Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Soal UU Pilkada, SBY Bapak Demokrasi Indonesia Serupa Ical, Prabowo dan Hidayat

14 September 2014   04:42 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:45 624
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kurang dua bulan turun dari jabatan presiden, SBY nyaris menjadi tokoh Demokrasi Indonesia. Catatan SBY selama hampir 10 tahun memerintah hampir menjadikan SBY sebagai salah satu tokoh penting demokrasi Indonesia. SBY memimpin demokratisasi di TNI, Polri dan pilkada langsung dengan relatif aman dan damai. SBY pun memberikan kebebasan pers sebagai pilar demokrasi. Akibatnya media dan pers menjadi pengontrol kebijakan publik.

Demokratisasi itu kini tengah ada di persimpangan dengan UU MD3 dan UU Pilkada yang SBY mendukung. Paling tidak SBY mendukung koalisi permanen karena tiga sebab yakni kemungkinan (1) faktor post-power syndrome, (2) faktor eksternal yakni komitmen pemberantasan korupsi Jokowi-JK, dan (3) filosofi barji-barbeh ala Jawa yang mungkin tak disadarinya. Mari kita bahas satu-satu dengan hati gembira ria.

Jelas publik terkejut dengan langkah akhir SBY sebagai su'ul khotimah dalam pemerintahan 10 tahunnya. SBY menyerupai dan mendukung Ical, Prabowo dan Hidayat Nur Wahid yang sama sekali tak mewarnai kehidupan Indonesia dan tak tercatat sebagai tokoh besar Indonesia. SBY mengorbankan diri menjadi seperti Ical, Prabowo dan Hidayat Nur Wahid. Dukungan terhadap UU MD3 dan UU Pilkada merupakan ijtihad politik SBY di akhir masa jabatannya.

SBY yang sebelumnya bermaksud menghapus kekuasaan sejarah terbentuknya Indonesia lewat Jogjakarta dan akan menghapus kekhususan dan keistimewaan Jogjakarta, berubah arah akibat sikap demokratisnya. Tentu setelah ditekan oleh seluruh rakyat Jogjakarta yang memaparkan sejarah bahwa Jogjakarta adalah negara dan kerajaan merdeka selama Hindia Belanda menguasai seluruh wilayah yang sekarang disebut Indonesia.

Kini SBY di akhir masa jabatannya ternyata menjerumuskan diri menjadi sosok anti demokrasi dan bergabung dengan Ical, Hidayat Nur Wahid dan Prabowo. Kenapa dan apa penyebabnya?

Pertama, post power syndrome melanda SBY yang akan mengakhiri masa jabatannya. Gambaran sikap akibat post-power syndrome para orang tua seperti Ical, Hidayat Nur Wahid dan Amien Rais rupanya menghantui SBY. SBY bersikap dan beristibat menyerupai ketiga tokoh tersebut.

Akibatnya, pasca lengser SBY terkunci dengan kepentingan pribadinya yakni antara menjadi bagian demokrasi-revolusioner yakni bergabung dengan kelompok Jokowi-JK, atau kelompok yang melawan Jokowi-JK. Bergabung dengan Jokowi bagi SBY hanya menjadi kelompok pendukung.

Sementara bergabung dengan koalisi permanen, SBY akan menjadi penentu suara. Kepentingan untuk dianggap berjasa dan penting sebagai manusia Jawa - diuwongake alias diorangkan alias dianggap sebagai orang atau manusia - lebih penting bagi SBY karena sikap post-power syndrome yang diderita SBY.

Kedua, SBY menjelma menjadi pendukung kelompok anti demokrasi karena Jokowi-JK memiliki komitmen pemberantasan korupsi yang lebih dahsyat. Kasus Century yang terkait dengan Boediono dan Budi Mulya yang menyebut SBY diberitahu dan ditelepon oleh Boediono ketika SBY berada di Tokyo dan Washington, menjadi satu sandungan yang SBY tak tahu ujungnya. Juga kaitan dengan Ibas yang disebut oleh Yulianis menerima US$ 200,000 dalam kasus Hambalang.

Mendukung Jokowi belum tentu Jokowi bisa dipegang ekornya, sementara mengikuti Prabowo jelas menjanjikan gonjang-ganjing yang berhasil merecoki Jokowi yang pada akhirnya menghabiskan energi Jokowi-JK dan konsentrasi pemberantasan korupsi terlupakan.

Ketiga, filosofi barji-barbeh ala Jawa. SBY mendukung koalisi permanen yang anti demokrasi juga didasari oleh pemahaman filosofi Jawa dalam ‘barji-barbeh' bubar siji bubar kabeh alias bubar satu bubar semua yang bisa diterjemahkan sebagai jika harus hancur maka semuanya harus hancur. Dalam konsep ini, seperti juga dimiliki oleh Anas Urbaningrum pun menerapkan ‘barji-barbeh' dengan menyeret semua orang yang bisa diseret agar jika harus rusak maka harus rusak semuanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun