[caption caption="Salim Kancil I Sumber Rappler.com"][/caption]
Salim Kancil dibunuh atas suruhan pengusaha pasir yang juga sang penguasa Kepala Desa Haryono dengan cara biadab. Tak ada kata yang mampu diucapkan selain: sadis. Hanya kekejaman ala rezim PKI zaman eyang saya Presiden Soeharto yang mampu menandingi cara dan kebiadaban pembunuhan atas Salim Kancil. Untuk itu Presiden Jokowi harus tuntas menghadapi kasus Salim Kancil agar Presiden Jokowi tidak memiliki hutang kasus HAM. Mari kita tengok pembunuhan atas Salim Kancil dalam perspektif kekejaman ala G30S dengan hati jauh dari gembira ria senang sentosa bahagia suka-cita pesta-pora menari menyanyi riang selamanya senantiasa.
Gambaran antara pembunuhan dengan tidak hadirnya negara adalah justru Kepala Desa Awar-awar menggunakan jabatannya untuk mengeksekusi Salim Kancil. Pada 26 September 2015 Salim Kancil dibunuh oleh 23 orang suruhan Haryono. Salim Kancil tewas mengenaskan dengan kedua tangannya diikat. Dari rumahnya yang sekitar 2 km, Salim Kancil diambil dan dijemput paksa, lalu diseret dengan tali layaknya kerbau ke Balai Desa, untuk ditunjukkan kepada Kepala Desa. Salim Kancil dipukuli dan disiksa beramai-ramai oleh 23 orang dengan distrum listrik. Tidak mati. Maka leher Salim pun digergaji oleh orang-orang suruhan Kepala Desa. Tewas. Tubuh Salim Kancil yang tergorok dicampakkan di jalan tepat di gerbang kuburan. Selesai. Pembunuh bubar. Sama persis ketika terjadi permbantaian G30S. Senyap. Negara tak hadir melindungi.
Keterlibatan berbagai pihak berupa pembiaran seperti, RT, RW. kepala desa, camat, dan aparat keamanan sampai yang di awal tertulis adalah gambaran umum konflik antara pengusaha dan rakyat. Perspektif pembunuhan kejam tersebut mulai terkuak atas penyebutan keterlibatan banyak pihak. Bahkan pembunuhan atas Salim Kancil akan dapat dicegah jika aparat kepolisian menindaklanjuti laporan Salim Kancil akan ancaman pembunuhan dua minggu sebelum pembunuhan terjadi. Terbukti negara tak hadir.
Pun, pembunuhan akan dapat dicegah jika aparat keamanan yang berpatroli mau menengok keramaian di balai desa tempat eksekusi atas Salim Kancil. Lebih lagi, pembunuhan akan dapat dicegah jika tidak Kepala Desa bukanlah orang korup. Tak lupa, pembunuhan akan terhindar jika masyarakat yang menonton pembunuhan berani bersikap menentang kekejaman. Semua diam membisu melihat pembunuhan atas Salim Kancil. Tak berdaya. Kenapa? Negara tak hadir.
Salim Kancil representasi rakyat tak berdaya. Salim Kancil tak bisa memberikan keuntungan ekonomi jika dibela. Tak memberi manfaat materi bagi semua pihak: aparat keamanan, kepala desa, RT, RW, camat, penonton dan tentu pengusaha-penguasa dan penguasa-pengusaha (untuk menggambarkan sikap dan tabiat korup kedua jenis makhluk itu.)Â Negara membela penjahat dan tak hadir.
Salim Kancil hanyalah seorang petani aktivis. Kepeduliannya terhadap lingkungan karena kesadaran tentang sumber daya alam. Tambang pasir adalah salah satu hal yang merusak lingkungan. Bagi Salim Kancil kelestarian lingkungan adalah kelangsungan kehidupan petani dan desa. Penambangan pasir illegal yang merusak adalah kematian bagi sumber air sekaligus sumber kehidupan. Matinya sumber air dan kerusakan lingkungan adalah matinya sumber pendapatan kehidupan. Untuk itu, Salim Kancil meneriakkan kepedulian dan penentangan atas pertambangan yang merusak lingkungan. Lagi-lagi negara tak hadir membela.
Di lain sisi, pembunuhan terhadap Salim Kancil adalah bukti pamer kekuatan ala rezim eyang saya Presiden Soeharto ketika melakukan pembunuhan terhadap sekitar 1 juta orang tak berdaya. Peristiwa G30S adalah peristiwa pembantaian paling tak beradab dalam sejarah Indonesia. Ratusan ribu nyawa melayang dipenggal dan dicincang oleh rezim eyang saya Presiden Soeharto. Tanpa adanya pengadilan. Tanpa adanya perlawanan. Tanpa adanya pembelaan.
Pembunuhan atas ratusan ribu nyawa itu sebagai alibi dan pengalihan atas perebutan kekuasaan dari Bung Karno yang ‘dipahami, direstui, dan diketahui’ oleh eyang saya Presiden Soeharto sebagai pentolan penguasa waktu itu – termasuk setelah melakukan manipulasi sejarah dengan melakukan pengubahan foto kopi surat tertanggal sebelas Maret itu – yang kekuasaannya dan tindakannya akan terusik jika tak melakukan pembersihan.
Salim Kancil pun dibunuh tanpa adanya kesalahan, tanpa adanya pembelaan. Bahkan Salim Kancil dibunuh di depan aparat pemerintah desa dan dengan diduga ‘dipahami, direstui, dan diketahui’ oleh aparat RT, RW, desa, camat, dan keamanan dan tentu pengusaha-penguasa dan penguasa-pengusaha yang terusik oleh sikap Salim Kancil yang menyuarakan penentangan atas kekuasaan Kepala Desa, para pengusaha, aparat desa, kecamatan, dan bahkan kepolisian.
Maka, ketika konflik kepentingan terjadi, sang penguasa pasir Kepala Desa Awar-awar dan camat serta 23 orang suruhan Haryono yang menghasilkan Rp 2 miliar per bulan, Salim Kancil pun menjadi bulan-bulanan. Pengusaha-penguasa dan penguasa-pengusaha yang diwujudkan dalam bentuk manusia Haryono – sang Kepala Desa – tak hadir malah menjadi eksekutor sadis pembunuhan.