Mohon tunggu...
Ni Putu Adelia Wibawa Putri
Ni Putu Adelia Wibawa Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hobi saya menonton film, dan menyanyi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Multikulturalisme dalam Tradisi Perang Api di Desa Unggahan dengan Menggali Makna dan Dinamika Sosial di Balik Ritual Amuk-Amukan Sebagai Wujud Harmon

13 Desember 2024   22:25 Diperbarui: 13 Desember 2024   21:49 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Indonesia diakui sebagai negara yang memiliki kekayaan dalam hal keragaman budaya, bahasa, dan tradisi. Salah satu bentuk dari keragaman ini adalah beragam ritual dan tradisi lokal yang membentuk identitas khas setiap wilayah. Di antara tradisi-tradisi tersebut, Perang Api yang diadakan di Desa Unggahan, Bali, menjadi salah satu contoh tradisi yang menarik perhatian. Tradisi ini tidak hanya berperan sebagai ritual keagamaan, tetapi juga sebagai sarana penguatan hubungan sosial dan cerminan nilai-nilai multikulturalisme dalam masyarakat.

Tradisi Perang Api di Kabupaten Buleleng terdapat di Desa Unggahan, Kecamatan Seririt. Tradisi ini dilaksanakan sebagai bagian dari rangkaian upacara Nyepi di desa tersebut. Prosesi perang api dilakukan pada sore hari di pusat desa. Alat yang digunakan adalah slepan atau daun janur yang telah kering dan diikat hingga sebesar paha orang dewasa. Selanjutnya, orang yang membawa daun janur kering tersebut akan membakarnya dan mulai melakukan perang dengan warga lainnya. Perang api akan berakhir saat api sudah padam.

Tradisi Perang Api, yang sering kali disebut "Perang Obor" oleh masyarakat setempat, dilakukan dengan cara saling melemparkan obor dari batok kelapa yang dibakar. Walaupun terlihat penuh risiko, ritual ini memiliki makna mendalam terkait keseimbangan alam, pembersihan diri, dan solidaritas antar warga. Artikel ini akan mengupas makna tradisi ini dalam konteks multikulturalisme, serta dinamika sosial yang muncul di balik ritual tersebut.

Multikulturalisme ialah pandangan bahwa keberagaman budaya perlu diterima, dihargai, dan dijadikan sebagai dasar untuk membangun keharmonisan dalam masyarakat. Dalam konteks Desa Unggahan, tradisi Perang Api mencerminkan nilai-nilai ini. Desa Unggahan adalah salah satu contoh masyarakat Bali yang multikultural, di mana penduduknya hidup berdampingan meskipun memiliki latar belakang adat, agama, dan keyakinan yang beraneka ragam.

Tradisi Perang Api sering kali melibatkan berbagai kelompok masyarakat, termasuk warga yang tidak secara langsung terlibat dalam upacara adat Hindu. Para pendatang atau wisatawan juga diberi kesempatan untuk menyaksikan, bahkan kadang ikut merasakan suasana ritual ini. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun tradisi ini berakar pada agama Hindu, ia bersifat inklusif, yang memperkuat semangat kebersamaan di tengah perbedaan.

Perang Api di Desa Unggahan memiliki sejumlah makna simbolis yang relevan dalam konteks multikulturalisme. Pertama, api dalam tradisi Hindu dianggap sebagai unsur pemurni yang dapat menghilangkan sifat-sifat negatif dalam diri manusia. Ritual ini sering kali dilakukan pada malam hari sebagai simbol pembersihan diri dan pembaruan energi positif.

Kedua, tradisi ini menggambarkan harmoni antara manusia dan alam. Dalam persiapan ritual, warga desa bekerja sama mengumpulkan batok kelapa, membersihkan lingkungan, dan mendekorasi area ritual. Kegiatan ini tidak hanya memperkuat hubungan antarwarga tetapi juga menjadi refleksi dari hubungan manusia dengan alam yang diwarnai rasa hormat dan tanggung jawab bersama.

Ketiga, tradisi Perang Api juga melambangkan keberanian dan solidaritas. Meskipun tampak seperti "pertarungan", ritual ini berlangsung dalam suasana damai dan penuh rasa persaudaraan. Para peserta tidak pernah berniat melukai satu sama lain, melainkan menunjukkan semangat keberanian untuk menghadapi tantangan hidup.

Tradisi Perang Api menciptakan interaksi sosial yang menarik di komunitas Desa Unggahan. Dalam hal ini, ritual tersebut tidak hanya berfungsi sebagai alat spiritual tetapi juga menguatkan hubungan antarwarga. Gotong royong menjadi salah satu komponen penting dalam tradisi ini. Semua penduduk desa, tanpa memandang latar belakang, berpartisipasi secara aktif dalam persiapan dan pelaksanaan ritual.

Di samping itu, tradisi ini juga menciptakan ruang untuk dialog antarbudaya. Kehadiran pengunjung, baik domestik maupun internasional, menjadi kesempatan bagi warga desa untuk memperkenalkan budaya mereka sekaligus belajar dari pengalaman orang lain. Interaksi ini memperkaya pemahaman budaya, yang pada akhirnya memperkuat semangat multikulturalisme di dalam masyarakat.

Namun, dinamika sosial ini juga menghadapi tantangan. Salah satu tantangan terbesar adalah modernisasi dan globalisasi yang dapat mengurangi makna tradisi jika tidak dikelola dengan baik. Ketika tradisi ini semakin dikenal secara luas, ada risiko komersialisasi yang bisa mengalihkan esensi spiritual dan sosialnya menjadi sekadar atraksi wisata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun