Mohon tunggu...
Venny Tjiang
Venny Tjiang Mohon Tunggu... karyawan swasta -

an invisible treasure

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

In My Eyes - Chapter 3

4 Juni 2012   18:06 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:24 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1338528026318332114

CHAPTER 3

Recap: Aku menyusuri jalan yang sudah sangat kukenal. Udara sudah semakin dingin, beruntung aku saat ini aku memakai cardigan. Aku merapatkan cardiganku dan berjalan lebih cepat ketika menyusuri sebuah gang yang gelap. Mataku masih asyik memandangi kerikil-kerikil di jalan ketika tanpa sadar aku menabrak seseorang. Aku sedikit terhuyung ke belakang lalu menoleh untuk melihat siapa yang kutabrak. Jantungku seketika itu juga berdetak kencang. Perasaan tidak enak menghampiriku. Lelaki yang menatapku aneh di kafe tadi sekarang tepat berada di depanku. Tiba-tiba saja semua menjadi kabur. Yang kuingat hanyalah tubuhku direnggut paksa dan dijatuhkan ke tanah. Aku berusaha meronta ketika tangan lelaki itu mulai menyentuhku. Sekilas kulihat seringai di mulut lelaki itu dan tatapan matanya yang liar menatap tubuhku. Aku merasa jijik dan semakin memberontak. Tapi kekuatanku tidak sebanding dengan kekuatan genggaman lelaki itu. Lalu semua menjadi gelap. ……………………………………………………………. Mataku mengeryit saat kurasakan silaunya matahari menerpa mataku. Aku mengedipkan mataku berulang kali, berusaha beradaptasi dengan sinar yang masuk melalui jendela kamarku. Kepalaku terasa seakan sedang berputar, ugh…apa yang terjadi? Aku berusaha menegakkan posisiku menjadi setengah duduk. Lengan dan kakiku terasa perih dan letih. Namun, perih di bagian tubuhku yang lain langsung menarik perhatianku. Bagian itu…oh tidak…bagian kewanitaanku! Ada apa ini, apa yang terjadi padaku? Aku berusaha mengingat apa yang kulakukan kemarin. Aku ingat aku sedang mengobrol dengan Lana lalu kami berpisah. Kemudian… Kengerian melandaku seketika saat serentetan ingatan akan kejadian tadi malam menghantam pikiranku. Perih yang kurasakan mengkonfirmasikan ingatanku. Kemudian aku memandang tubuhku dan merasa sangat jijik. Dengan refleks aku melompat turun dari tempat tidur dan langsung berlari ke kamar mandi. Seperti orang gila aku berusaha membersihkan tubuhku selama mungkin dengan menggunakan semua pembersih tubuh yang bisa kutemukan. Sabun, lulur, batu apung, pembersih kewanitaan, dan aku berharap semua lapisan kulitku yang pernah disentuh lelaki bajingan itu bisa terkelupas dan tergerus air. Air mataku tidak berhenti mengalir. Hartaku yang paling penting dirampas begitu saja oleh bajingan yang tidak kukenal. Dalam hati aku bersumpah membunuhnya. Aku terduduk di lantai kamar mandi dan menangis. Sekujur kulit tubuhku memerah akibat kugosok terlalu lama. Sudah dua jam aku berada di sini dan aku tidak punya tenaga sama sekali bahkan untuk berdiri. Kudengar langkah seseorang masuk ke kamarku dan mendekati kamar mandi. “Oh Ella!” mama menghampiri dan merangkulku. Aku tidak mampu berkata apapun, aku hanya menangis dan terus menangis di pelukannya. “Mama minta maaf, mama sungguh menyesal!” Aku tidak mengerti untuk apa mama meminta maaf. Ini semua bukan salahnya, ini salah bajingan keparat itu. Aku menggelengkan kepalaku dalam pelukan mama dan berbisik pelan, “Aku lelah” Mama berusaha memapahku ke tempat tidur dan membantuku memakai pakaian. Aku baru saja bangun tapi aku sudah merasa sangat lelah dengan semua yang kualami. Aku merebahkan tubuhku dan menutup mata. Semoga ini semua lenyap saat aku bangun nanti, semoga saja ini hanya mimpi. Mama membiarkanku tidur dan beranjak keluar dari kamar. … “Ella…” aku merasakan ada tangan yang membelai kepalaku. Aku beringsut malas, tidak ingin bangun dari tidurku. “Ella, sudah waktunya makan siang,” suara familiar itu kembali terdengar. Aku mengerjapkan mataku dan menoleh ke arah suara tersebut. Senyumku terkembang ketika melihat kak Rey “Jadi, semuanya ini bukan mimpi?” Tanyaku lemah. Sekilas kulihat raut kesedihan terpancar dari wajah kak Rey. Ia mengangguk pelan tanpa melepaskan pandangannya padaku. Aku mendesah pelan, tak terasa sebutir air mata mengalir di pipiku. Kak Rey bergegas menghapus air mataku dengan jarinya. Ia merengkuhku dalam pelukannya, “Maaf, Ella, aku tidak menjagamu dengan baik,” Aku melepaskan diriku dari pelukannya. “Kak, ini bukan salah kakak!” protesku. Mataku menatapnya sedih. Aku tidak ingin ia dan mama menyalahkan diri mereka atas nasib sialku. “Aku tahu, Ella, tapi tetap saja. Andai saja aku menemukanmu lebih cepat di gang itu. Andai aku tahu siapa bajingan itu, aku pasti akan mencari dan membunuhnya!” geram kak Rey. Tatapannya penuh kebencian. Aku tertawa geli, pikirannya sama dengan pikiranku sebelumnya. Kurasa kami berdua akan pensiun di dalam penjara saat tua nanti. “Well, sayangnya aku tidak bisa mengingat secara detail wajah pria itu,” dahiku mengeryit berusaha mengingat, “yang aku tahu rambutnya panjang sebahu dan yang paling kuingat adalah tatapan matanya yang liar. Selebihnya aku tidak ingat.” Aku menggelengkan kepalaku berusaha menyingkirkan ingatan buruk malam itu. “Tidak apa-apa, kakak akan menjagamu. Tidak akan ada hal buruk yang akan menimpamu lagi,” kak Rey meyakinkanku. Aku memejamkan mataku, berusaha menyerap semua kata-kata kakak dan meyakinkan diriku sendiri. Ya, tidak mungkin ada hal buruk lainnya yang akan terjadi padaku. Atau begitulah yang kupikir saat itu. … Aku tidak datang ke sekolah selama seminggu. Aku tidak sanggup menerima tatapan-tatapan jijik dan menghina dari teman-temanku. Yah, sebenarnya mereka tidak tahu apa yang terjadi padaku. Mama menyampaikan pada guruku kalau aku sedang sakit. Namun entah mengapa, sejak kejadian itu, aku menjadi takut untuk keluar rumah dan takut melihat orang lain. Aku takut mereka dapat melakukan hal yang buruk padaku. Bagaimana kalau sewaktu kejadian itu terjadi ada yang melihatku? Bagaimana bila ada gosip yang menyebar di sekolah sehingga semua orang mengetahui apa yang terjadi padaku? Rasanya aku ingin sembunyi saja di kamarku selamanya. Aku tahu hal itu tidak mungkin. Biar bagaimanapun hidup harus tetap berjalan. Karena itu kuberanikan diriku untuk kembali ke sekolah hari ini. Keluar dari tempurungku. Aku melangkahkan kakiku pelan masuk ke dalam kelas. Tatapanku menyapu seluruh ruangan. Beberapa murid sudah hadir dan sedang bersenda gurau. Mungkinkah mereka mengguraukanku? Seseorang sedang menulis sesuatu di kertas dan memperlihatkannya pada beberapa murid. Jangan-jangan mereka sedang mengolok-olokku lewat tulisan atau gambar. Arghh…aku menggelengkan kepalaku, berusaha menghapus semua pikiran jelekku. Kenapa aku menjadi senegatif ini? Bajingan sialan, semua ini karenanya. Aku duduk di kursiku, sekilas kulirik kursi disebelahku yang masih kosong. Tidak biasanya Lana datang terlambat. Dengan malas aku menarik keluar buku sketsaku dan mulai menarikan pensilku. Sketsa wajah papa yang sudah mulai kugambar sejak 2 hari yang lalu sudah hampir selesai. Aku mungkin tidak akan pernah lagi bertemu dengannya, tapi aku juga tidak ingin melupakan papa dari ingatanku. Biar bagaimanapun ia papaku dan aku pernah mengalami masa-masa yang indah bersamanya. Tidak beberapa lama kemudian, aku merasakan sosok seseorang di sampingku. Aku menoleh dan melihat wajah terkejut Lana. “Ella! Lo udah baikan?” Lana menarik kursi disebelahku dan duduk menatapku cemas. Lana sudah tahu apa yang terjadi padaku dan aku melarangnya berkunjung ke rumah. Ketika itu aku benar-benar tidak ingin melihat siapapun. Wajar bila saat ini Lana sangat mencemaskanku. “Begitulah,” jawabku sekenanya. Aku tidak ingin menambah kecemasannya karena itu kutambahkan jawabanku berusaha menenangkan hatinya, “I’m okay, really.” Ella menghembuskan nafas lega, “gue kira lo udah ga mau ke sekolah lagi dan gue ga bakal bisa ketemu lo lagi.” “Seandainya benar, gue pasti sangat bahagia,” godaku sambil tertawa kecil. Lana memukul bahuku dengan tasnya dan menggerutu pelan. Aku ingin membalas gerutuannya tapi moment itu terputus karena kehadiran Bu Ina, wali kelas kami. Akhirnya obrolan kami lanjutkan lewat kertas. Tidak ada yang serius, kami hanya bercanda dan meledek bu Ina. Well, sebenarnya Lana yang memulai ledekan itu dan aku terpancing. Lihat deh, Bu Ina hari ini pakaiannya matching banget! Pink dari kepala sampai kaki. Kayaknya dia lagi jatuh cinta deh, tulis Lana. Apa mungkin kabar dia yang sedang pedekate dengan Pak Ronald itu benar? Balasku. Wah mana mungkin pak Ronald mau sama dia, orang bego pun ga bakal ada yang mau. Lihat aja tuh tampilan luarnya aja udah ga menarik apalagi dalemnya. Galak banget, bisa habis pak Ronald kalau jadi suaminya. Bisa-bisa tiap malam ada perang dunia, jawab Lana. Aku terkikik pelan membacanya. Lalu kulanjutkan dengan menggambar muka seorang anak kecil dengan mata yang indah dan rambut hitam bergelombang seperti milik pak Ronald, guru matematika kami. Tapi kutambahkan gigi kelinci yang besar seperti milik bu Ina, lengkap dengan kumis, telinga kelinci dan wortel yang sedang digigit. Lalu kusodorkan kertas tersebut ke arah Lana. Sontak tawa Lana memecahkan keheningan kelas, ketika ia melihat gambarku. Dengan ngeri kupandang bu Ina yang melangkah ke arah meja kami di belakang. Direbutnya kertas dari tangan Lana sebelum ia sempat menyembunyikannya. Wajah bu Ina langsung memerah ketika membaca dan melihat gambarku. Habis sudah masa-masa indah di sekolahku, batinku lirih. Kulayangkan pandanganku dari wajah bu Ina ke wajah Lana yang sedang berusaha menahan tawanya. “KELUAAAAAR!!!” teriakan histeris bu Ina membahana di seluruh gedung sekolah. Dengan enggan kumasukkan seluruh peralatanku dan bergegas mengikuti Lana yang setengah berlari menuju ke pintu kelas. Sejenak setelah kami keluar dari kelas, tawa kami meledak tak terhankan. Gila! Kami baru saja diusir dan kami tertawa bahagia. Sesampainya di luar gedung sekolah, aku berusaha menghapus air mataku yang keluar karena tertawa. Sebelah tanganku memegang perut sambil mengatur nafasku. Lana is the best! Ia bisa dengan mudah membuatku ceria kembali. Aku menyayanginya segenap hatiku. Aku ingat kami pertama kali bertemu saat sama-sama mendaftar di sekolah ini 4 tahun yang lalu. Ia tidak sengaja menumpahkan jus jeruk dari termosnya ke baju seragam yang baru saja kubeli dari koperasi sekolah. Bukannya meminta maaf, ia malah berteriak, “Oh tidak, gue ga punya uang buat beli baju lo yang baru!” Waktu itu aku kesal sekali, tapi mendengar ucapannya dan melihat ekspresinya saat memandang bajuku, aku malah tertawa terbahak-bahak. Seketika itu juga aku tahu dia akan jadi teman yang menyenangkan. Sambil tersenyum karena memori itu, aku mengambil kunci mobil dari tasku. Kemudian aku menggoyangkannya di hadapan Lana, “Puncak?” “Heck, yeah!” jawabnya riang dan masuk ke mobilku. Jendela mobil kami buka selebar-lebarnya, membiarkan angin menerpa wajah dan rambut kami. Aku memutar radio dan tubuh Lana langsung bergoyang mengikuti hentakan musik up beat yang terdengar. Sejenak kulupakan semua masalahku dan berfokus pada moment ceria yang ditularkan Lana. Kami berceloteh riang, bergosip, bahkan membicarakan kencan-kencan Lana dengan Bayu. Ah, Bayu, dia adalah sepupuku dan cinta pertamaku waktu masih berumur 5 tahun. Sungguh dulu aku tidak mengira Bayu akan jadian dengan Lana. Mereka punya sifat yang jauh berbeda. Bayu termasuk orang yang pendiam, jadi tidak heran bila kencan mereka lebih banyak diisi oleh ocehan Lana. Aku tersenyum membayangkan kencan mereka. Lana masih berkicau di sebelahku. Aku kini sudah tidak terlalu memperhatikan ocehannya. Jalan di hadapanku sudah mulai sepi dari kemacetan, aku menginjak pedal gas makin dalam. Aliran adrenalin mengalir di tubuhku membangkitkan semangat. “Woohooo!!! Lebih cepat!” teriak Lana gembira. Aku terkekeh mendengarnya. Aku bisa melanjutkan hidupku lagi. Aku tidak perlu papa atau keperawanan. Aku tetap masih bisa bahagia. Asal masih ada Kak Rey, mama dan Lana. Aku pasti bahagia. Tiba-tiba semua terjadi begitu cepat. Dari arah berlawanan sebuah mobil yang kehilangan kendali, berbelok ke hadapanku. Aku tidak sempat memikirkan apa-apa ketika kudengar teriakan Lana yang memekikkan telinga. Benturan keras yang kurasakan di sekujur tubuhku, lebih menyakitkan daripada apapun yang pernah kurasakan seumur hidupku. Suara pecahan kaca, gesekan dan benturan besi terdengar sangat kencang. Kurasakan tubuhku terputar-putar mengikuti putaran mobilku hingga mobilku berhenti terguling. Teriakan kesakitan Lana memenuhi pikiranku. Aku sendiri kini tidak lagi merasakan sakit. Aku bisa mencium bau darah bercampur bensin. Kakiku terjepit sesuatu yang besar sementara tanganku berusaha menggapai sesuatu, mencoba mencari apapun untuk berpegang. Sekilas kurasakan wajahku dipenuhi dengan cairan yang kuduga darah. Lalu semuanya menjadi kabur dan gelap. Aku tertidur dalam kegelapan yang menyakitkan. Saat itu aku hanya berharap aku akan terbangun lagi di kamarku seperti yang lalu. TO BE CONTINUED

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun