Sejak media sosial pertama mulai mengudara, kita mempunyai alternatif tambahan yang sangat menggoda untuk menumpahkan perasaan. Sangat menggoda, karena sebelumnya kita hanya akan membagi isi hati kepada orang tua, kerabat, sahabat, atau pasangan, sekarang kita tidak perlu repot-repot menunggu waktu luang mereka: semua tersedia di ujung jari. Bahkan selain itu, kita bisa sekalian melampiaskan hasrat untuk diperhatikan oleh orang banyak. Seperti terkenal, tapi tidak. Seperti didengar, padahal belum tentu. Maaf kalau terpaksa saya menyebutnya dengan onani sosial.
Di zaman ketika ritual makan dimulai dan diakhiri dengan mengambil foto seperti saat ini, orang-orang akan semakin cenderung bertopeng. Kalimat-kalimat status dibuat sedemikian sehingga orang lain akan bersimpati atau, paling tidak, menyumbang like. Padahal belum tentu itu live, bahkan bisa jadi itu karangan bebas. Di dalam foto, kita berupaya keras agar telihat bahagia: keren-kerenan. Seru memang. Dan sedikit-banyak kita sudah berhasil membuat yakin orang-orang untuk merasa iri dari potret-potret yang kita sajikan tadi, bahkan diri kita sendiri. Mudah-mudahan tidak bertolak belakang dengan sebenarnya.
Secara tanpa bisa terjelaskan, perasaan berharga muncul seiring komentar dan like yang mengapung di status tadi. Seketika tumbuh di dalam hati perasaan seorang super star yang baru saja turun dari limo super mewah dan hendak menelusuri gelaran kerpet merah untuk kemudian mengambil piala Oscar yang baru saja dimenangkannya. Perasaan yang sangat luar biasa.
Entah apa latar belakangnya, tapi kita makin hanyut dalam keselebritisan semu itu. Makan, bikin status. Mandi, bikin status. Galau, bikin status. Bahagia, bikin kalimat bijak. Pemilu, status berubah jadi seputar politik (ngerti-ndak ngerti), event nasional/dunia, tiba-tiba memberi semacam ucapan selamat (lagi-lagi walapun tidak paham, dan bukan konsennya sebelumnya). Secara etika dan moral tidak ada masalah, tapi saya merasa ada yang salah dengan perilaku ini.
Paling tidak, menurut saya, mental penghuni socmed yang seperti itu akan lebih cengeng dibanding yang memanfaatkannya untuk sesuatu yang lebih (katakanlah) “berguna”. Akun media social pribadi kurang tepat digunakan untuk bahkan menjual gadget bekas kita, apalagi kalau itu tujuannya membangun opini dan mempengaruhi orang lain. Lain soal kalau akun itu punya seorang public figure, walaupun bikin laporan tiap menit dengan statusnya tentang segala hal yang dia kerjakan tidak masalah, karena memang dia mempunyai daya tarik. Anehnya, bias orientasi sosial ini memang hanya tampak di dunia maya oleh hampir semua orang, tapi di dunia sosial offline hanya terhitung jari. Kemana yang lain?
Tapi pertanyaannya kemudian adalah: (1) apakah dengan memberitahu semua orang tentang apa yang sedang kita pikirkan–dan karena seluruh feedback yang datang setelahnya–, kita benar-benar akan menemukan jawaban persoalan atau malah terlihat seperti sedang mengemis perhatian? (2) Bagaimana tentang masalah keamanan yang bisa disebabkan karena privasi yang kita telanjangi sendiri? (3) Benarkah tidak terbentuk kepribadian lain, yang semu, yang sebenarnya membuat kita membohongi diri sendiri tentang makna berbagi, kesuksesan, kebahagiaan, dan esensi sosial itu sendiri?
Saya hanya mengingatkan, kawan-kawan sekalian. Masing-masing kita punya sudut pandang sendiri-sendiri. Sebagai penutup tulisan ini, saya ingin mengajak kawan-kawan berandai-andai: seandainya saya -orang dekat Anda atau bukan- berniat jahat dan saya connect dengan time line Anda di semua platform yang ada, apakah terlalu sulit untuk membuat skenario bunuh diri Anda? Saya rasa tidak. :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H