Belakangan ini kembali terkuak kasus kekerasan yang dilakukan oleh senior kepada junior. Tidak tanggung-tanggung, kasus ini terjadi di lingkungan sekolah tinggi kedinasan yang dikelola langsung oleh pemerintah. Sungguh ironi jika memandang bahwa sekolah tinggi kedinasan nyatanya memiliki image prestisius di mata masyarakat. Tentu saja mereka yang terpilih bukan orang yang sembarangan. Pemuda-pemudi berkualitas yang diseleksi sesuai kualifikasi dan serangakaian proses seleksi yang ketat. Harapannya menjaring pemuda-pemudi yang memiliki kapasitas yang tangguh baik secara fisiologis, psikologis, dan intelektual. Kemudian menghasilkan taruna-taruni “berkualitas” yang diharapkan dapat menjadi abdi negara di masa depan.
Berkaca pada pengalaman yang telah terjadi, sangat disayangkan selama ini justru budaya senioritas dalam suatu lembaga pendidikan menyebabkan munculnya kecacatan baru yang melukai visi dan misi pendidikan yang seharusnya. Masa orientasi kerap dianggap sebagai budaya “welcoming party” bagi para junior, parahnya situasi ini kerap dimanfaatkan oleh senior untuk melakukan kekerasan sebagai dalih pembenaran untuk melakukan kekerasan. Masih ingat tahun lalu, pada kasus Fikri seorang mahasiswa baru ITN Malang Jurusan Planologi yang meninggal pada masa ospek lapangan. Perponcloan menyebabkan Fikri yang memiliki tubuh gempal diduga dehidrasi akibat aktivitas berat yang diinstruksikan seniornya. Parahnya aktivitas yang menguras banyak energi tersebut, dianggap sebagai lelucon oleh para seniornya. Respon Fikri ketika meminta minum kepada senior yang menjadi panitia, justru ditanggapi dengan hanya diberikannya satu sendok air minum kepada Fikri. Tak lama setelah itu, Fikri lemas dan meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit. Aksi perploncoan tersebut kemudian mengungkapkan data dan fakta dalam dokumentasi yang memuat gambar kekerasan fisik dan kekerasan visual kepada peserta ospek. Oleh banyak kalangan aksi tersebut dikecam sebagai tindakan penyimpangan. Lebih parah lagi, setelah kejadian tersebut muncul ke permukaan tidak satupun pihak lembaga ITN yang dengan heroik bersedia menjadi penanggungjawab kasus tersebut. Termasuk ada upaya menutup-nutupi senior yang menjadi eksekutor dalam kegiatan ospek tersebut. Hingga sekarang wajah orientasi mahasiswa baru tidak juga berubah, pada saat presentasi konsep di hadapan para pejabat kampus. Konsep dirancang dengan bentuk-bentuk elegan yang dinilai berkesesuaian dengan gelar “mahasiswa’, namun praktiknya selalu ada aksi-aksi kekerasan yang kerap disisipkan sebagai bentuk upaya meningkatkan solidaritas di kalangan senior-junior. Tentu saja ini sebuah upaya pembenaran sekelompok orang untuk melanggengkan hasrat dendam yang diterima sebelumnya (umumnya pelaku ospek yang “ekstrim” pernah memiliki pengalaman serupa di masa lalu, sehingga hasrat tersebut tertanam dalam hati dan meledak ketika disuguhkan dalam kondisi serta waktu yang tepat).
Kembali pada kasus taruna senior Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran yang menjadi tersangka dalam aksi pembunuhan juniornya beberapa waktu lalu, mulanya kasus tersebut terjadi karena ketersingungan seorang senior kepada juniornya ketika jam makan siang. Kemudian hal tersebut berlanjut di belakang layar dan turut mnyebabkan lenyapnya nyawa seorang taruna junior. Sungguh mengenaskan jika harga sebuah ketersinggungan harus dibayar dengan satu nyawa. Apa jadinya dunia ini bila hal demikian kerap terus dibiarkan? Seungguh ironis sekali. Ketika setiap orang yang menjadi pelaku pendidikan pada jenjang baru perkuliahan harus mengalami “trauma bersama” ketika dihadapkan pada kata “ospek”. Mengerikan. Semangat membara akan hasrat untuk menikmati dunia perkuliahan sebagai lahan untuk memuaskan dahaga akan pengetahuan. Harus berakhir pada harapan senior “gila hormat” yang di luar kendali justru menyebabkan dampak fatal dan merugikan banyak pihak. Perlukah aktivitas ospek dihapuskan? Semacam luka lama yang terus digali namun tetap mewabah. Nyatanya kegiatan ini tetap saklek dilaksanakan berulang-ulang, terus menerus dalam masa ajaran baru, dan menimbulkan korban-korban baru. Belum puaskah kita?
Seorang Psikolog remaja, Tika Wibisono (yang dikutip dari Okezone.com) menyebutkan bahwa bullying dan kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah salah satunya disebabkan karena adanya pembiaran dari pihak sekolah. Manajemen sekolah harus terlibat dalam hal ini karena kalau bullying terjadi di sekolah secara terus menerus hal ini merupakan tindakan yang tidak wajar.
Menurut perspektif Sosiologis, solidaritas sosial merupakan suatu hubungan sosial yang didasarkan atas kesamaan, kepentingan dan tujuan bersama sehingga menghasilkan hubungan yang intim dan akrab. Kesamaan ini tentu saja berorientasi pada kesamaan visi dan misi dalam saling menciptakan sesuatu (karya) yang positif sebagai bentuk kompetisi yang sehat. Sebaliknya konsep solidaritas kerap disalahartikan dan dipersempit maknanya menjadi hubungan patuh antara senior-junior dengan mengutamakan prinsip sama rata-sama rasa. Sehingga kesalah-kaprahan ini menyebabkan underestimate yang kadang berakibat fatal. Misalnya tawuran umumnya disebabkan oleh kesalahpahaman memaknai definisi tersebut sehingga ketika suatu anggota kelompok merasa terancam akibat kelompok lain, maka kelompok lain bisa “legowo” membantu melindungi anggota kelompoknya. Begitu juga dengan kegiatan perponcloan, aksi “solidaritas” justru dimanfaatkan oleh senior sebagai media menelurkan hasrat “balas dendam” kepada juniornya, tanpa mempertimbangkan kemungkinan terburuk ketika hal tersebut dilakukan. Tidak sepatutnya bentuk penghormatan antara senior-junior ditanggapi terlalu serius, strata dalam lembaga tersebut seharusnya cukup menjadi simbol yang tidak menuntut banyak keistimewaan. Namun yang terjadi banyak senior di kampus yang merasa simbol tersebut harus dijunjung dan dipatuhi sebagai sebuah strata resmi dan memuat banyak keistimewaan. Sehingga terdapat konstruksi nilai yang semu yang disepakati oleh kelompok kecil senior yang menuntut “keistimewaan” berupa penghormatan setinggi-tingginya dari kalangan junior. Kasarnya yang tidak patuh, maka akan ditindas salam masa percobaan yang tidak tahu batasan waktunya. Tidak salah jika kemudian ketengangan sosial ini berujung pada persengitan antara senior dan junior yang “tidak manut”. Sehingga junior “tidak manut” menjadi sasaran bullying dan tak ayal menjadi bulan-bulanan korban kekerasan senior.
Kemudian siapa yang dirugikan dalam hal ini? Tentu saja semua pihak yang terlibat dalam institusi pendidikan. Jika Ki Hajar Dewantara mampu untuk bangkit dari kubur, barangkali dia sudah berbalik dan menghujat semua pihak yang telah “menyingkirkan” visi dan misinya dulu ketika memperjuangkan pendidikan agar bisa dirasakan oleh semua rakyat Indonesia. Namun yang terjadi sekarang? Kita bertingkah seolah-olah perjuangannya tiada berarti. Tiap tahun dalam bulan Mei, kita kerap mengagung-agungkannya sebagai pahlawan dan bapak bangsa pendidikan. Melambungkan namanya dalam penghormatan setinggi-tingginya, namun dalam sisi yang sama kita tidak menghayati dan meresapi perjuangannya. Memaknai setiap harapannya terlebih saat mendirikan Taman Siswa sebagai sekolah rakyat pertama di Republik ini. Konon Taman Siswa diberikan nama yang demikian sebagai harapannya untuk menciptakan nuansa pendidikan yang mencerdaskan sekaligus bisa dirasakan dengan suka-cita oleh siapa saja, sehingga asumsinya sekolah menjadi taman ilmu yang menyenangkan bagi siapa saja yang hendak menanam dan menuai banyak pengetahuan-pengetahuan baru.
Seorang filsuf terdahulu, Thomas Hobbes pernah menyebutkan bahwa kekerasan merupakan sesuatu yang alamiah pada manusia. Dia percaya bahwa manusia adalah makhluk yang dikuasai oleh dorongan-dorongan irasional, anarkis, saling iri, serta benci sehingga menjadi jahat, buasa, kasar, liar dan berpikir pendek. Khususnya ketika “berebut” kekuasaan yang menjadi hajat pribadinya. Hobbes juga mengatakan bahwa manusia adalah serigala bagi manusia yang lain “man is a wolf man” atau terkenal dengan istilah homo homini lupus. Oleh karena itu, kesimpulan Hobbes berada pada suatu hal yakni bahwa kekerasan merupakan sifat alami yang ada dalam diri manusia. Hobbes menilai bahwa hanya suatu pemerintahan negara yang menggunakan kekerasan terpusat dan memiliki kekuatanlah yang dapat mengendalikan situasi dan kondisi bangsa. Namun JJ. Rousseau memandang berbeda, dia mengungkapkan bahwa pada dasarnya manusia itu polos, mencintai diri secara spontan, dan tidak egois. Yang menjadikan manusia kehilangan sifat alaminya tersebut adalah banyak ditentukan oleh peradaban dan kebudayaan yang menjadi kontributor sosial yang turut membentuk perilaku dalam diri seseorang. Wajar jika kemudian manusia dapat menjadi kasar dan kejam serupa “serigala”. Dengan kata lain, kekerasan bukan sifat dasar manusia.
Terlepas dari apa yang disampaikan kedua ahli tersebut, penulis meyakini bahwa apa yang ada dan melebur dalam diri seseorang sesungguhnya lahir dari “rahim sosial”. Artinya bahwa ada tangan-tangan kolektif yang terlibat dalam pembentukan karakter individu ketika di masyarakat. Peran orang tua, peran stakeholder, peran peer-group, peran lingkungan sekitar tempat tinggal, sistem nilai dan norma, peran lingkungan lembaga tempat anak “mengembangkan diri”, serta unit-unit lainnya. Semua turut berkolaborasi membentuk “karakter” personal dan pandangan seseorang. Sayang sekali, dewasa ini peran nilai dan norma mulai dianggap sebagai sesuatu yang “membatasi” langkah seseorang sehingga kendurnya “tanggungjawab sosial” dalam keberlangsungan aspek ini mengakibatkan semua pihak turut melakukan pembiaran dalam setiap hal yang terjadi. Kontrol sosial mulai lemah sehingga membungkam kebenaran yang terjadi, banyak orang mulai terjangkit virus “anti-sosial” sehingga tidak mau “mencampuri” urusan orang lain yang sebenarnya menjadi cikal bakal wabah bersama. Minimnya minat untuk “saling menjaga” seperti yang diajarkan leluhur dahulu dalam bentuk “pemberian sanksi sosial” sebenarnya menjadi kontrol bersama dalam menjaga rantai kehidupan sosial. Sehingga tetap menghadirkan kehidupan yang harmoni, damai dan penuh rasa cinta. Lihat saja zaman ketika sekolah menjadi tempat menyenangkan untuk menimba ilmu, semua orang hanya perlu percaya bahwa pendidikan dapat mencerdaskan anak bangsa tanpa harus khawatir dengan ancaman lain yang terjadi. Di zaman sekarang, kebebasan untuk menimba ilmu dibatasi dengan semakin banyaknya orang “jahat” yang mengintai rasa aman. Hal ini sangat mengkhawatirkan bagi semua pihak.
Semoga kita senantiasa bercermin pada pengalaman masa lalu, sehingga mampu fokus pada upaya perbaikan diri khususnya dalam hal upaya perbaikan kualitas pendidikan yang masih jauh tertinggal. Jangan lagi berkutat pada masalah penyimpangan dan kekerasan yang dibalut dalam modus senioritas. Bukankah sebagai kaum intelektual kita memiliki lebih banyak tugas untuk turut berkontribusi mencerdaskan sesama? Rendahnya angka partisipasi sekolah di daerah tertinggal, dana BOS yang dikorupsi, fasilitas sarana dan prasarana sekolah yang tidak memadai, jumlah pendidik yang terbatas, dan masalah lain yang muncul seharusnya menjadi musuh bersama kita untuk menggerakkan roda perubahan bangsa. Hanya ada satu kata : LAWAN! (Wiji Thukul). Lawan kekerasan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H