Mohon tunggu...
Nirma Herlina Ghanie
Nirma Herlina Ghanie Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang ibu dari anak-anak yang baik

Besar dalam keluarga demokratis menjadikanku berusaha berdedikasi dalam keluarga dan karir

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Oh...Kos. Kau Ajarkanku Cinta,...

15 April 2013   22:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:08 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kata kos yang terdiri dari tiga huruf mengajarkan saya tiga hal; cinta, kreatif dan kuat.

Mengapa cinta?

Pertama kali kos kelas 1 SMP tahun 1989, saya belajar terutama hal hal kecil dalam pekerjaan yang biasa dilakukan perempuan. Masih ingat ketika saya mencuci seragam putih dan saya merasa mengapa ujung roknya tak bisa sebersih ketika ibu mencuci, lalu ibu saya menunjukkan bagaimana ia biasa mencuci termasuk membersihkan bagian saku baju dan rok. Saya kemudian mulai tertarik dengan urusan masak, cuci mencuci dan menyeterika baju.

Sebagai anak kos saya diharuskan mengelola keuangan dengan baik agar uang cukup untuk membeli kebutuhan ini itu setelah tentu saja saya beberapa kali pailit hahaha (uang makan habis buat beli es krim sampai sampai pernah tak ada uang untuk ongkos pulang kampung dan akhirnya saya pulang jalan kaki)

Dari kegagalan saya, saya waktu itu berpikir alangkah hebat ibu saya yang bisa mencuci dengan telaten membersihkan ujung rok, dan melakukan hal hal yang biasa dilakukan perempuan  tanpa banyak kesulitan dan betapa hebat ayah mengatur keuangan keluarga kami yang jauh dari kecukupan. Saya jatuh cinta pada mereka ketika kelas 1 SMP dan dua tahun kemudian saya berjanji pada diri sendiri untuk selalu berprestasi untuk membahagiakan mereka.

Ada apa dengan kreatif?

Menjadi anak kos bagi sebagian orang termasuk saya identik dengan hidup serba kekurangan- uang kiriman tidak memadai kebutuhan. Ini selalu saya alami terutama di masa Aliyah. Saat itu saya hanya pulang sebulan sekali karena jarak kos dengan rumah lebih dari 96 km. Uang bulanan saya sepertiga dari rata rata uang bulanan anak kos lainnya.  Tapi saya tidak pernah mengeluh, tidak juga meminta tambahan karena saya malu untuk menyusahkan orang tua, malu meminta sebab saya belum bisa memberi apa apa. Saya tidak bisa membeli buku paket. Saya meminjam buku paket kakak kelas selama seminggu, lalu isinya saya tulis dalam buku catatan, isinya ada persis dengan buku paket yang ratusan halaman isinya ada juga yang saya ringkas. Saya masih ingat yang sama persis dengan buku paket adalah buku Fisika dan Kimia, karena saya waktu itu saya pikir semuanya penting jadi yaaa.. semuanya saya catat. Saya tidak punya buku paket, tapi catatan saya lengkap. Dan Alhamdulillah selama Aliyah saya selalu berada di peringkat pertama di kelas dan di sekolah. Masih ada satu kisah favorit yang sampai sekarang sering saya ceritakan pada murid murid saya, untuk tidak menyerah pada kekurangan. Waktu itu uang tidak ada sepeserpun, untuk makan hanya ada beras dan garam. Saya tidak mau meminjam uang meski oleh ibu dibolehkan jika itu untuk urusan perut. Didekat kos ada pohon nangka saya melihat banyak cibabal, lalu saya mengambil beberapa buah dan meminta satu buah cabe keriting dari teman. Cibabal itu ditumbuk dicampur dengan cabe dan garam dan itu menjadi lauk saya selama seminggu sampai kiriman uang tiba. Ada beberapa lauk lauk unik lainnya hasil kreatifitas saya agar bisa survive hehehe. Saya juga suka ke kantor guru dan menyodorkan diri untuk membuatkan teh manis dengan imbalan saya bisa mendapatkan teh manis segelas gratis.

Dengan menjadi anak kos yang kekurangan, saya menjadi kreatif untuk bisa punya buku paket, bisa makan, bisa minum teh manis.

6 tahun kos  membuat saya kemudian lebih menikmati masa masa kos saya ketika kuliah S1. Keuangan keluarga kami yang membaik tidak membuat saya berani menadahkan tangan meminta uang tambahan. Dari mulai kuliah tahun 1996 sampai selesai tahun 2001 uang bulanan saya tetap seratus ribu rupiah. Saya lebih memilih mencari uang sendiri dengan bekerja sambil kuliah meski hanya meminta restu ibu, sebab saya khawatir menyinggung perasaan bapak sebagai kepala keluarga. Beliau baru mengetahui saya bekerja sambil kuliah setelah saya tamat S1.

Menjadi anak kos selama bertahun tahun akhirnya membuat saya kuat. Kuat menghadapi segala hal hal buruk yang datang di kemudian hari. Termasuk masa masa sulit di awal pernikahan saya. Dan sekarang ketika saya harus kembali menjadi anak kos selama 2 tahun kedepan, saya seperti sudah tinggal meluncur dari sebuah tanjakan.

Cibabal adalah bahasa melayu di beberapa daerah di Riau dalam bahasa sunda di kenal dengan tongtolang nangka. Anak nangka yang biasa dibuat rujak bebek.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun