Mohon tunggu...
Nirnas Jayanti
Nirnas Jayanti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Airlangga

Memiliki hobi membaca komik!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Wacana Pilkada Melalui DPRD, Mengubur Sistem Demokrasi di Indonesia?

5 Januari 2025   09:47 Diperbarui: 5 Januari 2025   09:47 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Munculnya wacana untuk ditiadakannya Pilkada langsung dan diganti dengan sistem pemilihan kepala daerah melalui DPRD menuai beragam reaksi dari berbagai kalangan masyarakat di Indonesia. Tak terkecuali dari sebagian besar politisi dari partai-partai politik di Indonesia yang ikut menyuarakan suara positif terhadap wacana Pilkada melalui DPRD yang kembali disuarakan oleh Presiden Prabowo Subianto pada saat menghadiri puncak perayaan HUT ke-60 Partai Golkar di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Jawa Barat, Kamis (12/12/2024).

Sebelumnya, sistem Pilkada melalui DPRD ini sudah pernah dilakukan sejak awal kemerdekaan sampai dengan lahirnya Pilkada langsung pada tahun 2005 berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Namun, pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sempat terjadi perubahan sistem Pilkada dengan adanya pengesahan UU No. 22 Tahun 2014 oleh DPR yang mengembalikan sistem Pilkada melalui DPRD.

Saat itu, berbagai kalangan masyarakat menyampaikan protesnya terhadap kebijakan tersebut karena dianggap sebagai kemunduran dalam sistem demokrasi di Indonesia. Tak berlangsung lama, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan penolakannya terhadap undang-undang tersebut dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 Tahun 2014 yang mencabut UU No. 22 Tahun 2014 dan mengembalikan sistem Pilkada langsung yang berlaku di Indonesia hingga saat ini.

Wacana pengembalian sistem Pilkada melalui DPRD merupakan lagu klasik yang terus diulang-ulang. Wacana yang terus diangkat dengan alasan yang sama, yakni hendak menekan biaya penyelenggaraan Pilkada langsung dan mengurangi konflik antar partai politik maupun kubu pendukung ketika masa Pilkada tiba.

Sejatinya, yang membuat biaya penyelenggaraan Pilkada itu dapat membengkak sendirinya adalah adanya pengeluaran biaya di luar laporan dan digunakan tidak semestinya. Seperti biaya kampanye di luar anggaran, praktik-praktik pembelian suara hingga hal suap-menyuap dalam masa kontestasi politik yang telah menjadi rahasia umum dalam setiap penyelenggaraan pesta demokrasi di Indonesia.

Pilkada melalui DPRD dianggap sebagai solusi dari besarnya anggaran politik dalam pelaksanaan Pilkada langsung, sehingga anggaran yang seharusnya digunakan untuk menyelenggarakan Pilkada dapat dialihkan untuk memenuhi kebutuhan rakyat Indonesia. Hal tersebut jelas menimbulkan banyak protes dan keraguan akan substansi dari pertimbangan tersebut.

Rakyat menilai, yang harus diubah adalah tata kelola partai politik dan calonnya dalam berkontestasi, bukan sistem pemilihannya. Penyelenggaraan Pilkada melalui DPRD sama dengan mematikan partisipasi rakyat Indonesia dalam memilih dan menilai sendiri kualitas calon kepala daerah yang akan memimpin daerahnya nanti. Dengan dilaksanakannya Pilkada secara langsung dapat membuat rakyat merasa lebih diajak dalam membangun daerahnya bersama kepala daerah yang mereka pilih. Selain itu, tumbuhnya kepercayaan dari rakyat sehingga mereka dapat lebih vokal dalam menyuarakan dukungan maupun kritik terhadap kebijakan maupun permasalahan yang terjadi di daerahnya.

Pemerintah masih harus mengkaji ulang jika ingin mengembalikan sistem Pilkada melalui DPRD ini. Bukan tidak mungkin akan muncul risiko konflik antara kepala daerah dengan rakyatnya karena mereka merasa tidak sejalan dan tidak cocok dengan kinerja kepala daerah yang dipilih oleh DPRD. Selain itu, tidak menutup kemungkinan akan terjadinya konflik antara kepala daerah dengan rakyatnya akibat kehendak rakyat yang tidak sejalan dengan kepala daerah terpilih. Mereka tidak dapat menilai dan memilih pemimpin mereka sendiri padahal rakyat merupakan pemegang kedaulatan negara sebagaimana tertuang pada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun