[caption caption="Pekerja Seks dipajang di Dolly I Sumber Kompasiana.com"][/caption]Publik dibuat terkejut karena Tri Rismaharini dijadikan tersangka oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Pasal yang disangkakan pun khas kriminalisasi: penyalahgunaan wewenang. Substansi tuduhan memang mengada-ada. Silang rentang terjadi antara Polda Jatim, Risma sendiri dan tim sukses, serta Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Tampak masing-masing memiliki kepentingan dan dari situlah tampak kriminalisasi sebagai cara menyingkirkan Risma. Mari kita telaah nilai kepentingan strategis Risma untuk disingkirkan dengan hati senang gembira ria riang suka-cita pesta-pora bahagia sentosa menyanyi menari senantiasa selamanya.
Sebagai pejabat publik, popularitas Risma setingkat Ahok di Jakarta atau Ridwan Kamil di Bandung. Risma, Ahok, Ridwan Kamil pun banyak dimusuhi oleh pengusaha hitam. Risma dan Ahok sering berhadap-hadapan dengan DPRD masing-masing untuk gerakan program pro-rakyat. Ridwan Kamil pun demikian. Maka baik Ahok, Ridwan Kamil pun dalam posisi yang rawan dikriminalisasi. Ahok selalu dituduh bermain dalam kasus RS Sumber Waras. Kini Risma tengah dikriminalisasi terkait Pasar Turi.
Jika kondisi normal, maka tak akan terjadi silang-rentang antara Polda Jatim dan Kejati Jatim. Tampaknya Kejati Jatim menjadi tengah menjadi agent of status quo. Sementara Polda Jatim pun mengambangkan kasus dengan tidak mengeluarkan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan). Dengan demikian kasus tetap bergulir meskipun tidak ada bukti.
Lack of political and legal coordination antara Polda Jatim dan Kejaksaan Tinggi Jatim menjadikan nuansa keinginan agenda yang sesungguhnya tentang penetapan Risma menjadi terbuka. Kentara. Kejaksaan Tinggi Jatim mendapatkan pesanan dari kekuatan status quo. Siapa mereka? Selama periode kepemimpinan Risma, nyaris tak ada banyak pikuk: agak senyap.
Yang ada adalah penataan kota Surabaya sampai penghapusan kompleks pelacuran terbesar di Asia, Dolly. Dolly adalah sumber uang bagi banyak pihak. Preman, aparat keamanan, sopir taksi, sampai parpol. Bahkan secara terang-terangan penutupan Dolly juga menjadi perdebatan internal partai pengusung Risma. Dalam kaitan dengan pembangunan, APBD, dan penataan Kota Surabaya, kebocoran keuangan diminimalisasikan. Sistem e-government, e-budgeting, e-procurement, menjadi senjata pemutus kongkalikong antara pengusaha hitam dan pejabat dikurangi.
Akibatnya pemain korupsi tradisional antara anggota DPRD berubah dengan cara sistem ijon: pemesanan proyek. Nah, pemesanan proyek ini mengikuti trend di DPR yang menjadi sesembahan para anggota DPRD. Kasus korupsi Dewie Yasin Limpo adalah contoh praktek korupsi yang juga dilakukan oleh banya pihak di DPR dan DPRD. Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Agung pun menjadi agent of status quo, bukan agent of change ke hal yang lebih baik.
Mereka menjadikan kasus sebagai alat politik dan paling mudah diintervensi. Di Kajagung, kasus Rio Capella dan sinyalemen keterlibatan – Jaksa Agung Prasetyo yang akan digeser setelah keriuhan NasDem usai dan digunakan untuk memainkan kartu as Presiden Jokowi – antara Prasetyo dan Gatot akan menjadi gambar berjalan yang nyata. Namun, karena posisi sebagai Jaksa Agung, maka penanganan Bansos pun untuk melokalisir ditangani oleh Kejaksaan Agung sendiri.
Gambaran khas kriminalisasi, kasus yang menjerat Risma pun diawali dengan (1) pengaduan: khas kriminalisasi seperti kasus Bambang Widjajanto dan kasus Abraham Samad. Lalu (2) pemaksaan kasus dilakukan oleh Kejati. Kasus yang sudah disebut oleh Badrodin Haiti telah dihentikan, namun oleh Kejati Jatim justru digulirkan. Hal ini menjadi bukti pemesanan kasus yang melibatkan unsur (1) kekuatan uang dan pengusaha hitam, (2) persaingan politik dan pengganjalan Risma yang di atas angin akan menang dengan popularitas 87%, (3) puasa korupsi oleh para koruptor yang terbatas selama 5 tahun kepemimpinan Risma.
Gambaran Kejati Jatim adalah kloningan Kajagung menjadi benar. Sikap, taktis, cara komunikasi yang tidak transparan, memberikan peluang untuk jual-bela kasus. Kasus Jaksa Urip Tri Gunawan pun menjadi contoh betapa institusi korup itu berperan. Juga kasus terkait para hakim pun tak luput melibatkan para jaksa.
Maka, eksekusi kriminalisasi Risma akan terus bergulir dan akan menempatkan Risma sebagai tersangka meskipun kurang bukti. Hal ini sangat berbahaya. Bukan hanya Risma, Ridwan Kamil pun digoyang dengan isu tak sedap: korupsi atau penyalahgunaan wewenang. Sementara Kejaksaan Agung sedang dilanda prahara, maka penyelesaian kasus Risma ini menunggu redanya pikuk di Kejaksaan Agung. Presiden Jokowi pun hanya meredakan dengan komunikasi dengan Badrodin Haiti dan Megawati. Lewat Ibu Mega dan Kapolri kasus Risma ini akan dilokalisir namun pihak Kejati sudah telanjur menjadi agent of status quo – dan akan alot.
Jadi, kriminalisasi ini sebagai wujud pamer kekuatan agent of status quo untuk menyingkirkan Risma memenangi jabatan periode kedua. Bagi para koruptor, 10 tahun terlalu lama tidak mengeruk keuntungan. Lapar korupsi memaksa mereka untuk menggunakan agent of status quo yang korup dan bergentanyangan di berbagai lembaga, DPRD, DPR, Kejaksaan dan Kepolisian berbagai tingkatan untuk menyingkirkan Risma. Presiden Jokowi belum perlu turun tangan untuk ini – masih ada Ibu Mega dan Badrodin Haiti untuk meredakan situasi kriminalisasi atas Risma.