Mohon tunggu...
Tori Minamiyama
Tori Minamiyama Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Dari Negeri Sakura berusaha menghapus segala unsur kesedihan, bahaya dan kotor demi kehidupan yang lebih berarti. Suka bepergian kemana suka demi semburan nafas yang dahsyat dan sebuah semangat kehidupan...Menulis dan membagi pengalaman untuk bangsa!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Bagaimana Pendidikan Anak SD di Jepang?

29 September 2010   07:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:52 7820
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pada kesempatan ini rasanya hati dan pikiran saya tergerak untuk menulis sedikit tulisan mengenai pendidikan di Jepang. Ada alasan yang sangat luar biasa untuk hal ini, yaitu masalah pendidikan di Jepang khususnya mengenai pendidikan Sekolah Dasar (SD) ini pernah ditanyakan oleh guru sekaligus sahabat saya yang kemarin, tepatnya tanggal 28 September 2010 berpulang kepada yang kuasa untuk selama-lamanya karena suatu penyakit. Mendengar kabar tersebut secara manusiawi sedih rasanya ditinggalkan dan pikiran saya langsung teringat satu pertanyaan beliau yaitu bagaimana pendidikan anak SD di Jepang?Sekaligus kalimat tersebut saya jadikan judul tulisan ini.

Kira-kira 2 tahun yang lalu, tepatnya pada waktu saya    pulang kampung ke kota kelahiran saya di Indonesia dan waktu bertemu dengan beliau, pertanyaan tersebut hanya saya jawab yang jelas ada bedanya antara pendidikan anak-anak SD di Jepang dan di Indonesia. Karena sambil berbicara macam-macam hal dan juga suasana kangen-kangenan bersama teman-teman yang lain yang berada di tempat yang sama,  saya tidak bisa sharing dan menjelaskan tentang masalah tersebut kepada beliau. Setelah beberapa hari saya kembali dan sampai Jepang lagi saya mengirimkan lembaran-lembaran print-out kepada beliau dengan pos yang menjelaskan tentang pertanyaan beliau tersebut. Tulisan ini sekaligus saya persembahkan kepada beliau yang murah senyum dan yang sampai akhir hidupnya masih setia dalam bidang pendidikan di Indonesia tepatnya di Salatiga.

Guru sekaligus sahabat saya tersebut mungkin menganggap saya sedikit banyak tahu tentang sistim pendidikan di Jepang karena saya sebagai warga Indonesia yang tinggal di Jepang dan memiliki anak yang sudah bersekolah di SD, dan mungkin juga tentunya pernah berkunjung ke sekolah sang anak untuk berbagai keperluan. Sepertinya dugaan beliau tidak keliru karena memang begitu adanya. Sebetulnya beberapa hal yang ingin saya jelaskan kepadanya diantaranya sebagai berikut.

Setiap anak usia sekolah khususnya sebagai contoh anak SD sudah ditentukan tempatnya di mana harus bersekolah berdasarkan alamat tempat tinggalnya di suatu distrik, sehingga setiap orang tua tidak boleh menyekolahkan anaknya ke distrik yang lain atau seperti di Indonesia yang kelihatanya bebas memilih sekolah-sekolah yang disukainya. Walaupun saya tidak bisa memilih sekolah untuk anak saya tapi merasa sangat beruntung karena SD anak saya sangat dekat dengan rumah. Jika boleh kasih gambaran sekolah tersebut terlihat dari teras kamar dan suara murid-murid yang sedang berolah raga di lapangannya pun terdengar jelas. Di Jepang fasilitas yang dimiliki tiap Sekolah Dasar (shougakkou) hampir sama walaupun ukuran ruangnya berbeda.  Ruang yang tersedia meliputi ruang kelas, perpustakaan, asosiasi guru dan orang tua (PTA), ruang guru, toilet, gudang olahraga tertutup (taiikukan), kolam renang dan lapang olah raga terbuka.

Salah satu sekolah dasar di sini pernah diberitakan dan diketahui memiliki luas lapang terbuka 9,130 m2 (lebih luas dari lapang sepakbola) dari total luas sekolah 18,150 m2.  Lapang terbuka ini dimanfaatkan siswa dan guru sekolah untuk pelajaran atletik, sepakbola, softball dan olahraga/permainan lainnya.  Keadaan ini  jauh berbeda dengan kondisi luas sekolah dasar di Indonesia pada umumnya yang tidak memiliki lapang terbuka untuk berolahraga apalagi lapang olahraga tertutupnya. Tentang luas sekolah anak saya mungkin tidak seluas sekolah tersebut di atas tetapi memiliki sebuah lapangan sepakbola yang kadang dipakai untuk bermain baseball dan juga mempunyai sebuah kolam renang yang cukup besar.

Dengan fasilitas dan kualitas guru yang sama di setiap Sekolah Dasar, maka mutu siswa dapat dikatakan 'sama'. Kurikulum pendidikan Sekolah Dasar di Jepang dan di Indonesia jauh berbeda. Untuk siswa SD kelas 1-3, bobot kegiatan olahraga sangat besar, hampir tiap hari anak didik diberikan mata pelajaran tersebut. Kegiatan akademiknya berlangsung dari pukul 8 pagi sampai 3 sore dengan diselingi istirahat dan makan siang bersama. Tidak nampak adanya kantin dan jajanan kaki lima dipinggir luar pagar sekolah seperti SD saya jaman dulu.

Hal yang membedakan lagi yaitu masalah penanganan anak setelah pulang sekolah jam 3 sore yang kedua orang tuanya bekerja sampai jam 5 sore lebih seperti halnya saya. Masalah seperti ini ternyata pihak sekolah atau formalnya pemerintah menyediakan suatu tempat dalam bentuk gedung yang ada di dalam komplek sekolah dinamakan "gakudo" atau tempat bermain dan belajar di dalam sekolah pada jam luar sekolah. Anak-anak yang berada di gakudo ini akan pulang sendiri atau dijemput orang tuanya pada jam yang orang tuanya bisa dan inginkan. Walaupun disediakan fasilitas seperti ini tapi pihak orang tua murid harus membayar tersendiri terutama untuk biaya makan dan pengasuh-pengasuhnya.

Dengan adanya fasilitas seperti ini saya sangat merasa tertolong karena saya dan istri tetap bisa bekerja produktif pada jam kerja dan anak saya bisa tetap belajar dan bermain dengan aman. Sering juga saya sharing dengan teman-teman saya di Indonesia khususnya mereka yang mempunyai anak kecil supaya Indonesia juga menolong para orang tua siswa untuk tetap bekerja produktif dan memaksimalkan anak-anak supaya memanfaatkan waktunya belajar dan bermain dengan sistem seperti ini. Singkatnya aman, terkendali dan ada target jelas untuk mencapai suatu hasil. Kegiatan belajar siswa tidak hanya di dalam ruangan. Secara berkala mereka melakukan kegiatan kunjungan ke tempat bersejarah dan lahan pertanian atau perkebunan untuk belajar memetik teh, jeruk, menggali umbi-umbian bahkan belajar menanam padi di sawah. Di lain waktu, siswa secara berkelompok diajarkan cara menumpang kereta (densha) untuk melatih kemandirian. Tentunya ada kegiatan wawancara kepada orang-orang tertentu sebagai nara sumber dan kemudian siswa membuat penelitian-penelian kecil untuk dipresentasikan di depan kelas. Menjelang akhir semester orang tua siswa diundang ke sekolah dan bertemu satu persatu dengan guru kelasnya.  Guru kelas memberikan informasi tentang aktivitas belajar anak kita, meliputi interaksi dengan teman sekelasnya, teman dekatnya, keterampilannya, kemampuan menulis/bahasa dan berhitungnya. Hal yang menarik bagi saya yaitu sewaktu diadakan kegiatan "jugyousanka" atau orang tua siswa diperbolehkan ikut bersama dengan anaknya di dalam ruang kelas untuk belajar dan berpartisipasi selama jam pelajaran tertentu. Sebagai contoh, ada saat pelajaran keterampilan, seperti membuat layang-layang, orang tua siswa diundang masuk ke kelas dan bersama anak membuatnya untuk kemudian dimainkan bersama-sama di lapang sekolah.Hal ini bertujuan dari pihak sekolah menunjukkan sistem dan suasana pelajaran di kelas dan dari pihak orang tua siswa dapat mengetahu sebenar-benarnya suasana di dalam kelas dan kemampuan serta cara belajar dan sikap anaknya mengikuti pelajaran.

Peran PTA atau Persatuan Orangtua siswa dan Guru dalam mendukung kegiatan sekolah juga sangat besar. Misalnya, mereka membantu sekolah menggelar menyukseskan kegiatan olahraga antar kelas (undokai) tiap musim panas di lapangan sekolah, seperti yang baru saja  saya alami minggu yang lalu, 25 September 2010. Salah satu peran PTA adalah menjadi panitia dan berperan aktif juga dalam kegiatan bersama anak di sekolah. Ada beragam aktivitas fisik yang ditampilkan dalam kegiatan festival ini. Sebagaimana yang dimaksudkan oleh kata Undokai itu sendiri, maka semua kegiatan dilakukan dalam kelompok. Baik itu kelompok anak dengan anak, orang tua dengan orang tua, maupun orang tua dengan anak.

Selain kegembiraan dan kebersamaan, Undokai juga dapat digunakan oleh orang tua untuk melihat capaian anak selama belajar di sekolah, karena kegiatan yang ditampilkan dibedakan atas kelompok umur dengan tingkat kesulitan yang berbeda. Pihak sekolah menekankan bahwa tidaklah penting siapa yang menang atau kalah yang lebih penting adalah semua orang telah berusaha memberikan yang terbaik dalam penampilannya dan merasakan kegembiraan bersama. Pertunjukkan seni tidak luput ditampilkan oleh seluruh siswa, dan ditonton oleh orang tua yang diundang pihak sekolah. Sebelum perlombaan dan pertunjukkan diselenggarakan, siswa berlatih hampir tiga bulan sebelumnya.  Semua aktivitas anak di sekolah dan keterlibatan orang tua di dalamnya memberi kesan tersendiri, terutama bagi warga asing di Jepang, yang mungkin tidak bisa didapatkan saat di negaranya sendiri.  Masih teringat saya akan awal-awal anak saya berkegiatan seni ini. Saya bersama-sama orang tua murid yang lain menyaksikan pentas drama danpentas musik anak saya dengan penuh keharuan, karena baik murid maupun guru sama-sama menampakkan keseriusan dan sangat senang dengan kegiatan tersebut. Berkaca pada pengalaman di atas, untuk pendidikan anak tingkat dasar, seyogyanya kegiatan akademik Sekolah Dasar jangan hanya difokuskan pada olah pikir saja namun harus diseimbangkan dengan olahraga dan jiwanya.  Jiwa anak-anak harus dibangkitkan supaya bersemangat tiap hari menghadapi kehidupannya dan masa depannya. Saya mengamati saat ini Departemen Pendidikan Nasional RI kabarnya memiliki alokasi anggaran pendidikan yang besar. Kita berharap sektor pendidikan dasar (TK-SD-SMP) akan mendapat alokasi dana terbesar, sehingga setiap sekolah nantinya akan memiliki fasilitas dan kualitas guru yang merata seperti halnya model pendidikan dasar di Jepang. Bukankan dengan memperhatikan pendidikan anak-anak akan membawa masa depan bangsa yang lebih baik?

Dan juga semoga di waktu yang akan datang tidak terdengar lagi bangunan Sekolah Dasar di Indonesia roboh satu persatu akibat kualitas bangunan yang rendah, walaupun sebenarnya jika pemerintah serius dan berpikir bisa pasti akan bisa mengatur semua itu. Semua hanya dengan usaha dan keseriusan.

Sebenarya untuk mengulas bagaimana pendidikan SD di Jepang tidak cukup sampai di sini. Masih banyak yang ingin saya tulis tapi setidaknya dengan gambaran-gambaran secara umum yang telah saya tulis diatas bisa membuat kita semua paham dan khususnya saya telah menyampaikan apa yang harusnya saya sampaikan kepada guru sekaligus sahabat sejati saya yang telah meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya. Selamat jalan pahlawan tanpa tanda jasaku. Semoga kau bahagia di alamNya dan bekas murid-muridmu akan meneruskan cita-citamu dan terimakasih atas semua ilmu yang telah kau berikan kepada kami.

(kenangan pembicaraan terakhir dengan Bp.Antonius Marsidi , guru sekaligus sahabat sejati)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun