Sebagai keluarga transmigran, tidak ada ritual maupun budaya khusus yang kami lakukan ketika tinggal di Lubuklinggau. Hanya saja yang saya catat, ialah keluarga kami masih belum menyatu pada budaya sumatera dengan segala budaya yang terpapar di hadapan kami. Ada imaji kolektif yang terus ditegaskan bahwa entitas kami (masih) merupakan bagian dari masyarakat Jawa yang tinggal di Sumatera. Padahal dalam ketetapan administrasi geografi kami telah hidup lebih dari dua puluh tahun. Ini merupakan keunikan, ketika tidak ada paksaan untuk menjadi seutuhnya penerus budaya dari suatu daerah tertentu.Â
Dalam menjalankan upacara pernikahan, kami tetap menggunakan adat Jawa bahkan menyajikan sesaji untuk leluhur (karena keluarga kami merupakan bagian dari Kejawen); atau pada acara-acara tertentu ketika kami kecil si Mbah Lanang akan menyewa jasa Kuda Lumping sebagai upaya menghidupkan imaji budaya yang berusaha ia jaga dan pelepas rindu terhadap "kampung halaman". Mengenai isu transmigrasi ini saya juga merasa tertarik untuk menuliskan pengalaman, guna menandai sejarah keluarga sendiri. Sehinga ceritanya tidak hanya dapat diingat secara personal. Semoga si Mbah Lanang kerasan di sisi Gusti Allah, AlFatihah...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H