Determinasi. Kemajuan. Keteguhan. Independensi. Kekuatan. Pelajaran politik. Itulah pembelajaran terkait dengan penunjukan Jenderal Tito Karnavian sebagai calon tunggal Kapolri. Paparan tentang dua Budi benar-benar menjadi petunjuk bagi pertunjukan tentang pilihan independen Presiden Jokowi tentang calon Kapolri. Jenderal Polisi Tito Karnavian tentu menimbulkan kontroversi di dalam dan luar korps kepolisian. Pun terpilihnya Tito Karnavian juga merupakan strategi Presiden Jokowi pasca konsolidasi politik yang memakan waktu 1.5 tahun.
Mari kita telaah di balik penunjukan Jenderal Tito Karnavian sebagai calon Kapolri dengan penuh kegembiraan suka-cita senang bahagia riang ria menari menyanyi dansa koprol salto guling-guling sambil menertawai betapa para politikus dan pengamat kecele karena Presiden Jokowi justru menunjukkan sikap lebih menghargai bangsa, negara, kepolisian dibandingkan dengan mengikuti kemauan para politikus dan pengamat yang hanya meraba-raba tanpa data A 1 yang dibutuhkan untuk menulis opini – bukan opini saling sahut aksi-reaksi dari media online – yang hasilnya jauh dari kenyataan.
Tito Karnavian sebagai calon Kapolri yang bahkan dipilih di luar sodoran Kompolnas – yang di dalamnya ada unsur kekuatan pendukung Presiden Jokowi. Justru opsi-opsi yang dipaparkan tentang Dua Budi tiga hari sebelum keputusan diambil menjungkirbalikkan semua amatan, analisis, dan harapan. Keputusan Presiden Jokowi jauh lebih komprehensif dengan berbagai pertimbangan yang sangat kekinian ditinjau dari berbagai ranah politik, Polri, kepentingan negara, dan 7 strategi jangka menengah Presiden Jokowi.
Pertama, pelajaran politik bagi para partai politik dan PDIP. Penunjukan calon Kapolri Jenderal Tito Karnavian sebagai calon tunggal Kapolri tidak memberi ruang bagi DPR untuk bermanuver. Peninggalan Presiden Jokowi atas kemauan PDIP dengan corong Masinton Pasaribu dan kalangan Ring 1 menghentak PDIP dan membungkam mereka.
Paparan tentang pertimbangan politik tidak menjadi relevan ketika Presiden Jokowi sudah berada dalam kondisi politik stabil. Masuknya Golkar mendukung secara resmi pemerintahan Presiden Jokowi – meskipun sedikit merugikan bagi PDIP – membuat perimbangan kekuatan timpang di DPR tinggal partai agama PKS, Demokrat dan Gerindra. Dukungan kepada Presiden Jokowi menjadi solid.
Golkar yang sering plin-plan dan merusak irama pemerintahan ketika berkuasa seperti kasus 14 tahun dari zaman reformasi, Presiden Megawati, sampai rezim korup SBY, dikekang dan diikat dengan penunjukan Setya Novanto Papa Minta Saham. Political deal and arrangements yang membuat Golkar tidak berkutik.
Dukungan Golkar tentu membuat PDIP pun tidak terlalu dirugikan karena agenda PDIP tetap dijaga oleh Presiden Jokowi – sebagai kader PDIP bukan Presiden bagi PDIP. Kestabilan politik dan agenda kerja yang tercapai dipastikan menguntungkan bagi PDIP sebagai ruling party sesungguhnya.
Maka PDIP dengan Ibu Megawati tentu lebih mendukung Presiden Jokowi – yang memiliki kekuasaan nyata sebagai Presiden Republik Indonesia – dibandingkan dengan mendengarkan belitan bisikan Ring 1 Megawati. Para anggota Ring 1 Megawati belum tentu memiliki kekuatan selain teriakan tak karuan, seperti omongan Masinton Pasaribu yang tak memiliki dasar selain meraba-raba keinginan Ibu Megawati.
Oleh karena itu, penunjukan Jenderal Tito Karnavian, sebagai pertunjukan independensi, determinasi, keteguhan, keyakinan, fleksibilitas yang menjadi pelajaran politik bagi banyak partai politik dan politikus.
Kedua, pelajaran tentang kekuatan Presiden Jokowi. Awalnya diragukan kemampuan menggalang kekuatan politik – presiden RI kedua tersederhana setelah Presiden Gus Dur yang merupakan mentor Presiden Jokowi – Presiden Jokowi dengan cerdas menghancurkan para lawan politik yang tergabung dalam strategi hebat: UU MD3 yang digunakan untuk menjegal Presiden Jokowi di parlemen.
Psedo-demokrasi ala DPR yang ugal-ugalan secara cerdas diobrak-abrik dengan trisula kekuatan (1) membangun soliditas TNI-Polri, BIN, Netizen, media sosial, dan rakyat, (2) menghancurkan Koalisi Prabowo dan membubarkannya, (3) menarik parpol untuk tunduk pada kemauan the Operators dan the Supreme Operator sendiri sebagai garda kekuatan politik, hukum, dan komuniasi yang solid dan menghentak, (4) konsolidasi dengan orang-orang kuat psedo-power seperti Prabowo Subianto dan Aburizal Bakrie. Hasilnya Golkar dan PPP serta PAN beralih dukungan ke Koalisi Jokowi. Pun UU MD3 kehilangan relevansinya.