Indonesia merupakan bangsa yang majemuk, bangsa yang memiliki banyak ras, bahasa, agama, dan budaya yang berbeda-beda. Walaupun banyak perbedaan, bangsa Indonesia masih bisa hidup dan berkembang di dalam perbedaan tersebut. Indonesia mempunyai banyak keanekaragaman baik budaya maupun agama, itulah sebabnya banyak masyarakat yang memperpadukan dua hal tersebut sehingga munculah sebuah akulturasi. Akulturasi budaya merupakan perpaduan antara dua kebudayaan yang berbeda yang menyatu, tanpa menghilangkan ciri khas dari kebudayaan itu sendiri.
Istilah akulturasi berasal dari bahasa latin Acculturate yang memiliki arti "tumbuh dan berkembang". Secara antropologi, akulturasi adalah proses masuknya pengaruh kebudayaan asing dalam suatu masyarakat, sebagian menyerap secara selektif sedikit atau banyak unsur kebudayaan asing itu, dan sebagian berusaha menolak pengaruh itu. Dapat disimpulkan bahwa akulturasi adalah perpaduan budaya yang berbeda yang kemudian menghasilkan budaya baru tanpa menghilangkan unsur-unsur asli dalam budaya tersebut.
Berbicara tentang akulturasi, terdapat salah satu tempat ibadah di Kabupaten Buleleng yang terbentuk karena adanya akulturasi budaya dua agama yakni Islam dan HIndu. Masjid Agung Jami Singaraja merupakan bentuk akulturasi budaya yang masih eksis sampai sekarang. Masjid ini dibangun pada zaman Kerajaan Buleleng ini terletak di Jalan Imam Bonjol 65, Singaraja, Kabupaten Buleleng, Bali. Keberadaan Masjid Agung Jami singaraja di Pulau Dewata tidak lepas dari peran Anak Agung Ngurah Ketut Jelantik Polong, pemimpin Buleleng yang masuk agama Hindu Bali pada tahun 1846. Karena Anak Agung Ngurah Ketut Jelantik Polong menganut agama Hindu, maka segala urusan yang berkaitan dengan masjid ini dititipkan kepada saudaranya yang telah masuk Islam, yaitu Anak Agung Ngurah Ketut Jelantik Tjelagie, dibantu oleh seorang tokoh muslim bernama Abdullah Maskati.
Di Masjid Agung Jami Singaraja, masih tersimpan kitab suci Al-Qur'an yang ditulis oleh I Gusti Ngurah Ketut Jelantik Tjelagi menulis Al-Qur'an saat menuntut ilmu keagamaan pada gurunya yang bernama Muhammad Yusuf Saleh. I Gusti Ngurah Ketut Jelantik Tjelagi menulis Al-Qur'an semasa menuntut ilmu di Masjid Keramat Kuno. Alat dan bahan yang digunakan untuk menulis Al-Qur'an sangatlah susah. Namun dengan semangat dan ketekunan I Gusti Ngurah Ketut Jelantik Tjelagi berhasil menulis Al-Qur'an tersebut. Jelantik Tjelagi membawa Al-Qur'an yang dibuatnya ke Masjid Agung Jami, saat masjid tersebut sudah berdiri. Hingga sekarang Al-Qur'an tersebut masih tersimpan dan dijaga dengan baik di masjid. Â
Bentuk akulturasi budaya yang ada di Masjid Agung Jami Singaraja dapat dilihat dari arsitektur Masjid yang menggunakan arsitektur tradisional Bali. Mulai dari pintu gerbang, aling-aling, hingga mimbar masjid menggunakan ukiran khas Bali. Pintu gerbang Masjid menggunakan pintu yang berisi ukiran khas Bali. Pintu gerbang masjid merupakan hadiah dari Raja Buleleng yang diambil dari bekas pintu gerbang Puri Kerajaan Buleleng. Di dalam masjid terdapat aling-aling atau pemisah antara pelataran dengan ruang ibadah. Aling-aling ini juga berisi ukiran yang sama dan di atas pintunya terdapat ukiran Bali yang bertuliskan bahasa Arab. Di bagian atas pintu pembatas terdapat ukiran bertuliskan huruf arab yang memiliki arti tahun dibangunnya masjid ini, uniknya terdapat gambar atau ukiran berbentuk canang sari di bagian bawah angka tersebut. Tidak hanya di bagian luarnya saja, pada mimbar atau tempat imam memimpin sholat juga berisi ukiran Balinya. Mimbar ini berbentuk seperti menara dengan relung di pintu masuknya serta atap berbentuk limasan. Menggunakan lantai bertingkat-tingkat, di belakang mimbar tersebut berisi tempat untuk menyimpan alat-alat.
Selain akulturasi, di masjid ini juga terdapat kegiatan yang mencerminkan toleransi. Setiap diadakannya acara Maulidan akan diundang sesepuh-sesepuh Hindu untuk datang ke Masjid. Kemudian diadakannya juga atraksi silat di tengah jalan, yang dilakukan oleh pesilat-pesilat dari berbagai agama. Saat hari raya Idul Adha, diadakannya penyembelihan hewan kurban yakni sapi. Daging sapi tersebut dibagikan kepada seluruh masyarakat sekitar Masjid baik itu yang beragama Islam, Hindu, Kristen dan lain-lain. Hal ini bertujuan agar umat beragama lain bisa merasakan perayaan Idul Adha dan bersama-sama menikmati daging kurban.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H