Mahasiswa Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya Prodi Psikologi Nirmala Yunita Halim NIM 1512000217 , Sebagai bentuk Tugas Evaluasi Akhir Semester (EAS) yang dibawah bimbingan Dosen pengampu DR. Merry Fridha Tri Palupi, M.SI Psikolog selaku dosen mata kuliah Komunkasi Gender (I).
   Konsep gender di Indonesia merupakan sebuah isu dan kajian yang masih fenomenal hingga sekarang. Indonesia merupakan salah satu negara yang masih kuat mengacu pada kiblat patriarki dalam membentuk budaya dan tatanan sosialnya. Perempuan kerap kali dikaitkan dengan sesuatu yang feminim, lemah, dan hanya cocok melakukan pekerjaan rumah tangga. Disisi lain, laki-laki juga sering dikaitkan dengan sesuatu yang maskulin, kuat, dan harus berperan besar pada sektor publik. Hal ini menjadi akar permasalahan adanya bias gender pada media periklanan di Indonesia. Penggunaan konsep gender yang diimani oleh mayoritas masyarakat Indonesia ini, dianggap sebagai strategi jitu untuk megiklankan produk pada semua kalangan. Sayangnya, strategi tersebut justru menimbulkan masalah ketidakadilan pada gender dan semakin menguatkan konsep patriarki di Indonesia. Marginalisasi, double/multi burden, stereotipe, subordinasi, merupakan beberapa contoh dari sekian banyak bentuk ketidakadilan gender yang digunakan dalam iklan.
   Beberapa iklan besar di Indonesia seperti iklan bumbu racik atau minuman berenergi sering kali menggunakan konsep gender dalam periklanannya. Misalnya pada iklan bumbu racik atau bumbu dapur, perempuan hampir selalu dijadikan tokoh utama dalam iklannya. Sosok perempuan atau ibu sering digambarkan melakukan banyak pekerjaan rumah tangga sekaligus merawat anak atau suaminya. Tidak jarang juga, sosok perempuan ini juga digambarkan masih harus mengurusi pekerjaan kantor disela kegiatan rumah tangganya. Banyaknya tugas dan peranan yang harus dijalankan oleh tokoh perempuan ini dikenal sebagai double/multi burden dalam bentuk ketidakadilan gender. Selain itu, pada jenis iklan seperti itu juga membawakan konsep stereotipe gender, di mana peranan seorang perempuan hakikatnya adalah di dapur dan merawat keluarganya.
   Â
   Contoh lain, yaitu pada iklan minuman berenergi. Sering kali kita dapati bahwa jenis iklan seperti ini menjadikan sosok laki-laki sebagai tokoh utama pada iklannya. Tak jarang juga sosok laki-laki ini digambarkan harus kuat dan bermental baja. Pemeran yang direkrut juga merupakan aktor yang memiliki tubuh yang ‘maskulin’ di mana banyak otot-otot tubuh si pemeran yang kemudian ditampilkan untuk memunculkan kesan kuat. Iklan minuman berenergi seperti ini menjual stereotipe bahwa laki-laki harus maskulin dan kuat. Laki-laki tidak boleh lemah dan cengeng. Seorang laki-laki dapat dikatakan laki-laki jika memiliki otot-otot yang besar pada tubuhnya. Masih banyak lagi contoh iklan yang lekat dengan ketidakadilan gender dalam pemasaran produknya. Media merupakan salah satu sumber panutan masyarakat Indonesia. Hal ini lah yang harus dijadikan bahan pertimbangan sebelum membuat konten-konten yang akan disajikan untuk masyarakat di Indonesia. Jangan sampai masyarakat justru semakin teracuni dengan stereotipe gender yang tidak benar dan akhirnya budaya patriarki semakin mengakar di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H