Mohon tunggu...
Retno Wahyuningtyas
Retno Wahyuningtyas Mohon Tunggu... Human Resources - Phenomenologist

Sedang melakoni hidup di Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Food Porn: People Taking Food Picture Before Eat

27 April 2014   08:27 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:09 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_333524" align="aligncenter" width="562" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]



[caption id="attachment_333524" align="aligncenter" width="562" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"]

13985705701539621072
13985705701539621072
[/caption]

Saya memiliki beberapa teman dekat yang memiliki kebiasaan mengunggah foto makanan yang akan dimakan, semacam perilaku narsisme atau dalam bahasa anak muda sekarang disebut dengan selfie. Tidak tanggung-tanggung, foto yang diambil pun langsung diunggah ke beberapa sosial media yang dimilikinya. Beberapa kali saya mengamati, hal ini lama-lama menjadi kebiasaan yang lumrah dilakukan teman-teman saya tersebut ketika kami hendak makan bersama, yang paling klimaks yang saya temui adalah mereka tidak  mau menyentuh makanan sebelum mengambil gambar dari makanan yang tersaji. Lalu saya tertarik untuk melakukan analisis sederhana tentang perilaku tersebut.

Umumnya setiap orang memiliki lebih dari dua akun medsos yang intens digunakan sebagai alat komunikasi lewat dunia maya. Kemudian media sosial ini menjadi situs “pribadi” yang sering digunakan seseorang untuk mengekspresikan apa saja yang ingin dibagikannya kepada orang lain sebagai bentuk sosialisasi. Namun seiring perkembangan teknologi, banyak ditemukan fenomena-fenomena yang “melenceng” dari fungsi utama teknologi yakni sebagai upaya mempermudah kehidupan manusia melalui alat bantu mutakhir yang dikenal dengan teknologi. Salah satunya adalah Food Porn, fenomena yang kerap muncul pada remaja yang sedang digandrungi kecanduan gadget dan fitur-fitur media sosialnya. Di Indonesia fenomena ini menjamur seiring dengan perkembangan gadget yang semakin berkembang, khususnya bagi remaja di daerah perkotaan.

Studi pada 2012 yang dilakukan oleh tim dari University of Southern California mengungkap jika terlalu sering melihat foto makanan di internet akan merangsang otak untuk makan secara berlebihan. Beberapa restoran disana kemudian berinisiatif ada yang menerapkan peraturan tentang larangan mengambil foto makanan dan mengunggah di medsos. Seperti yang terjadi pada sebuah restoran di New York. Pemilik retoran Chef Michelin, David Bouley bmelarang pelanggannya untuk mengambil foto makanan dan minuman yang disajikan. Menurutnya aktivitas pengambilan foto tersebut dapat mengganggu pelanggan lain dan baginya makanan yang telah disajikan sebaiknya langsung diminati.

Kecenderungan lainnya juga diungkapkan oleh Dr. Valerie Taylor, seorang psikiater dari Women College Hospital, University of Toronto, Kanada yang mengungkapkan bahwa sebelum makanan atau minuman dinikmati, banyak orang yang mengambil gambar  terlebih dahulu dan kemudian mengambil waktu untuk diunggah di medsos mereka. Dalam penelitiannya pun disebutkan bahwa dewasa ini beberapa orang keluar rumah untuk makan, bukan karena memang membutuhkan makan. Justru hanya demi interaksi di media sosial mereka. Apa yang dimakan, kapan mengunjunginya dan kapan kembali ke tempat tersebut menjadi hal penting untuk di unggah di media sosial mereka, dan perilaku ini merupakan bagian dari ganguan jiwa.

Sebagai refleksi, coba kita ingat-ingat kembali sudah berapa banyak jumlah foto makanan dan minuman yang kita unggah di akun medsos pribadi?. Mulanya kita menganggap tindakan ini sebagai bentuk keisengan semata, namun kemudian pengaruh kecanduan gadget membuat aktivitas iseng ini bermetamorfosis menjadi sebuah “kebiasaan” dan menyebabkan kita semakin rutin mengunggah foto tersebut di media sosial.

