Mohon tunggu...
Venny Tjiang
Venny Tjiang Mohon Tunggu... karyawan swasta -

an invisible treasure

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

In My Eyes - Chapter 5

6 Juli 2012   13:30 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:14 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13385279041711797858

Chapter 5

Recap:

Dari sudut mataku, kulihat dokter yang menemani Nila tadi muncul dari sebuah ruangan lain, mendekati kami. Dengan gusar aku berdiri dari kursiku dan menatap Nila sekali lagi.

“Kurasa sebentar lagi kamu akan sedikit sibuk. Baiklah, sampai jumpa lagi, Nila.” Aku memegang bahunya sekilas. Kulihat dahinya mengkerut mendengarku memanggil namanya. Aku melangkahkan kakiku kembali ke mejaku, berkutat kembali dengan puzzle yang sedang kukerjakan tadi sebelum Nila masuk ke ruangan ini.

Uh, aku benci puzzle ini. Entah apa gunanya sampai dokter Wahid menyuruhku mengerjakan mainan anak kecil ini. Otakku toh tidak berubah makin tajam…atau pintar. Sembari melanjutkan puzzleku, sesekali aku melirik Nila yang kini sedang belajar menaiki tangga buatan.

………………………………………………………………………………………………………………

(Daniella’s POV)

Aku menyisir setiap helai rambutku dengan jari-jari tangan. Raut wajahku merengut ketika kutemukan beberapa helaian kasar dan membuat tanganku tersangkut diantaranya. Perlahan kuurai bagian-bagian yang kusut dan kembali menyisir.

Sejak pagi tadi aku sudah bangun dan bersiap-siap. Aku harus kembali melakukan terapi siang nanti, namun sebelum itu aku akan menjenguk Lana. Sampai sekarang ia belum sadar, membuatku merasa bersalah karena sudah lebih dahulu pulih.

“Ma?” tanyaku memastikan ketika kudengar seseorang membuka pintu kamarku.

“Sudah siap?” suara mama membuatku menghembuskan nafas lega. Tak disangka, selalu tidak mengetahui siapa yang masuk ke dalam kamar bisa membuatku frustasi. Tidak bisa melihat itu rasanya sangat tidak nyaman!

Aku mengangguk pelan. Kurasakan tangan mama menggapaiku dan membantuku pindah dari ranjang ke kursi roda yang dibawanya. Aku menempatkan kakiku dengan nyaman di atas tempat tumpuan kaki.

Selang beberapa detik kemudian, tubuhku mulai bergerak. Setahuku kamar Lana berjarak dua lantai dari kamarku, sehingga kuasumsikan kami akan menaiki lift sebentar lagi.

“Bagaimana persidangan kemarin?” tanyaku membuka pembicaraan.

“Semuanya berjalan lancar. Mama harus menghadiri beberapa persidangan lagi sebelum benar-benar bercerai. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Biarpun papa tidak mau membiayai kita, sepertinya hakim akan membuatnya tidak punya pilihan lain,” kudengar masih ada nada getir dari suara mama.

“Aku tidak mau berharap pada uang papa.”

“Mama pun begitu. Ada kemungkinan besar papa hanya akan membiayai kita beberapa bulan di awal. Setelah itu mungkin dia akan melalaikan tanggung jawabnya,” lanjut mama, “ kita akan baik-baik saja. Mama akan bekerja untuk menghidupi kalian.”

Aku tahu mama berkata jujur. Mama pasti akan berusaha sangat keras demi kami. Sejak papa pindah, mama mulai menerima jahitan di rumah. Profesi yang dulu sempat ia tinggalkan demi papa dan kami. Mama pernah punya impian untuk membuka butik dan menjual hasil rancangannya. Dulu ia pernah kuliah design di kampus mode ternama. Dengan kepergian papa, kuharap impian mama kali ini bisa terwujud.

“Oh ya, dimana kak Rey?” tanyaku penasaran. Aku belum melihatnya hari ini.

“Sedang mengurus cuti kuliah.”

Aku tidak pernah menyukai ide kak Rey untuk cuti kuliah. Mengorbankan masa depannya demi biaya sekolahku, hanya membuat rasa bersalahku makin besar. Aku menarik nafas berat. Dengan kondisiku seperti ini, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku malah menambah biaya hidup yang kami perlukan.

“Dari mana kita mendapatkan uang untuk operasi dan pengobatanku, ma?” kurasakan jari mama meremas bahuku dari belakang.

“Jangan khawatir, mama punya sedikit tabungan dan itu cukup untuk membiayai semuanya.”

Aku merasakan kursiku berhenti dan sebuah pintu didepanku terbuka.

“Kita sudah sampai, Ella,” bisik mama.

“Bawa aku kesamping tempat tidurnya, ma.” Kurasakan tubuhku bergerak lagi sedikit, berbelok lalu berhenti.

“Mama tunggu diluar, sepuluh menit lagi mama kembali.”

Aku menggapai sesuatu didepanku dan menemukan ujung tempat tidur Lana. Kubiarkan tanganku meraba ke sepanjang tempat tidur lalu menemukan jemari Lana. Aku tidak bisa melihat bagaimana kondisi Lana, aku hanya bisa menggenggam tangannya.

“Hei, Lana,” bisikku pelan. Tidak ada jawaban.

“Cepat bangun ya, dunia sepi tanpa lo,” aku tersenyum mendengar kata-kataku. Memang benar rasanya sepi sekali tanpa canda tawa Lana.

“Gue kesepian tanpa lo. Lo temen gue satu-satunya dan gue sayang banget sama lo. Kita harus kembali ke sekolah, sudah hampir seminggu kita tidak masuk. Pelayan di café de sunshine juga pasti sudah kangen. Bayu juga pengen ngajak lo kencan lagi.”

Masih tidak ada jawaban.

Aku menghembuskan nafasku dengan berat. Sejauh ini yang bisa kudengar hanya bunyi detak jantung dari monitor disampingku. Detak jantung yang pelan dan lemah.

“Cepat bangun Lana,” bisikku pelan sekali lagi.

Kudengar suara pintu dibuka membuatku reflek menoleh meski aku tidak melihat apapun.

“Hei Ella,” sapa Bayu. Suaranya terdengar lelah. “Sudah lama?”

Aku menggelengkan kepalaku. Tidak kusangka Bayu ada disini.

“Bagaimana keadaanmu? Maaf ya aku belum menjengukmu.”

“Aku tidak apa-apa. Kamu baru kali ini menjenguk Lana?” tanyaku penasaran.

“Setiap hari sejak ia disini.”

Aku mengangguk memahami. Ella yakin Lana pasti senang dengan kehadiran Bayu. Kudengar pintu terbuka sekali lagi.

“Ella,” suara mama memanggilku, “sudah waktunya terapi.”

Kurasakan tubuhku bergerak lagi. “Bye Bayu,” kulambaikan tanganku dari balik bahu.

Mendengar kata terapi mau tidak mau membuatku teringat lagi pada laki-laki itu. Mungkin aku akan bertemu dia lagi disana. Aku tersenyum mendengar pikiranku sendiri. Entah kenapa aku bisa berpikir seperti itu. Padahal aku baru mengenalnya, bahkan belum pernah melihatnya. Dengan cepat kutepis pikiranku.

Sesampainya di ruangan fisioterapi aku kembali melatih langkahku. Kali ini aku sudah lebih lancar menggunakan tongkat dan kakiku tidak seberat sebelumnya, meskipun tetap lebih berat daripada kaki normalku. Aku berlatih kira-kira 30 menit lalu kembali ke kamarku dan menikmati makan siangku yang sangat tidak enak untuk dinikmati, lalu tertidur pulas.

Ketika aku bangun, kak Rey sudah ada disampingku.

“Halo pemalas! Mau tidur sampai kapan? Ayo bangun, kita akan ke taman!”

Aku mengerutkan alisku.

“Untuk apa kita ke taman?” tanyaku sambil menguap.

“Supaya kamu bisa menghirup udara segar, apa ga bosan di kamar terus?”

Aku menggerutu pelan tapi mulai bangkit dari tempat tidurku. Kurasakan tangan kak Rey yang mencoba menggapaiku, mungkin ingin membantuku. Lalu malah menggelitikku.

“Arghhhh….kak hentikan hahaha…aku tidak bisa melihat nih!” Aku berusaha menepis tangannya.

“Hah! Tidak digelitikpun kamu tidak bisa melihatku.”

“Ahahaha…kalau haha…kakak tidak berhenti….aku teriak nih.”

“Coba saja!” tantang kakak, yang langsung kusambut dengan satu teriakan yang bisa menghancurkan dunia.

“Tolooooooooooooonnnnnnggggg……….”

Tangan kakak langsung berhenti menggelitikku lalu berusaha menutup mulutku tapi berhasil kugigit dengan baik.

“Arghhhh!!!! Dasar kau vampir!” teriak kakak sembari menarik tangannya dari gigitan mautku. Kujulurkan lidahku lalu terkikik puas.

“Kalau aku vampir, kakak seharusnya sekarang juga menjadi vampir. Aku baru saja memasukkan banyak racunku ke tanganmu.”

“Yah, semoga saja aku bisa ketemu Bella Swan nanti, “ celoteh kakak.

Aku tersenyum mengejek lalu mulai berdiri dan dengan dibantu kakak, duduk di kursi rodaku.

“Jam berapa ini, kak?” tanyaku ketika kursi rodaku mulai bergerak.

“Jam 4. Sekarang udara di luar sedang sejuk. Kau tahu, di belakang rumah sakit ini ada taman yang sangat indah, di tengahnya juga terdapatkolam ikan koi. Ikannya banyak sekali dan besar-besar,” kakak berusaha menjelaskan, “Di sekeliling taman itu ada beberapa pohon rindang untuk berteduh. Asri sekali. Di bagian samping kanan taman itu juga ditanami bunga-bunga yang indah. Kamu pasti suka berada di sana.”

Aku hanya tersenyum mendengarnya. Taman itu pasti indah sekali. Seandainya aku bisa melihatnya atau bahkan melukisnya. Aku menghela nafas.

Udara sepoi-sepoi menerpa wajahku ketika kami sudah keluar dari rumah sakit menuju ke taman. Wewangian bunga dan dedaunan membuatku yang sebelumnya masih ngantuk menjadi segar. Aku bisa mendengar suara burung-burung kecil bercicit, beberapa anak yang sedang bermain, obrolan beberapa orang di sekitar taman bahkan aku bisa mendengar suara angin yang menyentuh dedaunan di pohon. Wow, tidak bisa melihat malah membuat inderaku yang lain menjadi tajam. Aku jadi bisa memperhatikan hal-hal detail yang dulu tidak pernah kuperhatikan.

Kakak mendorongku mengitari taman sambil terus menjelaskan keadaan di taman ini secara lebih detail. Suasana di taman ini membuatku menjadi lupa kan kondisiku. Aku bahkan ikut tertawa ketika kakak mulai meledek beberapa anak punk yang sedang berkongkow riang dengan salah satu teman mereka yang menjadi pasien di rumah sakit ini.

Setelah hampir setengah jam mengobrol sambil berputar-putar, kami berhenti dibawah sebuah pohon rindang di salah satu sudut taman.

“Kak, aku haus,” kataku sambil memegangi leherku.

“Astaga, Ella! Kakak lupa membawa botol minumanmu. Pasti tertinggal di kamar. Kamu bisa tunggu sebentar disini kan? Kakak akan ke kamarmu untuk mengambilnya.”

Aku mengangguk perlahan. Aku tidak ingin ditinggal sendirian, tapi rasanya kerongkonganku sudah kering kerontang seperti padang pasir. Kudengar langkah kaki kakak mulai menjauh dariku.

Aku menunggu kakak sambil mendengarkan suara-suara di sekitarku dan merasakan belaian angin sepoi-sepoi menerpa wajahku. Tiba-tiba kudengar ada langkah kaki yang mendekatiku. Panik langsung menyergapku, ini pasti bukan kakak. Kakak baru saja pergi, tidak mungkin secepat itu kakak kembali. Kamarku saja ada di lantai 4.

“Hei, Nila!” suara seorang lelaki membuatku terkejut. Kurasakan ada tangan yang menyentuh bahuku. Dengan refleks kutepis tangan itu dan berusaha menjauh. Jantungku berdegup kencang karena panik dan takut.

“Hei..hei..sori, jangan panik, ini aku Zach! Masih ingat?” lelaki itu memperkenalkan dirinya sekali lagi.

Kini setelah mendengar suaranya sekali lagi, aku mengeluarkan nafas yang tidak sadar kutahan dari tadi. Bodoh sekali aku, tidak mengenal suaranya saat ia pertama menyapaku tadi. Pasti aku kelihatan aneh karena ketakutan setengah mati padahal dia hanya menyapa dan menyentuh bahuku. Semua reaksi anehku ini pasti karena malam itu.

“Hello? Down to earth Nila!”

Aku tersadar dari lamunanku. Kurasakan wajahku menjadi panas dan semburan merah pasti sudah mewarnai pipiku. Kudengar ia terkikik pelan.

“Apa yang kau lakukan disini?” pertanyaan garangku membuatnya berhenti tertawa.

“Er…aku sedang jalan-jalan di sekitar taman waktu aku melihatmu ditinggal pacarmu.”

Pacar? Oh…

“Dia kakakku”

“Wah, bagus deh kalo gitu. Aku masih punya harapan mengajakmu kencan.”

Aku bisa membayangkan Zach pasti sedang memandangi wajahku yang kembali memerah. Dasar sialan! Ngomong seenaknya saja!

“Jangan harap!” jawabku kasar.

Tawa Zach makin tak terkontrol, “Kamu terlihat makin cantik saat marah.”

Kalau saja ada tongkatku sekarang, pasti sudah kupukul wajahnya yang sedang tertawa itu. Aku tidak menjawab apa-apa dan hanya memalingkan wajahku kearah lain, berusaha menyuekinya.

“Okay, sori-sori. Tadi aku cuma bercanda.” Kurasakan ia berjongkok di sebelah kursiku. Dengan refleks, aku menggerakkan tubuhku menjauh ke sisi sebaliknya.

“Kenapa kamu selalu menghindariku? Sepertinya aku ini kuman saja,” tanyanya curiga melihat refleksku

“Kau memang kuman!”

“Dan kau ikan!” jawabnya cepat membuatku menganga.

“Kenapa sih kamu selalu menggangguku?” tanyaku tidak sabar.

“Well, aku cuma penasaran denganmu dan kau terlihat lucu dengan semua reaksimu”

Sebelum aku bisa menjawabnya, aku mendengar suara kakak memanggilku dari jauh.

“Ah pacarmu datang, aku harus pergi sebelum dibunuh karena cemburu.” Kurasakan Zach mulai berdiri.

“Sudah kubilang dia kakakku!”

“Okay, okay, whatever! See you later!”

Sesaat setelah Zach pergi kudengar langkah kaki kakak semakin dekat diiringi helaan nafasnya yang berat.

“Ada apa kak? Kenapa berlari?” tanyaku penasaran saat kak Rey berhenti di depanku dan mengatur nafasnya.

“Lana…..dia…..kita harus segera kembali!” Kak Rey mulai mendorong kursiku.

“Ada apa? Apa yang terjadi?” panik mulai terdengar dari suaraku.

“Lana kritis, Ella. Semua keluarganya sudah berkumpul. Dokter sedang mengusahakan yang terbaik. Kita berdoa saja.”

Tubuhku mengejang. Air mata mulai mengalir di pipiku. Aku tidak berani membayangkan skenario terburuk apa yang bisa terjadi pada Lana. Tidak boleh. Tidak boleh terjadi. Lana harus sembuh.

To be Continued...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun