Mohon tunggu...
Retno Wahyuningtyas
Retno Wahyuningtyas Mohon Tunggu... Human Resources - Phenomenologist

Sedang melakoni hidup di Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hubungan Beracun dalam Keluarga

27 Juli 2019   18:32 Diperbarui: 27 Juli 2019   18:35 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tadi siang, salah seorang teman perempuan mengajak saya bercerita. Tentang hidupnya yang semakin terhimpit, akibat sumbatan-sumbatan dalam hubungan beracun. Sebagai anak perempuan. Tentu ia ingin melakukan banyak hal yang terbaik. 

Tentu saja salah satunya membagikan cinta dalam keluarga. Telah ia laku-kan banyak hal agar dapat membagi dirinya, dan menjadi tauladan bagi adik-adiknya. Sayangnya, sang ibu yang sedang bingung justru lebih sayang kepada dua kakak laki-lakinya. 

"Saya tidak tahu, kapan semua ini akan berakhir. Tapi kita seperti anak yang dikotak-kotakkan ketika sang ibu sendiri justeru merasa iri dengan keberadaan saya". Keluhnya. Sembari menepuk-nepuk pundaknya, saya hanya mampu menyediakan kedua kupinh dan hati seadanya. Saya tahu tidak mampu banyak membantu, tetapi cukup baginya, ketika saat itu ia dapat merasa lebih lega seperti sebelumnya. 

"Mana yang lebih baik dipilih? Mengadvokasi urusan kelompok termarjinalkan atau tenggelam dalam kepahitan hidupmu yang rumit?" Ia menuangkan sebuah pertanyaan yang tak bisa ku jawab. "Kau tentu beruntung, tiada menanggung masalah berat seperti keluar sesuatu dari ubun-ubun dan lutur. Untuk alasan itu, ku sumbat selinting tembakau yang ku sulut api, agar setiap asap yang ku hembuskan. Ia ikut di dalamnya. Dan berhasil". 

Aku, diam. Titik Balik Percakapan kami berhenti pada hipotesa pentingnya mengarungi hidup dengan bermain sepuas-nya. Aku ingat pada suatu catatan dari Pak Faiz bahwa, selain sebagai seorang manusia sapiens. 

Manusia juga mewujud sebagai manusia faber dan manusia ludens. Manusia yang bermain. Orang tua dalam masa sebelum kami, tentu tidak memiliki kesempatan untuk lebih banyak bermain. Selain karena; caa pandang yang canggung dalam memahami konsep bermain dan permainan.

Ini juga disebabkan karena kondisi sosial, ekonomi, dan politik. Keterbatasan harta dan pangan. Membatasi jam-jam bermain dan mengkonstruksi hidup keseharian mereka menjadi sesuatu yang "kaku" dan canggung. 

Oleh karena itu semua, kecanggungan ini terwariskan ke dalam hubungan di masa depan. Ada istilah toxic-relationship. Bahkan ada istilah toxic parenting atau toxic parents. Kondisi dimana orang tua dianggap "racun" bagi anak-anaknya. Sebagai orang tua yang "bingung" dan "egois". 

Sehingga memaksa anak untuk menjadi sesuatu yang ia imajinasikan tanpa memberi petunjuk dan role model yang berkesesuaian. Tapi, upaya menuntut hanya menambah tanggungan luka batin bagi anak. 

Atau menambah rentetan daftar istilah dan umpatan orang tua kepada anak mulai dari stigma anak durhaka, rebel, dan pembangkang. Ini tidak akan selesai, dan secara sosiologis dapat menjadi habitus baru yang akan terwariskan pada masa-masa generasi mendatang. Oleh sebab itu, cara memutusnya mungkin dapat dengan dua cara; dengan saling berbicara dan rekonsiliasi dalam keluarga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun