Jepang memang hingga detik ini dikenal sebagai negara yang berpenduduk sangat disiplin sehingga sampai ada budaya antre dalam melakukan berbagai kegiatan. Misalnya budaya antre menunggu bus di halte, antre membeli barang di toko, antre untuk menggunakan toilet dan lain-lainnya. Mendengar keadaan seperti itu aku semakin paham dan harus mempercayainya karena semua orang bilang begitu.Bila membaca berbagai buku dan kabarpun akan kutemui pernyataan seperti itu. Dikala aku menginjakkan kakiku pertama kali di Jepang kira-kira 12 tahun yang lalu pun bisa membuktikan kebenaran pernyataan tersebut. Aku bersama rombongan tiba di Bandara Narita dan dijemput oleh petugas yang ditugaskan untuk menjemputku. Saat itu, aku sudah langsung harus mempraktekkan budaya antre tersebut walau semua rombongan yang bersamaku saat itu terdiri dari orang yang berasal dari berbagai negara. "Sumimasen, jumban ni haite kudasai ne (Maaf, Tolong masuk (kedalam bus) urut ya )!", kata petugas penjemput yang sekaligus sopir bus jemputan. "Wah, maksudnya harus antre nih !", pikirku dalam hati sambil menyaksikan tingkah laku petugas itu yang menarik perhatianku. Saat aku dan rombongan lain sudah berhasil masuk dan duduk di dalam bus, petugas tadi memperkenalkan diri bahwa dirinya adalah sopir bus yang sekaligus penjemput kami dan akan mengantar ke gedung kampus tempat tujuan kami belajar Bahasa dan Budaya Jepang. "Nanti saat sudah sampai tujuan, harap turun dari bus dan langsung berdiri di depan pintu lobby masuk ya !", kata petugas itu lagi sambil menggerakkan tanggannya yang memakai kaos tangan putih. Sopir itu mulai memberangkatkan kami dengan mengemudikan bus menuju Kota Kita-Urawa di Perfecture Saitama yang berjarak kira-kira 50 Km dari Kota Tokyo. Berhubung saat itu aku belum genap satu jam berada di Jepang dan menyaksikan pemandangan kota dari kedua sisi kiri dan kanan jendela bus yang melewati kota Tokyo, menarik nafas dan agak menyimpan kekaguman. "Gila, indah dan rapi sekali kota dan bagunan-bagunannya," aku memikirkan hal itu dalam hati. Aku bisa melihat lalu lintas Tokyo yang rapi tanpa ada mobil yang saling menyalip dan atau pengemudi yang mengemudikan mobil zig-zag ke arah kiri dan kanan. Mereka, mobil-mobil itu terlihat seperti antre tetapi tetap sambil berjalan melaju baik di jalan toll maupun jalan-jalan biasa dan bahkan jalan-jalan kecil di dalam kota. ”Mobil-mobil pun sabar antre tidak saling menyalip ya?", tanyaku pelan kepada Heni, teman ku yang datang bersama sejak dari Jogja. Sesekali terlihat olehku barisan orang yang berdiri di depan-depan toko dan halte bus yang aku lewati. "Ngapain ya orang-orang itu?", tanya Heni sambil mengamatinya. "Mereka mungkin antre karena ada sesuatu hal !", jawabku agak kurang yakin. "Kalau orang-orang yang baris berada di pinggir jalan itu pasti sedang antre menunggu bus datang", tambahku yang kali itu sudah penuh keyakinan. Tak terasa bus melaju dengan cepatnya, dan waktu satu jam dalam perjalanan tidak begitu terasa. Akhirnya, bus pun masuk sampai depan pintu utama gedung kampus di mana lobby berada. "Ayo turun !", ajak Heni temanku itu. "Sebentar, tadi kan sopir pesan sama kita semua untuk masuk bus urut dan teratur, artinya turunnya pun begitu !", jawabku mengingatkannya. Temanku memaham seketika itu. Semua penumpang bus turun dengan teratur dan aku pun di urutan terakhir. "Hitori tsutsu onamae o yobimasu ne (Saya akan panggil nama anda satu persatu ya)," kata petugas penyambut kami sebagai rombongan, setelah beliau mengucapkan salam selamat pagi dan selamat datang. Aku pun menunggu namaku dipanggil untuk menerima sebuah amplop besar berisi panduan dan perlengkapan lain sambil berdiri dan mirip sedang berbaris. Sesuatu yang wajar saja bila dalam sebuah rombongan taratur antre menunggu giliran di Jepang. Hari semakin siang di Jepang, dan aku bisa merasakan siangnya Jepang yang pertama saat itu. Penerbangan 1 malam dari Jogja sampai Tokyo dan dilanjutkan dengan perjalanan darat selama sekitar 1 jam dari Bandara Narita sampai Kota Kita-Urawa membuat badanku sangat ingin menikmati istirahat siang. Sesuai harapan, aku mendapatkan waktu istirahat untuk masuk kamar asrama yang telah disiapkan. Aku rebahkan badanku di ranjang kamar yang masih asing buatku. Walau kamar itu bisa dikatakan mirip atau sejajar dengan kamar hotel berbintang, tapi belum bisa aku nikmati. Aku masih capek, mungkin bisa dibilang belum biasa dengan hal-hal yang terlihat dengan mata ini sampai siang itu. "Apa inikah yang dinamakan culture shock?", tanyaku pada diri sendiri. "Hhmnn……..", nafasku menjawab dengan tarikan panjang sambil kuamat-amati keadaan kamar mulai dari atap, tembok dan lantainya. Memang merasa shock, karena kamar bagus dan lumayan luas itu mulai hari itu aku tinggali seorang diri. Kawan-kawanku satu negara dan peserta lain dari lain negara berada di kamar lain yang tersebar di lantai 1 sampai 5 gedung asrama itu. "Tut tut tuttt….", " bunyi telepon mengejutkanku. "Ohhh, telepon pertama yang aku dengar. Dari siapa ya?", pikirku sambil agak kaget dan bertanya sendiri. Aku segera mengangkatnya dan ternyata telepon itu dari temanku yang berasal dari Jogja tadi, Heni. "Moshi-moshi (Halo)", katanya menyapaku membuka pembicaran. "Tori, kamarmu di lantai satu ya? Nih aku tahu nomor telpon kamarmu dari panduan yang dibagikan tadi", katanya padaku. Aku menjawabnya sambil tersenyum karena setelah dia bilang "moshi-moshi" ternyata bicara dalam Bahasa Indonesia logat Jawa. "Iya, kamarku ada di lantai 1. kamu?", kataku balik tanya. "Aku di lantai 5 nih", jawabnya memberitahu. Ternyata temanku itu langsung membaca berbagai keterangan di buku panduan program. "Aku mau ajak kamu makan bareng sebentar lagi, aku baca di buku panduan katanya café tempat makannya buka dari jam 12 sampai jam 2 siang saja", katanya mengajakku. "Oiya, kalau begitu kita pergi makan siang sekarang aja yuk!", ajakku langsung menyetujui ajakan dia. "Takutnya nanti harus antre kalau kita datangnya lambat ", tambahku. "Habis makan siang kita tinggal bebas bisa leyeh-leyeh di kamar kan?", tambahku lagi biar dia mau bersamaku. Aku dan Heni pun pergi ke café untuk makan siang bersama. "Makan siang pertama di Jepang nih !", pikirku lagi Aku sampai pintu masuk café yang ada di lantai satu, tepatnya di sebelah lobby dan pintu masuk gedung. Di pintu masuk Café bagian luar, aku lihat ada beberapa tiang seukuran pinggang orang dewasa dan lengkap dengan sabuk-sabuk panjang yang menghubungkannya. Aku mendekati dan mengamatinya, ternyata alat benda itu adalah pembatas untuk mengatur antrean orang-orang yang akan masuk makan di café itu. "Wah, harus antre lagi nih kita", kataku kepada Heni. "Iya nih, tapi hanya ada sepuluhan orang kan. Tuh lihat aja !", kata Heni . Aku bilang lagi, " Kita datang cepat saja masih harus antre, apalagi kalau datangnya ke sini ditunda nanti-nanti". Sambil berbaris antre, aku mendengar petugas memberi salam kepada semua yang datang. "Irasshaimase…irasshaimase…(Selamat datang...selamat datang...)", katanya dengan suara keras dan bersemangat. Salah satu petugas café keluar dari dapur menuju ruang makan dan berdiri di pintu masuk. Ketika ada beberapa orang yang nyelonong masuk ruangan cafe, mungkin karena baru saja datang dan belum terbiasa dengan budaya Jepang, petugas itu berkata memberitahunya, "Sumimasen, jumban ni narande kudasai ne (Maaf, harap antre berurutan ya !)". Aku lihat, segera saja orang-orang itu antre mengikuti aturan yang sudah ditentukan. Sambil berbaris antre, aku amati pegawai yang bertugas melayani dan meracikkan menu yang dipesan,dengan semangatnya melayani dengan cepatnya tetapi tetap melayangkan senyuman ramah. "Wah, cepat sekali melayaninya ya…", aku berpikir sendiri. Suasana antre tersebut, merupakan pengalamanku yang pertama khususnya bisa melihat pelayan-pelayan café yang bekerja dengan semangatnya sambil berteriak keras memberi salam selamat datang kepada tamu-tamunya. Gerakan-gerakan mereka seakan tidak ingin membiarkan tamu yang datang untuk makan menunggu lebih lama. Tak lama menunggu, giliranku untuk mendapat pelayananpun datang juga. Disapanya langsung diriku dengan senyum ramahnya sebelum bertanya tentang menu yang ingin aku pesan. "Irasshaimase (Selamat datang)", sapanya. Aku hanya tersenyum menatapnya karena sedang berkonsentrasi ingin memesan menu kesukaan tahap uji coba dalam Bahasa Jepang. "Gochuumon wa (Mau pesan apa)?", tanyanya. "Gyuudon to misoshiru o kudasai !", jawabku memesan nasi berlauk daging sapi yang diletakkan di atasnya dan soup miso. "Hai, wakarimashita (Ya, saya mengerti)", jawabnya seketika itu. Aku segera menerima pesananku bagaikan tak menunggu dibuatkan, karena pegawai yang ada disebelah dan belakangnya membuatkan menu pesananku saat itu juga. "Hai, doozo ! (OK, Silakan !)", kata petugas itu lagi sambil meletakkan menu pesananku di atas nampan yang sudah aku siapkan dan bawa dari pertama memulai antre. Sebelum aku bingung, petugas itu memberitahuku kalau sendok, sumpit dan lain-lainnya ada di pojok ruangan dan aku disuruh mengambilnya sendiri. "Mizu mo mokou ni arimasu yo ! (Air juga ada di sana !)," tambahnya sambil mengangat tangan kanannya memberi petunjuk aku. Lagi-lagi senyum ramahnya terpancar seakan terkesan dia sangat senang dengan pekerjaan melayani tamu atau pembelinya. Aku duduk bersama teman-teman menikmati makan siang pertama di Jepang. "Gyuudon tte oishii desu ne (Gyuudon itu enak ya?)", kata temanku yang memesan menu sama yang sekaligus duduk dan makan satu meja denganku. "Iya memang enak, tapi lebih enak kalau tidak pakai antre !", jawabku mencoba mengajakknya tertawa. Makan siang yang lezat dan yang sekaligus mengajarku berbudaya antre telah selesai. Setelah itu, waktu yang memang dijadwalkan untuk digunakan beristirahat, aku gunakan untuk merebahkan badan lagi sambil menikmati kamar yang akan aku tiduri selama aku tinggal di Jepang. Tak terasa hari itu cepat menjadi sore. Lagi-lagi temanku yang ada di kamar lantai 5 meneleponku lagi. "Kita malam ini dijadwalkan makan malam di luar kan?", tanyanya memberitahu aku. "Ohh ya, kita boleh makan malam di manapun dengan uang yang sudah ditransfer di rekening bank kita", jawabku memberitahunya juga. "Kalau begitu bagaimana kalau kita mencoba makan di tempat yang asyik dengan naik kereta dulu !?," ajaknya bersemangat. Tanpa bilang macam-macam, akupun langsung menyetujui ajakannya. "Ide yang bagus !", pikirku senang. Sore itu, kira-kira jam 5, aku berdua lagi keluar asrama menuju stasiun terdekat yang hanya perlu waktu sekitar lima menit berjalan kaki. "Wow, bakalan punya pengalaman pertama lagi dengan naik kereta nih di Jepang.!", kataku kepada Heni. Dia hanya tersenyum mendengar ungkapanku karena matanya baru tertuju pada ATM yang ada di depan stasiun. Diajaknya aku mengambil uang di ATM bersama-sama. Tak ingat lagi berapa uang yang aku ambil waktu itu karena sibuk dengan memahami cara memakai mesin ATM nya. Langsung saja aku menuju stasiun untuk naik kereta. " Aduh, beli tiket keretanya harus antre juga nih !", kataku spontan. Di Jepang untuk naik kereta harus membeli karcis dengan mesin. Mungkin hari itu karena sore hari dimana banyak orang pulang kerja dan sekolah membuat stasiun kereta padat dengan orang-orang yang ingin naik dan turun dari kereta. Aku lihat sambil antre membeli tiket kereta, banyak para pengantre yang disiplin menunggu giliran untuk bisa membeli tiket. "Di stasiun ini tidak ada penjaganya kok semua pada tertib antre yah?", kata temanku yang teringat dengan pegawai café di sekolah tadi. "Antre itu kan salah satu budaya Jepang !", jawabku sedikit mengguruinya. Akhirnya hanya dengan sambil ngobrol sebentar giliranku membeli tiket kereta sampai juga. Satu uang coin 100 Yen dan 2 coin 10 Yen aku masukkan mesin penjualan tiket, karena harga sampai stasiun terdekat hanya 120 Yen. "Yuk cepat cepat masuk stasiun !", kataku pada temanku yang masih mengambil tiket dan uang pengembalian dari mesin. Aku masuki stasiun dengan cara memasukkan tiket kecil ke dalam mesin yang sekaligus pintu masuk stasiun. Di sini layaknya orang yang antre masuk ruangan, karena untuk lewat masuk pintu sempit itu harus berjalan sendiri-sendiri atau seorang demi seorang. Demikian pula bila mau keluar dari stasiun. Cara seperti itu berlaku di stasiun seluruh Jepang. Sesaat setelah itu, aku tiba di peron kereta. Tepat dibawah papan penunjuk menuju Urawa. "Wahh, antre lagi nih !", kataku pada Heni. "Iya ya", jawabnya sabil berhenti di belakang beberapa orang calon penumpang kereta. Aku tahu, kalau dalam keadaan seperti itu, biasanya penumpang yang akan naik kereta harus sabar menunggu para penumpang yang akan keluar dari kereta sesaat setelah pintu keretanya terbuka nanti. Aku berusaha sabar karena memang sore itu tidak ada jadwal untuk harus tergesa-gesa. Hanya untuk makan yang jamnya pun tergolong terlalu cepat. Kereta datang dari arah sebelah kananku. Semua calon penumpang tetap berbaris, tapi kali itu mulai beberapa diantara merapatkan barisan. Akupun juga begitu. Kemudian, kereta berhenti dengan pintunya tepat berada di depan barisan karena memang sudah dirancang untuk tidak menyusahkan para penunggu kereta itu. Anak-anak laki-laki bersama orang tanya mulai turun sesaat pintu terbuka. Kemudian diikuti oleh beberapa orang dewasa yang sudah berkonsentrasi untuk keluar dan berlari kearah tujuan peron lain atau keluar stasiun. Baru setelah penumpang yang turun dari kereta habis, para pengantre mulai masuk ke dalam kereta urut mulai dari depan. Aku pun mengikutinya dari barisan paling belakang. Tapi, payah ! Aku tidak kebagian tempat duduk. Jadinya harus berdiri di dekat pintu kereta bersama dengan penumpang lainnya.. "Nggak apa-apalah berdiri. Kan jarak dari stasiun Kita-Urawa ini ke stasiun Urawa dekat sekali. Hanya 3 menit !", kataku memberitahu Heni, temanku itu. Aku pun sempat berpindah tempat berdiri mendekati Heni supaya tidak terpisah nantinya. Sesaat setelah itu ternyata terdengar suara pengumuman bahwa sebentar lagi kererta akan sampai dan berhenti di Stasiun Urawa. "Urawa...urawa....urawa desu", suara petugas kereta mengumumkannya. Saatnya turun dan keluar dari kereta. Kali ini aku turun keluar kereta duluan, sedangkan penumpang-penumpang yang akan naik masuk belakangan. Tanpa lama-lama aku berada di dalam stasiun Urawa sore itu. Aku langsung keluar stasiun dengan temanku. Lagi-lagi, aku menyaksikan banyak orang mengantri untuk naik bus dan taksi dari depan stasiun. "Oh, begitu keluar stasiun ternyata banyak halte bus sesuai jurusannya masing-masing dan pangkalan taksi ya", pikirku dalam hati. Saat itu aku hanya memandang orang-orang yang sedang mengantre dengan tertibnya dan juga orang-orang yang berlari menuju antrean paling belakang. Aku berjalan semain menjauhi stasiun Urawa. Masih terlihat jelas pemandangan kota karena hari masih belum gelap malam itu. "Kelihatannya kalau kita makan malam sekarang terlalu cepat !", kataku kepada Heni. "Tujuan kita kesini kan mau makan malam !", jawabnya. "Memang begitu sih !", jawabku. "Bagaimana sambil menunggu sore menjadi agak gelap, kita mencari restoran yang ada orang sedang antre saja !", kataku mengajak Heni. "Wah, ide kamu lumayan menantang tuh Tori !", jawab Heni sedikit memujiku. "Wah, rumpanya setuju ya kamu?", jawabku senang. "Aku punya alasan mengajakmu seperti itu !", kataku sambil memandangnya. "Apa tuh ?", tanyanya pingin tahu. "Seperti kejadian tadi siang di cafe kampus, kita harus punya pengalaman antre pertama di restoran Jepang !", kataku menjelaskan dengan bersemangat. Setelah kami berdua mengadakan persetujuan, segera mencari restoran yang sebelum makan harus antre terlebih dulu. Aku berdua meneruskan perjalanan lagi beberapa puluh meter untuk itu. Wow...ternyata ada benar, banyak orang terlihat sedang antre sampai memenuhi jalan yang ada di depan restoran yang tidak terlalu besar. Kami menyeberang jalan raya untuk ikut antre di barisan paling belakang. Aku hitung kira-kira ada 25 orang saat itu. "Di sini saja ya makan malam kita !?", ajakku kepada Heni. "Wah, antrenya banyak sekali. Mantap !", katanya agak heran tapi senang. Sesaat setelah aku merapatkan barisan antre, datanglah seorang pegawai restoran perempuan muda ke arahku sambil membawa daftar menu tergesa-gesa. "Irasshaimase (Selamat datang)", katanya memberi salam. Dia menunjukkan daftar menu kepadaku. Aku melihatnya langsung tahu kalau restoran itu ternyata restoran ramen, karena terpampang foto ramen yang kelihatannya lezat. Disuruhnya aku melihat-lihat dan memikirkannya dulu sebelum memutuskan memesannya nanti. Aku mencoba memutuskan walau dengan agak sedikit bingung karena ada banyak menu yang ditawarkan dengan tulisan kanjinya. "Wah, kelihatannya enak yah...dari gambarnya dan banyaknya orang yang mengantre ketahuan!", kataku pada Heni yang belum bisa memutuskan mau makan ramen jenis apa saat itu. Sebelum pelayan itu pergi meninggalkanku, aku bertanya kira-kira waktu mengantrenya berapa lama. Setelah pelayan itu melihat dan menghitung orang yang antre, menjawab pertanyaanku. "Ichi-jikan gurai to omoimasu (Kira-kira 1 jam)". "Wah, lumayan lama nih", batin ku sambil menjawab penjelasan pelayan itu dengan berkata, "Aa, soo desu ka (Oh, begitu ya)". Perlu tahu, sesuai cerita salah seorang temanku yang orang Jepang, bahwa mengantre untuk sekedar makan siang atau malam itu, merupakan hal yang umum dan wajar di Jepang, apalagi di restoran yang enak dan terkenal. Orang Jepang dengan sabarnya bisa tahan mengantre dengan keadaan perut lapar, karena memang mereka sudah siap dengan keadaan seperti itu. Jadi mungkin datangnya ke restoran sebelum perut mereka merasa lapar benar. Walau di kepalaku masih selalu teringat kalimat "menunggu itu pekerjaan membosankan", aku berdua dengan Heni harus memaksa diri untuk tidak berperasaan bosan seperti itu. Hal itu alasannya karena memang aku sudah memutuskan dan siap untuk antre di restoran ramen itu. "Apa orang-orang Jepang itu juga merasa seperti itu ya?", pikirku sendiri. "Mungkin iya juga karena memang sistem dan budayanya sudah terbiasa dengan antre", jawabku sendiri dalam hati. Seperti apa yang sedang para pengantre lainnya lakukan, yaitu mengantre sambil bercerita dengan teman antrenya atau membaca buku sendirian, maka aku pun juga melakukan itu. Aku berbicara kesan di hari pertama menginjakkan kaki di Jepang yang langsung mencari tantangan antre dan juga membaca beberapa lembar pamflet tentang iklan dan wisata kota yang sempat aku ambil di sebelah pintu keluar stasiun tadi. Berkat kesabaran melakukan tantangan akhirnya giliran bisa masuk restoran tiba. Benar juga kata pelayan restoran tadi kalau aku harus menunggu sekitar 1 jam. "Tsugi no okyakusama, hai doozo ! (Tamu berikutnya silakan masuk !)", kata pelayan bagian depan restoran itu menyilakanku masuk. "Nanmei-sama desu ka? (Berapa orang ?)", tanyanya kepadaku . Sambil melangkah masuk aku menjawabnya dengan kata "futari (dua orang)" sambil menunjukkan dua jariku. Dipersilakannya aku dan temanku untuk menduduki kursi yang memang cukup hanya untuk dua orang. Terdengar suara keras para pelayan restoran yang mengucapkan kata "irasshaimase...irasshaimese" kepada para tamu restoran dengan senyum ramahnya. Aku langsung ditanya mau pesan menu ramen jenis apa sesaat setelah duduk dikursi dengan benar oleh pelayan yang lain sambil dia meletakkan dua gelas air putih diatas meja sebagai salah satu pelayanan yang pertama. "Shio-ramen o kudasai ! (Saya pesan Shio-ramen !)", kataku. "Miso-ramen o kudasai ! (Saya pesan Miso-ramen !)", kata temanku juga. "Hai, kashikomarimashita (Ya, saya mengerti. Terimakasih)", kata pelayan itu sambil mencatat di lembaran kertas pesanan kecil . Sebelum dia meninggalkanku, aku bertanya," Jikan kakarimasu ka? (Apa perlu waktu lama?)". "Iie, sugu dekimasu yo (Tidak, segera jadi kok)", jawabnya dengan meyakinkan. Setelah itu, segera dia berteriak keras dengan menyebutkan jenis ramen pesananku dan pesanan temanku kepada petugas pembuat ramen yang ada di dapur. Kebiasaan bersuara keras untuk memberitahu pesanan kepada petugas masak, memang merupakan kebiasaan pelayan-pelayan restoran di Jepang terutama restoran ramen. Hal ini mungkin untuk menunjukkan semangat kepada para tamu atau pembeli di restorannya sehingga menimbulkan semangat juga untuk menikmati menu masakan dengan enak dan suka. Pesanan menu pun datang sesaat setelah itu. "Benar-benar pelayanan yang cepat nih", pikirku sambil menyium bau harum dan lezatnya ramen pesananku. "Datangnya ramen tdak sebanding dengan lamanya waktu untuk antre ya?" , celetuk temanku sambil mengambil sumpit. Tanpa aku tanggapi kata-katanya, aku langsung saja menikmati shio-ramen ku dengan nikmatnya. Tanpa masalah waktu itu menikmatinya, karena memang rasa ramen itu hampir semuanya cocok untuk lidah orang Indonesia. Temanku pun jg asyik menyeruput kuah ramennya terlebih dahulu sebelum menikmatinya mie nya dengan sumpit. Setelah makan ramen dengan meninggalkan banyak kesan pertama di restoran yang aku beri nama "Restoran Ramen Antre" itu, aku pulang berdua lagi dengan kereta karena belum berani pergi terlalu lama karena malam itu bukan malam yang bertujuan jalan-jalan. Malam pertamaku di Jepang memberi pengalaman antre pertama juga yang bermakna luar biasa. Melatih bersabar dengan memberi dan diberi kesempatan juga oleh orang lain demi untuk kelancaran dan keadilan dalam kehidupan. Bila ke Jepang dan mau nyaman, jangan lupa antre ! Salam Kyoto, 18 Oktober 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H