Mohon tunggu...
Venny Tjiang
Venny Tjiang Mohon Tunggu... karyawan swasta -

an invisible treasure

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

In My Eyes - Chapter 2

1 Juni 2012   07:17 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:31 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1338528026318332114

Yaayy for a longer chapter lol :) Enjoy! <3 fidella Chapter 2 Recap: “Halo....iya....iya gue tahu,” aku menutup handphone-ku sedetik kemudian dan melemparkannya kedalam tasku. Aku berbalik menghadap Lana, “Sori, gue mesti balik. Bokap gue pulang.” Lana cuma menatapku dengan tatapan prihatin, lalu mengangguk pelan. Aku langsung berbalik pergi menuju ke arah luar mall. Detak jantungku terdengar semakin cepat. Satu hal aku senang bisa pulang, namun aku tahu kesenanganku tidak bertahan lama. Alasannya cuma satu; papa pulang dari Jogja. Well, itu hal yang buruk, setidaknya bagi keluarga kami. ………………………………………………………………………………………………………………….. Perjalanan ke rumah hanya makan waktu 15 menit dari mall. Beruntung saat ini masih jam 3 sore hingga jalanan kota Jakarta belum dipenuhi terlalu banyak kendaraan. Sesampainya di rumah aku memasukkan Honda jazz merahku  ke dalam garasi dan melangkah turun dari mobil. Dari luar  rumah aku sudah mendengar suara teriakan dan tangisan. Aku menelan ludah, bersiap untuk melihat…entah kejadian apa yang sedang berlangsung di dalam. Papa pernah menjadi idolaku, dulu, sewaktu aku masih kecil. Sampai 3 tahun yang lalu waktu aku berusia 13 tahun, semua berubah. Aku ingat papa mulai jarang berada di rumah. Mama selalu menenangkan hatiku dengan berkata papa sedang sibuk, sedang ada proyek di Jogja, sedang menghadiri rapat, dan berbagai alasan lainnya. Awalnya aku percaya dan hanya sedikit kecewa karena waktu papa untukku mulai berkurang. Suatu malam, aku tidak sengaja melihat mamaku menangis. Ditangannya ada beberapa lembar foto. Mama tidak sadar ketika aku mendekat dari belakang dan berusaha melihat foto tersebut. Dan apa yang kulihat meruntuhkan duniaku. Papa sedang menggandeng seorang wanita yang kelihatan lebih muda tapi tidak lebih cantik dari mama. Mereka terlihat sangat bahagia. Sampai sekarangpun aku masih belum bisa menyingkirkan gambaran foto itu dari kepalaku. Waktu itu hatiku rasanya sakit sekali, aku tidak menyangka papa tega membohongi dan mengkhianati kami. Mama tidak mengucapkan sepatah katapun, sampai sekarangpun mama masih diam. Meski semua orang di rumah sudah tahu apa yang papa lakukan, papa seakan tidak perduli bahkan tidak menjelaskan apa-apa. Wanita itu tinggal di Jogja, hanya itu yang kutahu. Itupun karena papa sering bolak balik ke Jogja, bahkan hanya pulang sebulan sampai dua bulan sekali. Aku dan mama tidak pernah protes bahkan menuntut penjelasan. Kak Reylah yang lebih sering bertengkar dengan papa setiap kali papa pulang. Seperti hari ini. Aku mendesah pelan, detak jantungku terasa berdetak semakin kencang ketika aku melangkah masuk ke rumah. Di ruang tamu, ayahku sedang berdiri berhadapan dengan kak Rey. Wajah mereka penuh dengan kemarahan, bahkan aku bisa melihat wajah kak Rey telah berubah warna menjadi merah padam akibat bentakan-bentakan sedang diteriakannya. Ibuku hanya meringkuk di lantai sambil menangis. Di tangannya ada selembar kertas yang langsung menarik perhatianku. Oh tidak!! Kakiku terasa lemas, bibirku bergetar menahan tangis. Spontan tanganku menutup mulutku. Jangan katakan itu adalah….tidak mungkin! Setelah kami bersabar selama ini, tidak mungkin papa… “TEGA SEKALI KAU! HANYA UNTUK PELACUR ITU????” teriak Kak Rey. Ia tidak pernah memanggil papa dengan sebutan ‘kau’ sampai hari ini. “DIA BUKAN PELACUR!!!” Ayah membalas membentak. “JAGA UCAPANMU DASAR ANAK TAK BERGUNA!” Gerakan tangan kak Rey begitu cepat sampai aku hampir tidak melihatnya datang. Mama memekik dari lantai, sedangkan aku hanya bisa menatap shock, menahan nafas. Kepalan tangan Kak Rey tepat mengenai hidung papa hingga terdengar suara remuk. Papa terhuyung dan terduduk di sofa, tangan kanannya menutup hidungnya yang mulai berdarah dan meringis kesakitan. “KAU…KAU…KURANG AJAR! AKU MENYESAL PUNYA ANAK SEPERTIMU!” teriak papa histeris. Bisa kulihat amarahnya memuncak tapi perhatianku lebih tertuju pada kak Rey yang tampak sangat terpukul dengan ucapan papa . “KAK REY!!” teriakku ketika melihatnya mulai bergerak mendekati papa kembali dengan tangan terangkat. Secepat kilat aku berlari menghampiri Kak Rey dan memeluknya. Susah payah kudorong ia  menjauh dari papa. Kak Rey tidak berusaha melawanku, namun ia masih mengeluarkan sumpah serapah dan kata makian kepada papa ketika aku mendorongnya ke arah dapur. Isak tangis mama masih terdengar olehku dari dapur. Aku merasakan tangan Kak Rey merangkulku kencang. Ia tidak menangis, tapi tangannya gemetar. Aku bisa merasakan campuran antara kesedihan dan kemarahannya. Seketika itu juga aku tahu, papa sudah menoreh luka yang terlalu dalam bagi kami. Luka yang terlalu susah untuk disembuhkan. “Sudah berakhir kak, papa tidak akan menyakiti kita lagi sekarang,” aku menenangkannya sambil berusaha mengusap air mataku. Sore itu juga papa mengemasi pakaiannya dan meninggalkan kami. Ia tidak mengucapkan sepatah katapun. Ia bahkan tidak menoleh untuk melihat kami. Ia sama sekali tidak perduli setelah berhasil melukai hati kami. Sambil merangkul mama yang masih terisak, aku melihat punggung papa ketika ia beranjak keluar pintu rumah. Ingatan masa kecilku mulai terbayang dalam pikiranku. Wajah papa yang sedang tersenyum padaku, papa yang pulang dari kantor sambil membawa sepeda baru untukku, papa yang berdansa denganku di pesta ulang tahunku yang yang kesebelas, papa yang mendudukkanku di pundaknya sambil berlari. Aku ingat tawa bahagia kami waktu itu, tidak ada kepalsuan sama sekali. Apakah papa tidak ingat itu semua waktu ia melangkah keluar rumah? Apakah papa benar-benar tidak perduli lagi padaku, pada kami? Mungkinkah papa…tidak pernah mencintai kami? Berbagai pertanyaan muncul di kepalaku. Tapi tidak ada jawaban yang kudapatkan. Kini papa sudah pergi ke keluarga barunya dan mungkin lebih bahagia. Mama seperti biasa, tidak mengucapkan apa-apa, ia terlalu rapuh. Bila diperhadapkan dengan papa, mama yang ceria dan terkadang sangat galak pada kami, tiba-tiba menjadi sangat rapuh. Seperti tidak punya kekuatan apapun untuk berbicara ataupun membela diri. Tidak punya kekuatan apapun untuk mempertahankan cintanya. Aku mengambil kertas yang sedari tadi dipegang mama. Surat cerai. Surat ini telah mengakhiri kebahagiaan kami. Air mataku kembali mengalir dan berusaha memalingkan wajahku agar tidak terlihat mama. Untuk keluarga ini, aku harus kuat. Kami harus kuat. Dua hari lamanya aku tidak mengungkit masalah papa pada mama dan kak Rey. Kami menjalani hari-hari kami seperti tidak terjadi apapun. Meski kesedihan masih ada dalam sinar mata mereka, aku tahu mereka sedang berusaha menerima kenyataan. Tapi kami harus mulai memikirkan apa yang harus kami lakukan setelah papa tidak ada dan tidak lagi membiayai kami. Kak Rey sedang menonton tv di ruang keluarga waktu aku datang dan duduk di sebelah kak Rey. “Kak…” aku meremas-remas tanganku, mulai gelisah. “Ya?” Tanya kak Rey yang perhatiannya masih tertuju pada layar tv. “Ehm…, apa yang harus kita lakukan sekarang? Papa tidak akan membiayai kita lagi,” pertanyaanku berhasil menarik perhatiannya kali ini. Kak Rey mengambil remote tv dari atas meja dan menekan tombol off. Ia kemudian berpaling padaku. “Kamu harus tetap sekolah!” ia menunjuk padaku, “Jangan khawatirkan hal lainnya. Mama dan aku masih bisa membiayai kehidupan kita.” Aku menatapnya lama sebelum menyanggahnya, “tapi bagaimana dengan kuliah kakak?” Kak Rey mengangkat sebelah alisnya dan tersenyum, “kakak bisa ambil cuti dulu setidaknya sampai kamu lulus SMU 2 tahun lagi.” Aku ingin membantahnya, tapi aku tahu itu tidak ada gunanya. Bila kakak sudah memutuskan, tidak ada orang yang bisa mengubahnya. Lagipula, kami memang butuh biaya hidup. Sambil mendesah aku mengangguk. Beban yang ditanggung kakakku pasti sangat berat. Aku merasa sedih sekaligus bangga padanya. Selama 19 tahun kehidupannya, ia selalu menjagaiku dengan baik. Meskipun terkadang ia masih kekanakkan, tapi di saat yang tepat ia bisa menjadi sangat dewasa. Aku melihat kak Rey tersenyum sekilas sebelum menyalakan tv kembali. Aku menemaninya menonton sebentar. Dulu kami sering menonton film kartun bersama papa. Urgh….aku menggelengkan kepalaku, menyingkirkan bayangan papa yang terlintas di benakku. Seharusnya aku tidak perlu memikirkan papa lagi. Kupusatkan perhatianku pada tayangan di tv dan menikmati kebersamaanku dengan kakakku tersayang. …………. Lana memandangi jendela di samping kanannya dengan bosan. Keningnya berkerut sementara bibirnya maju sejauh 5 cm. “Oh ayolah, Lana. Gue cuma terlambat 15 menit kok, ” aku berusaha menahan tawa melihat ekspresi kesalnya. “Hah! Ini 15 menit lo yang ke-seratus kalinya! Heran deh gue, lo sekalipun nggak pernah nggak terlambat. Di rumah lo kekurangan jam ya? Nanti gue beliin deh jam segede kambing buat ditaruh di kamar lo!” sewot Lana panjang. Rasanya tawaku hampir meledak melihatnya menggerak-gerakkan mulutnya yang masih dalam posisi monyong. “Jangan marah donk, nanti gue beliin lo jarum deh,” aku berusaha menghiburnya. “Jarum? Buat apa?” “Buat ngejahit mulut monyong lo,” tawaku pun meledak melihat muka Lana yang semakin merah karena kesal dan mulai mengomel. “Okay, okay sori Miss Lana,” kedua tanganku terangkat tanda menyerah, “Jadi apa kabar nih Bayu?” Semburan warna merah terlihat di pipinya. Awww, pasti kabar baik. “Dia nembak gue malam itu,” Lana terlihat sangat manis saat tersipu malu seperti ini, “pasti karena waktu itu gue pake sepatu bling-bling keberuntungan.” Okay, kutarik kembali perkataanku tentang dia yang terlihat manis. Maksudku adalah dia terlihat aneh. “Sepatu bling-bling keberuntungan?” tanyaku meski sebenarnya tidak mengharapkan jawaban darinya. “Iya, sepatu highheels yang kubeli di mall bareng lo. Masa lo ‘ga ingat?” “Oh sepatu itu…” ingatanku melayang pada kenangan mulut menganga Lana yang hampir tertempel di kaca etalase toko. Itu membuatku tersenyum geli, “Well, seharusnya gue juga beli sepatu itu. Mungkin saja ada sedikit keberuntungan buat gue hari itu.” “Oh apa yang terjadi waktu itu? Lo ga menghubungi gue selama 2 hari. Gue kira lo diculik bokap lo ke Jogja.” “HA HA,” aku berpura-pura tertawa, “Bokap gue cuma pulang buat ngasih surat cerai ke nyokap gue.” “WHAT THE VACCUM!!” Lana tampak shock, “So sorry darling!” Seketika perasaan sedihku yang sesaat tadi langsung hilang ketika mendengar kata makian Lana yang aneh. Aku tertawa kecil, “It’s okay. Sudah saatnya kami melepas papa pergi.” “Tapi gimana perasaan lo?” Lana tampak khawatir. “I’m fine, I guess?” aku mendesah pelan, “yah gue sedih sih, tapi hubungan keluarga gue dan papa rasanya memang sudah tidak ada harapan.” Lana menggenggam tanganku pelan. Aku tahu ia sedang berusaha menghiburku meski tanpa bicara. Aku tersenyum kecil. “Well, okay. Perut gue sudah mulai protes. Sekarang waktunya MAKAN!!!” Sejenak kemudian Lana langsung mengalihkan pembicaraan saat melihat seorang pelayan datang menghampiri meja kami. Ia memang tidak terlalu suka berada di tengah kesedihan berlama-lama. Seperti yang sudah aku ceritakan sebelumnya, dia cewek yang super ceria. Tidak berapa lama kemudian makanan kami datang dan Lana langsung melahap makanannya. Kami mengobrol hal-hal kecil setelah itu, bergosip sedikit tentang orang-orang di sekitar kami. Sesaat kuperhatikan café de Sunshine tempat kami bertemu ini. Kafe ini sangat sesuai dengan kepribadian Lana. Kafe ini penuh dengan warna-warna cerah dan banyak hiasan bunga matahari di seluruh penjuru ruangan. Kami sering menghabiskan waktu di kafe ini hingga para pelayannya pun sudah sangat mengenal kami. Letak kafe ini tidak begitu jauh dari rumahku. Hanya 10 menit bila ditempuh dengan berjalan kaki. Sambil mengobrol, dari sudut mataku aku mulai memperhatikan seorang lelaki sebaya kakakku. Ia duduk di seberang meja kami dan sedari tadi memperhatikanku. Aku agak tidak nyaman oleh tatapannya. Sedetik kemudian lelaki itu mengalihkan tatapannya dariku dan menyeruput minumannya. Ia mungkin sadar kalau aku menangkap basah tatapannya. Kuhiraukan lelaki itu dan kembali mengobrol dengan Lana. Kami menghabiskan seluruh sore tertawa dan bergosip hingga lupa waktu. Ketika kami sadar, keadaan di luar kafe sudah mulai gelap dan akhirnya aku memutuskan untuk pulang. Lana sudah menghubungi Bayu dan meminta dijemput. Ia tetap menunggu di dalam kafe sementara aku pulang dengan berjalan kaki. Aku menyusuri jalan yang sudah sangat kukenal. Udara sudah semakin dingin, beruntung aku saat ini aku memaki cardigan. Aku merapatkan cardiganku dan berjalan lebih cepat ketika menyusuri sebuah gang yang gelap. Mataku masih asyik memandangi kerikil-kerikil di jalan ketika tanpa sadar aku menabrak seseorang. Aku sedikit terhuyung ke belakang lalu menoleh untuk melihat siapa yang kutabrak. Jantungku seketika itu juga berdetak kencang. Perasaan tidak enak menghampiriku. Lelaki yang menatapku aneh di kafe tadi sekarang tepat berada di depanku. Tiba-tiba saja semua menjadi kabur. Yang kuingat hanyalah tubuhku direnggut paksa dan dijatuhkan ke tanah. Aku berusaha meronta ketika tangan lelaki itu mulai menyentuhku. Sekilas kulihat seringai di mulut lelaki itu dan tatapan matanya yang liar menatap tubuhku. Aku merasa jijik dan semakin memberontak. Tapi kekuatanku tidak sebanding dengan kekuatan genggaman lelaki itu. Lalu semua menjadi gelap.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun