengadilan yang dinilai tidak sesuai dengan kontitusi dan asas-asas yang dimiliki oleh negara hukum.
Pergerakan konstelasi politik yang begitu cepat, yang telah di sebutkan diatas, tidak dapat dipungkiri banyak disebabkan oleh perhelatan Pilkada DKI Jakarta diawal tahun 2017 yang membawa tokoh-tokoh besar dalam pusaran polemik kekuasaan. Sebut saja Presiden RI ke 6 Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden RI ke 5 Megawati Soekarno Putri, hingga Elit-elit partai politik lain seperti Prabowo Subianto sampai-sampai harus turun gunung dan secara sungguh-sungguh mengamati dan mengkoordinasikan langsung jalannya pilkada, maka dari itu pilkada tersebut, sering kali oleh banyak orang disebut "pilkada rasa pilpres". Pilkada ini mempertandingkan antara petahana Gubernur DKI Jakarta yaitu Basuki Cahaya Purnama(Ahok) dengan seorang intelektual muda yang juga merupakan mentri pendidikan yang saat itu baru di copot yaitu  Anies Rasyid Baswedan, dan anak sulung SBY yang kemudian keluar dari perhelatan terlebih dulu karena kalah di putaran pertama, yaitu Agus Harimukti Yudhoyono. Polemik panjang dimulai ketika Buni Yani pada tanggal 6 Oktober 2016  mengunggah video rekaman pidato mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Cahaya Purnama(saat itu masih menjabat) yang sedang berpidato di Pulau Seribu pada tanggal 27 September 2016, di akun Facebooknya, berjudul 'Penistaan terhadap Agama?' dengan transkripsi pidato Ahok namun memotong kata 'pakai'. Setelah itu Ahok dilaporkan ke polisi oleh beberapa pihak yang merasa tersinggung, dan kemudian digalang serentetan aksi yang dinamakan Aksi Bela Islam, dari Aksi Bela Islam 1 (Aksi 1410) pada tanggal 14 Oktober 2016 hingga yang terbesar Aksi Bela Islam 3 ( Aksi 212) pada tanggal 2 Desember 2016 dan, masih berlanjut lagi hingga Aksi Bela Islam 7 pada Mei 2017 lalu. Serangkaian aksi tersebut berlangsung damai, dan tertib, namun aksi-aksi ini sedikit-banyak dirasa ditunggangi dengan kepentingan politik, agar memenangkan pasangan Calon Gubernur DKI Jakarta saat itu yang oleh beberapa orang menyebut dengan"asal bukan Ahok". Disisi lain setelah vonis penjara 2 tahun yang diterima oleh Ahok, massa pro Ahok yang berganti melakukan aksi.  Dikatakan sebagai aksi itu disebut dengan Aksi Seribu Lilin untuk Ahok yang diadakan di berbagai kota secara sporadis selama berminggu-minggu sambil menyebut mereka sebagai silent majority, yang selama ini diam dan akhirnya bergerak melihat kebatilan.
Lemhanas RI memprediksi dan menskenariokan Indonesia akan mendapatkan bonus demografi pada tahun 2045, dan dikatakan menjadi masa keemasan Indonesia.
Sehingga kita sebagai anak bangsa harus menatap Indonesia 2045 dengan gemilang dengan mempertajam diri di tahun-tahun kedepan, karena bukan tidak mungkin bonus demografi tersebut dapat menjadi bencana jika tidak disikapi dengan benar.
Kesatuan dan integrasi bangsa harus tetap terjaga dan semakin erat sehingga masa keemasan Indonesia benar-benar bisa tergapai!
-Bayu Novendra, 31 Desember 2017 pkl 18.47 WIB
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H