Psikolog Ida Ruwaida dari Universitas Indonesia menngungkapkan bahwa secara Sosiologis, anak muda yang cenderung mengikuti trend Food Porn bukan merupakan tindakan yang salah. Proses makan bukan hanya merupakan pemenuhan kebutuhan biologis, tetapi juga bagian dari perilaku sosial. Kecenderungan anak muda adalah selalu ingin bersosialisasi dan gemar berbagi mengenai aktivitas yang mereka lakukan. Trend Food Porn menjadi hal menarik bagi mereka lalu kemudian mereka mempostingnya di media sosial. Beliau juga menambahkan bahwa banyaknya fitur media sosial yang ada menyebabkan trend Food Porn semakin menjamur di kalangan anak muda. Perilaku ini menjadi negatif adalah ketika menjamurnya trend Food Porn ini menjadi pemicu munculnya pembagian-pembagian kelas sosial berdasarkan jenis makanan yang diunggah.

Misalnya seorang remaja dari strata ekonomi kelas atas mengunggah foto kuliner dengan jenis makanan dengan harga tinggi dan berasal dari restoran yang eksklusif, tentu saja ini turut merepresentasikan status ekonomi dan menaikkan gengsinya sebagai kelompok borjuis. Atau bagi kelompok sosialita aktivitas makan bukan hanya menjadi perihal untuk memenuhi kebutuhan biologis. Tetapi ada kebutuhan "sosial" yang akan menempatkan mereka pada posisi kaum borju, sementara ketika di lain sisi ada seseorang dengan kemampuan ekonomi biasa-biasa saja kemudian mengunggah jenis makanan yang “kelas rakyat” atau makanan tradisional yang umumnya kita temui, terkesan tidak “eksklusif” dan akan menyebabkan pembedaan-pembedaan sosial.  Yang dikhawatirkan adalah nantinya akan menjadi sumber pemicu konflik. Hal semacam itu perlu dihindari dan diminimalisir, caranya adalah dengan berusaha mengenali setiap informasi yang kita dapatkan. Tentu saja ini berkaitan tentang "serangan" teknologi yang senantiasa berkembang, sehingga kita tidak hanya sekedar ikut-ikutan melakukan aktivitas yang kadang tidak kita "mengerti" maksudnya. Penggunaan teknologi dengan cara yang cerdas akan membuat kita semakin bijak dalam menerima setiap pembaruan yang ada. Ini bukan soal benar dan salah, memang tidak ada yang salah ketika kita memutuskan untuk melakukan aktivitas yang kita inginkan. Tetapi ikatan nilai dan norma dalam masyarakat tidak serta-merta dapat kita abaikan.

Kita mungkin sudah paham bahwa setiap kerja yang kita kerjakan didasarkan dari niat. Pun ketika sedang melakukan tindakan seperti kebiasaan mengambil foto makanan sebelum makan dan lalu mengunggahnya merupakan kondisi pergeseran nilai sosial dalam budaya masyarakat metropolis sekarang. Manusia “modern” diharapkan mampu berlaku bijak dalam menghadapi “potongan kue” globalisasi yang semakin manis untuk dirasakan. Tapi kue tersebut sepantasnya jangan sampai membuat kita menjadi “anti-sosial” karena keserakahan kita dalam mengkonsumsinya. Bijak dalam mengkonsumsi dan menggunakan teknologi tentu saja akan menyelaraskan kehidupan. Einstein pernah memprediksi bahwa “Suatu hari teknologi akan mengganggu hidup manusia di dunia nyata. Jika ini terjadi, maka dunia akan dihuni oleh orang idiot”. Dan kemudian prediksi ini benar-benar terjadi di zaman sekarang. Kondisi dimana media sosial menjadi gaya hidup baru bagi siapa saja. Kehidupan maya dalam sosial media menjadi “semakin hidup” dibarengi dengan perkembangan teknologi gadget-gadget bertaraf high-technology.

Penyebutan “idiot” dalam petuah yang dimaksudkan oleh Einstein barangkali merujuk kepada orang-orang yang hidupnya “diserahkan” pada gadget. Bukankah pada masa sekarang banyak sekali kita temui orang-orang yang gemar menikmati "dunia sendiri" sembari menunduk dan menatap layar berukuran kecil. Jika diamati lebih jelas, nyatanya tidak lain mereka sedang asyik berinteraksi dengan gadgetnya. Sungguh pemandangan yang miris, ketika seseorang menjadi cenderung anti sosial, tidak peka pada kehidupan di sekitarnya, menjadi penggiat di dunia maya, namun sebaliknya menjadi hidup, bergairah, dan aktif menjadi penggiat di dunia maya. Semoga kita semua selalu bijak dalam menggunakan teknologi. Salam!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun