Mohon tunggu...
Nirkuning
Nirkuning Mohon Tunggu... Dosen - Sabbe Satta Bhavantu Sukhi Tatta

Terima kasih sudah berkunjung. Akun lama, lupa password :') https://www.kompasiana.com/nirkuning

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Diskriminasi Usia "Gap Ageisme": Kenapa Generasi Baby Boomers Seringkali Meremehkan Orang Muda?

27 November 2023   02:41 Diperbarui: 27 November 2023   05:05 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Ageism is a global challenge" begitu WHO menuliskan sebuah headline di tahun 2021, menyoroti mengenai dinamika sosial "pembedaan berdasarkan usia" merupakan tantangan global. Seperti sebuah momok, semestinya hal ini tidak dianggap sepele dan dinormalisasi oleh publik dan media. Padahal ageisme ini merupakan upaya diskriminasi bagi orang muda, yang umumnya hal ini dilakukan oleh para generasi tua atau dikenal dengan istilah baby boomers.

Pandangan umum masyarakat, seringkali menunjukkan bahwa orang tua merupakan subyek yang harus dipatuhi, didengarkan, diteladani, dan dijadikan referensi karena pengalaman usia mereka akan sebanding dengan pengalaman yang telah mereka tempuh. Hal ini terus dinormalisasi masyarakat, ditambah lagi bangsa Indonesia merupakan bangsa timur yang harus mengutamakan adab terhadap sosok yang lebih tua atau sepuh. Saya sepakat mengenai hal ini, dalam rangka menjunjung nilai moral dan kesopansantunan sebagai identitas bangsa dan merupakan cerminan sikap yang baik. Tetapi dalam konteks tertentu, hal ini seringkali menjadi boomerang dimana timbul ketimpangan akibat pembedaan berdasarkan usia. Baik orang dewasa tua maupun muda sering kali dirugikan di tempat kerja dan akses terhadap pelatihan dan pendidikan khusus menurun secara signifikan seiring bertambahnya usia. Misalnya dalam konteks dunia kerja, usia tua akan dianggap sebagai subyek yang memiliki banyak pengalaman sehingga layak untuk posisi-posisi strategis dan tertinggi. Sementara itu, orang muda, sering dianggap sebagai pihak yang belum berpengalaman sehingga sebaiknya berada dalam posisi bawah, dengan upah minimum dan tekanan yang tinggi, karena dalam rangka memperoleh pengalaman sebanyak-banyaknya.

Padahal faktanya, orang muda di masa kini, tumbuh bersama percepatan teknologi, mendorong para orang muda memiliki kemampuan beragam yang dapat dikatakan "lebih canggih" dibandingkan para pekerja generasi baby boomers. Dalam konteks cerita yang lain, ada pula baby boomers yang memiliki skill bekerja, namun terhalang karena usia yang tidak lagi memenuhi standar perusahaan dengan pelbagai stereotype, bahkan orang muda yang masih terkategori usia muda atau katakanlah Generasi Y dan Generasi Z, dianggap sebagai orang tua yang unproductive person. Kita sama-sama menyaksikan bahwa hal ini kemudian merugikan banyak pihak, sehingga saling menyepelekan antar-generasi, yang senyatanya memiliki potensi dan keahlian masing-masing. Padahal, faktor keberhasilan suatu program, tidak hanya bertumpu pada faktor usia semata.

Bukan maksud tulisan ini, memihak salah satu generasi atau mempertegas jurang ketimpangan, namun ada satu poin yang seringkali menjadi hal yang disalahpahami oleh antar-generasi adalah; pentingnya KOLABORASI. Ageisme terhadap orang-orang yang lebih muda dan lebih tua adalah hal yang lazim, tidak diakui, tidak tertandingi, dan memiliki konsekuensi yang luas terhadap perekonomian dan masyarakat kita. Ageisme terhadap kaum muda terwujud dalam banyak bidang seperti pekerjaan, kesehatan, perumahan dan politik dimana suara kaum muda sering kali ditolak atau diabaikan. Ageisme merembes ke banyak institusi dan sektor masyarakat termasuk lembaga yang menyediakan layanan kesehatan dan sosial, di tempat kerja, media, dan sistem hukum.

Ageisme mempunyai konsekuensi yang serius dan luas terhadap kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Di kalangan lansia, ageisme dikaitkan dengan kesehatan fisik dan mental yang lebih buruk, peningkatan isolasi sosial dan kesepian, ketidakamanan finansial yang lebih besar, penurunan kualitas hidup, dan kematian dini. Diperkirakan 6,3 juta kasus depresi secara global diperkirakan disebabkan oleh ageisme. Hal ini bersinggungan dan memperburuk bentuk-bentuk bias dan kerugian lainnya termasuk yang berkaitan dengan jenis kelamin, ras dan disabilitas yang menyebabkan dampak negatif terhadap kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.

Memerangi ageisme

Salah satu keunggulan bangsa Indonesia adalah budaya unggah-ungguh atau bersikap patuh, berempati, dan menghormati orang tua, karena memposisikan bagaimana nantinya orang tua atau keluarga mereka ketika diperlakukan oleh orang lain. Sikap ini dibawa tidak hanya pada budaya dimana seseorang berasal melainkan dilakukan pada pelbagai suku dan budaya. Para orang tua senyatanya juga tidak sedikit yang menghargai, mengakui, dan mendukung keberadaan orang tua dengan kemampuan yang dimiliki sesuai dengan didikan zaman. Akar dari ageism adalah kesalahpahaman (underestimate) maka untuk menguraikannya diperlukan suatu momen pertemuan untuk mengikis konflik, berdialog, sekaligus udar prasangka.

Di tahun ini, saya mengamati beberapa komunitas anak muda yang berada di Lubuklinggau, Bukittinggi, Yogyakarta, dan Bengkulu. Dimana spirit yang mereka bawa, adalah semangat anak muda yang berupaya meminimalisir kesenjangan berdasarkan potensi yang mereka minati, mulai dari bidang seni, pendidikan inklusi, mendukung hak pendidikan bagi Anak Berhadapan dengan Hukum di lembaga pemasyarakatan, hingga melakukan hal-hal sederhana namun berdampak. Saya turut mendengarkan irisan persoalan yang dihadapi oleh masing-masing komunitas adalah berhadapan dengan generasi baby boomers yang kaku dan konservatif, sehingga seringkali mengganggap anak muda hanya dari tampilan dan usia muda, dan ini menjadi dasar mereka tidak dipercaya untuk mengelola "urusan adminitrasi, disiplin waktu, dan sejumlah dana hibah". Bias pandangan ini sering membuat kesal, karena dari sisi keahlian dan pendidikan memenuhi kualifikasi, namun menyempitkan kesempatan komunitas orang muda untuk berkembang lebih pesat lagi.

"Kami butuh bantuan, dimana bantuan itu seringkali dikelola oleh para generasi baby boomers, kadang bila tidak menahan diri, kami berdiskusi dan melewatkan kesempatan itu akibat kesal, tapi bila sedikit mengelola dan bersabar, maka kami akan meminta mereka untuk datang sehingga ada kesempatan untuk menjelaskan mengenai gagasan-gagasan kami". Begitu salah satu informasi dari narasumber B, selaku salah satu ketua di komunitas orang muda.

Secara sosiologis, kesalahpahaman ini, lebih diakibatkan karena keterbatasan pengalaman dan kemampuan para baby boomers terhadap keberagaman isu dan kecanggihan perangkat tools dan teknologi lainnya. Maka, perlu ada satu upaya KOLABORASI untuk menemukenali keterbatasan dan keunggulan antar-generasi. Karena di wilayah lain yang saya amati, menunjukkan bahwa konflik akibat ageisme ini juga mengikis keutuhan sistem yang sedang berjalan, di satu sisi, hal ini membuat kedua pihak saling berinovasi dan kreatif, namun di sisi lain konflik ini menjadi semakin laten dan sengit. Oleh sebab itu, agar silaturahmi tidak terputus, mari kita UDAR PRASANGKA lebih serius...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun