Mohon tunggu...
Tori Minamiyama
Tori Minamiyama Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Dari Negeri Sakura berusaha menghapus segala unsur kesedihan, bahaya dan kotor demi kehidupan yang lebih berarti. Suka bepergian kemana suka demi semburan nafas yang dahsyat dan sebuah semangat kehidupan...Menulis dan membagi pengalaman untuk bangsa!

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Area Tersedih di Bandara Jogja

24 Februari 2011   07:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:19 3052
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12985350071080025206

Memberi judul tulisan ini seperti di atas terkesan membuat dan mengajak semakin susah dan atau malah menimbulkan rasa haru pembaca Kompasiana. Tetapi memang kenyataannya seperti itu yang saya rasakan di Bandara Adi Sucipto Yogyakarta. Pada waktu itu, tepatnya akhir bulan Desember 2010 yang lalu, saya bersama keluarga melakukan perjalanan wisata mudik dari Kota Nagoya Jepang menuju Yogyakarta yang sebelumnya mengunjungi Jakarta selama beberapa hari. Perjalanan kami saat itu antara Nagoya dan Denpasar serasa nyaman terutama karena barang bawaan kami sekeluarga yang begitu banyak serasa ringan, karena saya membawa dan mendorongnya dengan troli yang merupakan fasilitas umum di bandara manapun termasuk Bandara Ngurah Rai Denpasar Bali. Karena hanya transit di Bandara Ngurah Rai Denpasar itu, kami segera terbang menuju kota tujuan wisata saya pertama yaitu Jakarta. Kami sampai di Bandara Internasional Sukarno-Hatta malam hari sekitar pukul 7 malam. Seperti halnya pada pendaratan kami sebelumnya, begitu lancarnya walau dari atas kami hanya bisa menyaksikan keindahan lampu-lampu Ibukota Indonesia itu. Lagi-lagi mengenai barang bawaan yang seharusnya diangkut dengan 2 troli, tetapi saya nekat mengangkut dan mendorongnya dengan hanya 1 buah troli saja. Pintu Kedatangan 2 F Bandara Sukarno-Hatta menjadi pintu keluar kami untuk menghirup udara panas Jakarta setelah kami dikurung dengan udara musim dingin di Jepang. Panas dan berkeringat tidak menjadi masalah karena saya bisa mendorong seonggok barang bawaan kami dengan troli menuju tempat parkir yang ada di seberang terminal kedatangan 2 F itu. Saya merasa berterimakasih atas tersedianya fasilitas troli tersebut yang tanpa pengawasan bisa saya dorong berjalan sejauh beberapa ratus meter jauhnya karena sempat juga saya binggung mencari keberadaan mobil yang menjemput kami sekeluarga. Maklum karena panas, capek dan malam hari yang gelap. Berfungsinya fasilitas tersebut membuat saya lupa akan segala kekurangan-kekurangan fasilitas Bandara terbesar di Indonesia itu jika dibandingkan dengan bandara-bandara lain milik Negara tetangga misalnya Malaysia dan Singapura. Setelah 4 hari lamanya kami menikmati wisata Ibukota Jakarta dan kota sekitarnya, saatnya kami terbang menuju Yogyakarta, kota budaya yang pernah menjadi saksi saya melakukan perjuangan hidup mengejar cita-cita sekitar 20 tahun yang lalu. Pesawat Garuda Indonesia membawa kami terbang pagi hari menjelang siang menuju Yogyakarta tanpa ada masalah sampai tujuan. Pemandangan kota penuh kenangan Yogyakarta saya lihat dari ketinggian, serasa benar-benar terkenang alunan syair lagu KLA Project yang berjudul Yogyakarta, "Pulang ke Kotamu...ada setangkup haru dalam rindu...". Pulang ke kota itu dengan membawa setangkup haru memang benar-benar nyata dalam diri saya. Pasalnya, barang bawaan kami yang pastinya saya dorong dengan troli menuju ke mobil jemputan yang terparkir di tempat parkir Bandara itu, tidak bisa sampai dengan lancar dan bahkan harus berhenti di tengah jalan. Mamang benar-benar sial atau memang sistem dan keadaan Bandara Adi Sujipto itu yang tidak baik atau ketinggalan jaman. Kronologinya begini, setelah pesawat kami mendarat, dengan cara seperti biasanya barang-barang bagasi kami ambil dan angkut dengan troli dan langsung kami berjalan mendorongnya menuju ke tempat parkir bandara, yang sebelumnya harus melewati lorong bawah tanah. Terus terang lorong itu baru saya lewati pertama kali walau sudah sangat seringnya memakai fasilitas Bandara Yogyakarta itu. Mungkin selain terowongan dan tempat parkir tersebut baru, saya biasa memakai tempat parkir yang lama yang mana dekat dengan tempat menaikkan dan menurunkan barang dan penumpang serta dekat dengan pintu kedatangan dan keberangkatan. Untuk melewati terowongan tersebut saya harus masuk dan mendorong troli lewat jalan yang menurun khusus untuk troli yang ada di sebelah tangga pejalan kaki, kemudian berjalan maju melewati lantai yang datar, dan kemudian harus belok ke arah kiri untuk menuju jalan tanjakan khusus troli dan tangga khusus pejalan kaki. Begitu saya mendorong troli sekuat tenaga karena jalannya menanjak apalagi barang bawaan berkopor-kopor dan ditambah barang yang lain, kami dihentikan seorang petugas bandara laki-laki. Petugas itu sambil menghentikan troli yang saya dorong dengan menggunakan tangannya dan berkata, "Troli tidak boleh didorong dan dibawa sampai pintu keluar, apalagi sampai parkiran mobil !!". Mendengar kata-kata larangan itu, saya kaget dan binggung karena merasa suatu hal yang aneh sekali. Saya bertanya kenapa trolinya tidak boleh di dorong sampai tempat parkir. Petugas itu menjawabnya dengan suara atos, "Karena peraturannya seperti itu, ya...harus ditaruh dan dipinggirkan di sini troli itu !". Saya sedih dan bertanya lagi kenapa begitu dan barang bawaan saya yang bayak ini harus diangkut dengan cara apa, karena jalan tanjakan khusus troli yang harus kami lewati menju tempat parkir kira-kira 30 meter dan harus di tambah menuju ujung tempat parkir tempat mobil jemputan menunggu. Saya sambil berpikir hal itu aneh mencoba nekat mendorong troli saya itu. Tetapi petugas bandara itu berkata lagi kepada saya dengan nada marah, "Kalau bapak nekad membawa troli ini ke tempat parkir, pasti saya dimarahi pimpinan dan bapak kena marah juga!". Akhirnya dengan kesal troli itu saya letakkan di sudut terowongan disebelah petugas bandara melaksanakan tugasnya untuk menjaga troli supaya mungkin tidak hilang. Suatu penggalaman yang pahit ! Tetapi berkat kebaikan sahabat seperjuangan saya yang menjemput kedatangan kami di Bandara Adi Sucipto saat itu, barang-barang bawaan kami bisa diangkutnya dengan menentengnya satu demi satu sampai masuk ke dalam bagasi mobil jemputan yang ada di tengah- tempat parkir bandara itu yang lumayan luas. Sewaktu saya keluar melewati jalan menanjak khusus untuk troli di terowongan bandara itu, saya juga sempat melihat seorang petugas yang berdiri di sebelah meja counter tempat menjaga pintu keluar. Saya sudah sampai pintu keluar lorong itu dan sudah bisa juga menghirup udara Yogya, tetapi masih saja merasa aneh dan sempat bertanya kepada teman baik saya itu, "Pak, jalan khusus troli dibuat dan ada di pintu masuk dan keluar terowongan ini dan juga ada meja jaga sekaligus petugas jaga di luar pintu keluar terowongan, tetapi kenapa troli tidak boleh di bawa sampai luar pintu keluar terowongan dan juga sampai tempat parkir mobil?". Sahabat saya dengan jengkelnya juga memberi penjelasan kepada saya, "Yahh...itulah sebagian sifat dan kinerja orang Indonesia, bangsa kita Pak, meraka hanya terbelit perasaan malas dan kinerja yang buruk. Intinnya mereka malas urus troli-troli itu dan membawanya ke tempat asalnya, padahal perancangan dibuatnya trowongan itu untuk kepetingan seperti itu juga, untuk membuat nyaman penumpang pesawat atau mungkin biar mereka dapat tip sepeser rupiah jika dimintai pertolongan !" Mendengarkan penjelasan sahabat saya yang juga sempat saya jemput dan putar-putarkan kota Kyoto sewaktu berkunjung ke Jepang itu, saya tersenyum dan langsung bisa merasakan nuansa Jogja yang sebenarnya, kota abadi yang masih banyak menyimpan keramahan budaya Jawa yang selalu mau memikirkan orang lain s seperti saya ini. Diakhir tulisan saya ini, saya secara khusus ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada sahabat saya itu, yang sudah mengantar-jemput dan juga menjadi pemandu tour di Yogya kami sekeluarga yang menyenangkan, yang kini masih tetap bersemangat berjuang mengajar kepada pelajar-pelajarnya di kota Yogyakarta untuk mengenal bahasa dan budaya Jepang untuk bisa diambil segi baiknya demi masa depan mereka semua dan pastinya demi bangsa Indonesia ini yang memang baru bersemangat untuk berkembang. Salam dari Jepang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun