Sepuluh tahun yang lalu, seperti baru kemarin, Indonesia merayakan kemerdekaan yang ke 60 kalinya. Waktu itu saya diakhir masa SMP, tidak mengerti apa-apa tentang kemerdekaan selain tentang upacara bendera tiap hari Senin di sekolah. Masih jelas juga teringat bagaimana guru PPKn di SD dulu mengajarkan cara mengisi kemerdekaan, adalah dengan belajar dan berbakti kepada oranga tua. Itu yang paling pas untuk ukuran anak SD mengisi kemerdekaan.
Sepuluh tahun berikutnya, saat ini, zaman menjadi semakin maju. Berkali-kali lipat lebih maju. Teknologi yang masuk dari Barat mempercepat perkembangan dan sedikit demi sedikit telah membantu pemerataan penyebaran informasi dan pendidikan di Indonesia yang tidak pernah berhasil dilakukan pemerintah. Tapi sudah lewat sepuluh tahun, belum ada seseorang yang mendefinisikan ulang bagaimana cara mengisi kemerdekaan bagi saya dan, mungkin juga, kami segenerasi. Tak lebih dari belajar dan menuruti nasehat orang tua.
Di satu sisi, ada upaya untuk membuat generasi muda mengerti bagaimana Republik Indonesia terlahir setelah melewati perjuangan sangat berat dan panjang melawan penjajahan yang bergilir. Itu baik bagi kami mengetahui asal usul bangsa ini agar termotivasi memajukannya. Tapi ada sisi lain yang saya rasa perlu dimengerti para warga negara senior untuk menumbuhkan semangat kemerdekaan kami, bahwa kami yang baru bertunas di era millenium ini tidak pernah paham bagaimana kepedihan hidup dalam penjajahan. Simpati, ia. Perihatin, ia. Marah terhadap para penjajah, ia. Tapi saya tidak yakin kalau kami semua paham bagaimana beratnya penderitaan itu hingga membuat kemerdekaan menjadi sesuatu yang sangat manis dan bermakna.
Karena kami tidak seorangpun terlahir dalam keadaan terjajah, sekalipun miskin hidup berkalang tanah. Kami memandang Indonesia seperti sebuah kerajaan dalam dongeng, yang semua orang memang harusnya belajar dan sudah barang tentu semua orang harus patuh kepada orang tua. Itu stadar bagi kami. Standar sebuah negara merdeka. Tentu saja orang-orangnya harus lebih beradab. Sang raja tentu saja baik hati. Demikianlah kami memandang negeri ini, paling tidak, sampai kami mengerti bahwa orang terhormat di tv itu tertangkap karena korupsi.
Atau bagaimana jika ternyata yang kita rayakan selama ini adalah pesta tibanya kita di depan pintu gerbang kemerdekaan? Bagaimana jika ternyata kita belum benar-benar merdeka? Kalimat retoris ini cenderung agak murahan karena bisa didapati dalam kampus mana saja di Nusantara. Tapi para pendiri bangsa buka orang gila untuk sembarangan menuliskan itu dalam pembukaan UUD 1945.
Maksud saya, bisa jadi saat inilah penjajahan sebenarnya yang secara tersirat diberitakan dalam pembukaan UUD tersebut. Bagaimana setelah itu orang-orang berebut kekuasaan seperti anjing gila rebutan pasangan kawin. Ketika pendidikan tidak maju-maju, sepak bola layu sebelum sempat berkembang. Makin banyak orang lapar seperti tidak kenyang-kenyang: mengembat roti saudara sendiri tanpa pamit. Justru setelah proklamasi kita semakin terjajah. Bukan oleh siapa-siapa, kita-kita sendiri.
Saya justru berkesimpulan, makna kemerdekaan adalah menjadi waras. Sebab hanya dengan itu kita bisa menjadi seirama dengan semangat cita-cita memajukan bangsa. Tentang bagaimana cara mengisinya, harusnya tidak perlu dipertanyakan, sebab orang merdeka itu beradab, dan orang beradab tahu apa yang akan dilakukan untuk kemajuan bangsanya. Selamat membuka pintu gerbang kemerdekaan! Anggap saja gerbangnya tidak terkunci. :D
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H