Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ridwan Kamil dan Tiga Faktor Ahok Akan Kalah, Beda dengan Jokowi-Ahok 2012

23 Februari 2016   11:04 Diperbarui: 23 Februari 2016   11:09 4569
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 [caption caption="Gubernur Ahok I Dok Ninoy N Karundeng"][/caption]

Pahit realita sesungguhnya bagi Ahok meski di media Ahok digambarkan akan menang telak. Seluruh gambaran membayangkan Ahok akan dengan mudah menyapu kemenangan. Namun sesungguhnya ada tiga hal atau faktor yang membedakan antara Ahok 2017 dan Jokowi-Ahok 2012.  Potret ulasan dan opini di media yang mengaitkan penertiban Kalijodo segala menjadi jebakan bagi Ahok semakin kentara. Mari kita tengok tipuan gambaran kemenangan Ahok yang tidak disentuh oleh media dan tersembunyi dengan hati riang senang girang suka-cita senang bahagia suka-cita selamanya senantiasa.

Media gempita dengan opini setiap hari memberitakan kemenangan Ahok. Ahok seolah sudah menang. Realitanya, pengumpulan KTP 1 juta gagal tercapai saat ini. Pun dengan modal 1 juta KTP, keabsahan KTP masih harus di-verifikasi oleh KPUD. Verifikasi ini adalah saat paling kritis dan tidak menjamin Ahok lolos dari maju sebagai Pilgub DKI 2017 dari jalur independen. Hal ini ditambah lagi dengan Kawan Ahok yang bukan merupakan Timses Ahok.

Belum cukup di situ pembusukan terhadap Ahok, muncul berbagai kekuatan untuk disematkan kepada Ahok meskipun tidak demikian realitanya: dukungan Presiden Jokowi kepada Ahok yang tidak benar. Juga dukungan TNI-Polri kepada Ahok juga hal yang tidak benar terkait Pilgub DKI 2017. Semua disematkan kepada Ahok untuk menggambarkan kemenangan Ahok di depan mata. 

Sesungguhnya Ahok akan kalah jika maju pilgub DKI 2017 dengan tidak memiliki tiga hal berikut. (Kandidat yang bisa melawan Ahok satu-satunya, yang bisa mengalahkannya, yakni Ridwan Kamil alias Rika yang memiliki nama besar di Bandung – meskipun secara prestasi nol dan belum berbuat apa-apa dibandingkan dengan Ahok. Rika dibesarkan oleh media.)

Pertama, Ahok tidak memiliki Timses. Kawan Ahok adalah kumpulan sukarelawan yang jumlahnya segelintir dan bukan kumpulan orang-orang yang memiliki dan mengorganisasi sebagai Timses Kampanye 2017 untuk Ahok. (Sementara lawan yang dihadapi adalah sekelompok lawan yang komplit yakni parpol, timses, dan uang.) Tanpa kekuatan Timses kampanye yang hebat – dan hanya mengandalkan media sosial – Ahok akan kalah telak.

Pada Jokowi-Ahok 2012, sukarelawan melebur dengan Timses serta didukung oleh parpol kuat PDIP. Ibu Megawati memerintahkan semua anggota DPRD DKI untuk berjuang di setiap wilayahnya dan memberikan bantuan dana dan tenaga. Kini dukungan tersebut tidak ada – kecuali Ahok menggandeng PDIP.

Kedua, Ahok tidak memiliki sumber dana dan uang. Gempita media tentang Ahok menggambarkan bahwa Ahok akan menang. Realitanya pada 2012, Jokowi-Ahok didukung oleh dana seperti dari anggota DPRD DKI Jakarta dan bahkan Hashim Djojohadikusumo menyebut dirinya membiayai sebesar Rp 52 miliar untuk kebutuhan kampanye Jokowi-Ahok – yang  belakangan dibantah oleh Ahmad Basarah dari PDIP.

Benar tidaknya dana itu, yang jelas Ahok tidak memiliki uang untuk bertarung dan itu akan riskan bagi Ahok dan dipastikan akan kalah karena politik uang masih kental di masyarakat, termasuk di DKI Jakarta sekalipun. Untuk menang pun Ahok harus memiliki saksi-saksi yang harus dibayar di ribuan TPS di Jakarta. Tidak akan ada banyak saksi yang mau bekerja tanpa imbalan uang saku Rp 200,000 minimal untuk setiap saksi di setiap TPS. Tanpa saksi – dengan mengandalkan pengawasan media – jelas akan kalah. Fakta menunjukkan bahwa justru di DKI Jakarta banyak orang berlaku curang dalam Pilpres 2014 seperti tergambar dalam kesaksian di Mahkamah Konstitusi. Maka tanpa saksi-saksi Ahok akan kalah telak di DKI Jakarta.

Ketiga, akar Ahok sebagai double minority: Kristen dan Tionghoa. Meskipun sentiment ini sengaja hendak ditutupi, fakta ini menjadi beban politik terkait Pilgub DKI bagi Ahok – bukan beban pluralisme dan keragaman sosial. Di satu sisi isu double minority ini membuat Ahok mendapatkan dukungan berbagai kelompok yakni (1) orang Tionghoa yang jumlahnya signifikan di DKI – yang tidak takut diintimidasi lagi, (2) kelompok non-Muslim, (3) kelompok masyarakat semua agama yang mendukung pluralisme. Itu keuntungannya.

Sisi lainnya, isu double minority ini digunakan sebagai kampanye – yang gagal di 2012 dan 2014 – akan efektif karena Ahok tidak memiliki tameng. Pada 2012, Jokowi menjadi tameng bagi Ahok – dan Ahok pun menjadi pendulang suara besar dari kalangan minoritas: sesuatu kecerdasan Prabowo mengajak Ahok menjadi lambang pluralisme di Indonesia dengan Jakarta sebagai barometer. Tameng yang dimaksud adalah Ahok hanya wakil Jokowi – yang muslim, meski MUI DKI mengeluarkan fatwa hahaha. Publik masih ingat FPI dan Muhammad Taufik serta Lulung menentang Ahok menjadi Gubernur DKI bahkan gubernur tandingan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun