Mohon tunggu...
NIRMALA LINTANG PALUPI
NIRMALA LINTANG PALUPI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Airlangga

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Generasi Z dan Sosial Media: Menemukan Diri atau Kehilangan Diri?

9 Januari 2025   09:00 Diperbarui: 8 Januari 2025   13:02 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan Mental dan Identitas Digital

Sosial media telah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari, khususnya bagi Generasi Z, yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an. Kehadiran sosial media seperti Instagram, TikTok, Twitter, dan Facebook memberikan akses instan ke berbagai informasi, hiburan, dan interaksi sosial yang sebelumnya tidak terbayangkan. Namun, meskipun sosial media menawarkan berbagai kemudahan, ada dampak yang signifikan terhadap kesehatan mental dan pembentukan identitas diri, terutama di kalangan Generasi Z. Dalam tulisan ini, saya akan mengulas bagaimana sosial media mempengaruhi dua aspek penting ini, berdasarkan data yang ada dan opini pribadi.

Pertama-tama, mari kita lihat bagaimana sosial media berpengaruh terhadap kesehatan mental Generasi Z. Menurut penelitian yang dilakukan oleh American Psychological Association (APA) pada 2022, lebih dari 70% remaja merasa cemas atau tertekan akibat penggunaan sosial media, terutama karena tekanan untuk tampil sempurna di hadapan orang lain. Generasi Z sering kali merasa diharuskan untuk memamerkan kehidupan mereka yang tampak ideal melalui gambar atau video yang disaring dan diedit. Fenomena ini dikenal dengan istilah "social comparison," di mana individu membandingkan diri mereka dengan kehidupan orang lain yang terlihat lebih menarik atau bahagia. Ini dapat memicu perasaan cemas, rendah diri, atau bahkan depresi.

Dari data ini, saya melihat bahwa banyak generasi muda merasa terjebak dalam siklus perbandingan sosial yang terus menerus, yang berdampak langsung pada kesehatan mental mereka. Sebagai contoh, melalui platform seperti Instagram dan TikTok, pengguna sering kali terpapar dengan standar kecantikan dan kesuksesan yang sangat tinggi, yang seringkali tidak realistis. Padahal, banyak dari konten tersebut adalah hasil editing atau pencitraan yang tidak mencerminkan kehidupan nyata. Hal ini menambah beban mental, terutama bagi Generasi Z yang sedang dalam proses pencarian jati diri.

Tidak hanya itu, sosial media juga berkontribusi pada peningkatan tingkat kecemasan sosial. Menggunakan sosial media sering kali menjadi cara untuk tetap terhubung dengan teman-teman, namun bagi sebagian orang, ini juga bisa menambah tekanan sosial. Rasa takut akan ketinggalan atau dikenal dengan fenomena "fear of missing out" (FOMO) dapat menyebabkan kecemasan yang berlebihan. Data dari The Child Mind Institute menunjukkan bahwa 60% remaja merasa cemas jika tidak dapat mengikuti tren atau percakapan di sosial media. Ini menambah kompleksitas dalam kesejahteraan mental generasi ini, karena tekanan untuk selalu "on" atau terkoneksi dapat mengganggu kesehatan psikologis mereka.

Namun, ada sisi positif dari sosial media yang perlu dicatat, yakni sebagai platform untuk mengekspresikan diri dan menemukan komunitas yang mendukung. Banyak anggota Generasi Z yang merasa lebih bebas untuk mengekspresikan identitas diri mereka secara otentik, terutama dalam hal orientasi seksual atau ekspresi gender. Sosial media memberikan ruang bagi mereka untuk menemukan kelompok yang memiliki minat dan pengalaman serupa. Hal ini dapat memperkuat rasa komunitas dan mendukung mereka dalam proses pembentukan identitas diri.

Meskipun demikian, pembentukan identitas diri melalui sosial media tidak selalu berjalan mulus. Media sosial dapat memperkenalkan ekspektasi sosial yang sangat tinggi dan, pada gilirannya, membentuk standar yang mungkin tidak realistis atau merugikan. Sebagai contoh, pengaruh selebriti dan influencer yang sering mempromosikan gaya hidup mewah atau standar kecantikan tertentu bisa memberikan tekanan tersendiri. Hal ini bisa membuat banyak individu merasa tidak puas dengan diri mereka, bahkan meskipun mereka tahu bahwa kehidupan nyata jauh berbeda dengan apa yang terlihat di layar sosial media.

Sosial media juga berfungsi sebagai alat pembentuk opini dan pandangan dunia. Di sisi positifnya, generasi ini bisa dengan mudah mengakses berbagai ideologi, informasi, dan perspektif global, yang memperluas wawasan mereka. Namun, di sisi lain, ada juga risiko "echo chamber," di mana seseorang hanya terpapar dengan informasi yang sejalan dengan pandangan mereka sendiri, yang bisa mempersempit cara berpikir dan membatasi pemahaman mereka tentang dunia. Hal ini dapat menghambat perkembangan identitas yang lebih inklusif dan terbuka.

Menurut data dari Pew Research Center, 71% Generasi Z menggunakan sosial media sebagai sumber utama berita mereka. Meski ini memberikan akses mudah ke informasi, fenomena "infodemic" yang melibatkan penyebaran berita palsu atau misinformasi juga menjadi masalah besar. Ketika seseorang mengandalkan sosial media sebagai sumber utama informasi, mereka berisiko terpapar pada konten yang tidak akurat, yang dapat membentuk pandangan yang tidak objektif atau salah tentang isu-isu sosial dan politik.

Dari sudut pandang pribadi, saya melihat bahwa sosial media, meskipun memiliki banyak manfaat, juga berpotensi menambah beban mental bagi Generasi Z. Kesehatan mental dan pembentukan identitas di era digital ini sangat terpengaruh oleh cara sosial media membentuk interaksi sosial dan persepsi diri. Oleh karena itu, penting bagi pengguna sosial media, terutama Generasi Z, untuk belajar cara menggunakan platform ini dengan bijak. Mereka harus sadar bahwa apa yang mereka lihat di sosial media seringkali hanyalah representasi dari kehidupan yang dipilih dan dipoles, bukan gambaran nyata.

Reformasi dalam cara kita berinteraksi dengan sosial media sangat dibutuhkan. Pemerintah, sekolah, dan keluarga harus bekerja sama untuk memberikan edukasi kepada Generasi Z tentang penggunaan sosial media yang sehat dan bijaksana. Hal ini termasuk mengajarkan mereka untuk tidak terlalu bergantung pada validation sosial melalui likes atau komentar, dan untuk lebih fokus pada pengembangan diri yang positif.

Sosial media mempengaruhi kesehatan mental dan pembentukan identitas Generasi Z dengan cara yang kompleks. Meskipun ada potensi untuk perkembangan diri dan ekspresi, tekanan sosial dan perbandingan yang terus-menerus dapat memperburuk kesejahteraan psikologis mereka. Oleh karena itu, penting bagi Generasi Z untuk menemukan keseimbangan dalam penggunaan sosial media dan tidak terjebak dalam ekspektasi yang diciptakan oleh platform digital. Pembentukan identitas yang sehat dan perkembangan mental yang baik hanya dapat terwujud jika sosial media digunakan dengan bijak dan penuh kesadaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun