Alam mulai tidur dalam dekapan gelap, sedikit cahaya dari bulan sabit menyembul malu di lapisan awan mencoba menyelinap di sebalik tirai jendela. Tiada suara jangkrik seperti yang biasa ku dengar di rumah di kampong. Disini yang kadang terdengar, suara kendaraan mendekat dan menjauh , sesekali suara sedikit berguruh yang ternyata suara dispenser air di kamarku. Kala semua hening, detak jantung begitu jelas seolah telinga menempel di dada.
Ada sesuatu yang membelai jiwa ini, membelai sudut mataku untuk seperti biasa membasahi pupil, sesuatu yang ku coba berkata tidak padanya, tidak untuk membuat mataku sembab lagi.
Perih itu bernyanyi kembali seperti suara buluh perindu tersapa angin ketika tawa renyah anak anaku berderai memanggil “ bunda bunda.. hore bunda pulang.”
Lalu senyum suamiku yang manis dengan tangan mengembang siap memelukku. Wajah lucu Lian, Ahya dan Aleeya yang merajuk ketika mereka tahu aku akan kembali meninggalkan mereka sementara.
“Yaaa.. sekolah lagi? Koq sekolah lagi sih? Jangan jauh jauh ngapa sekolahnya, disini aja.”
Tapi mereka kembali ceria ketika ku katakan kalau aku sekolah jauh mereka bisa mengunjungiku dan naik pesawat.
“Naik pesawat?? Tinggi??Terbang? Mau mau…. Iyalah.. nanti kakak Ahya, adek Aleeya dan abang Lian dan ayah nengok bunda, iya yah naik pesawat?”
Potongan slides itu mengiris pelan sesuatu di sebalik dada, di tempat udara bermuara membuat sakit tenggorokan bahkan untuk sekedar menelan ludah. Sekali lagi kukatakan tidak! padanya.
“Apa yang kau cari? Kehormatan? Perubahan? Pengabdian? Kebaikan? Atau penderitaan?”
“Hanya orang bodoh yang memilih penderitaan.”
“Kalau kau tidak menderita kau tidak menghabiskan harimu dengan menangis!”
“Tidak semua tangisan berarti penderitaan.”
Dia tertawa dan bertepuk tangan.
“Hebat, tapi bebanmu bertambah berat bukan? Tidakkah kau merasa menyesal?”
“ Ya, berat amat sangat. Itu sebabnya terkadang aku menangis. Aku lemah, lelah, bosan, enggan rasa yang menghinggapi berganti ganti diantara bahagia, suka, cinta dan mimpi. Tapi aku tak pernah menyesali apa yang tlah ku putuskan tuk hari ini. Aku tlah bertanya pada-Nya, Tunjukkan aku jalan yang harus ku tempuh, jalan yang terbaik untukku kini dan nanti, untuk orang orang yang ku cinta kini dan nanti, orang orang di sekelilingku kini dan nanti. Dengan caraNya Ia tlah memberiku jalan ini. Menyesali berada disini berarti aku meragukanNya.”
“Tapi kau sering meragukanNya! Kau sering berkata mungkinkah ini yang kutuju, mungkinkah ini yang terbaik?”
“ Bukan, bukan meragukanNya. Aku meragukan diriku yang belum belajar mendengar nurani. yang terlalu sering berpihak pada nalar dan emosi, pada hal yang empiris dan berbagai teori. Selaiknya logika, rasa dan nurani adalah raga dan jiwa, udara dan nafas, nadi dan darah. Aku harus terus belajar.”
“Apa yang kau dapat sekarang?
“Bahagia.”
“Apa yang akan kau dapat nanti? Apakah mereka akan memandangmu lebih dan meletakkanmu lebih tinggi? Sekarang saja mereka tak perduli dengan apa yang kau alami!”
“ Apa yang akan terjadi nanti, tak ada yang pasti. Tapi apa yang akan ku dapat adalah apa yang kulakukan hari ini.”
“Tidakkah kau takut? apa yang hilang hari ini tidak sebanding dengan apa yang akan terjadi.”
“Udara yang ku hembuskan dari nafasku tak pernah hilang, ia hanya berubah wujud. Tetap selalu ada di sekelilingku, kemanapun aku melangkah.”
Sekali lagi ku katakan tidak padanya, namun hangat itu kembali menyapa pipi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H