[caption caption="Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla I Dok Ninoy N Karundeng"][/caption]
Presiden Jokowi harus belajar dari SBY – dan juga Barrack Obama. Hari-hari ini tengah dilalui oleh Presiden Jokowi dengan satu kenyataan, Presiden Jokowi di persimpangan jalan politik. Pilihan sulit. Sesungguhnya Presiden Jokowi yang tengah popular, saat ini tengah mengalami kegalauan yang akut. Posisi politik dan hukum Golkar dengan pengaruh kuat Setya Novanto menjadi titik paling merisaukan bagi Presiden Jokowi – dan celakanya ditunggu dan dipantau oleh rakyat. Sesunggunya, dalam kondisi seperti ini, Presiden Jokowi bisa belajar dari SBY dan Barrack Obama yang mengalami tekanan dan harapan yang sama dengan Presiden Jokowi di mata rakyat mereka. Â
Mari kita tengok posisi Presiden Jokowi yang tengah dihadapkan oleh tekanan dan upaya memeluk dan membelokkan arah perjuangan membela rakyat oleh mafia dan politikus, seperti yang dialami oleh SBY dan Barrack Obama dengan hati gembira ria riang girang bersorak-sorai bahagia suka-cita senang pesta-pora menari menyanyi bahagia sentosa selamanya senantiasa.
Presiden Jokowi terpilih karena rakyat pemilih memiliki harapan yang besar kepada sosok yang (1) sederhana, (2) cerdas, (3) jujur, (4) berani, (5) tidak memiliki hutang masa lalu. Presiden Jokowi terpilih dan menyingkirkan Prabowo karena publik menilai Jokowi-JK mampu keluar dari status quo – dengan modal tidak memiliki hutang masa lalu. Namun, kini Presiden Jokowi tengah berada di persimpangan dan keraguan politik yang sangat membahayakan bagi Presiden Jokowi dan rakyat pendukungnya.
Untuk itu, Presiden Jokowi harus belajar banyak dari SBY dan Obama – yang kini hanya menyisakan 9 bulan pemerintahannya. Rakyat di Indonesia dan Amerika Serikat memiliki harapan tinggi terhadap SBY di masa lalu, serta Obama di Amerika Serikat.
Belajar dari SBY. Awal berkuasa SBY berusaha mengidentifikasi diri membela rakyat, namun ketika pragmatism muncul, SBY menjadi penghamba partai yang akhirnya menyingkirkannya dari tujuan awal: membangun bangsa. Pun sesungguhnya SBY juga memiliki modal satu-satunya yakni tidak memiliki hutang masa lalu (bersih). Selebihnya, justru karena sosok SBY yang selama 5 tahun terakhir berkuasa tergambar sebagai (1) elitis, menjaga jarak dengan rakyat, (2) tidak berani bersikap dan selalu ambigu, (3) plastis dan dibuat-buat, tidak apa adanya, penuh pencitraan, (4) penakut dalam membuat keputusan besar, hingga melakukan pembiaran dan bahkan akhirnya dikendalikan oleh pebisnis, mafia dan koruptor seperti ketidakberanian memberantas illegal fishing dan juga membubarkan Petral sebagai sarang korupsi.
Akibat selanjutnya, perselingkuhan polikus dengan dunia mafia menghasilkan ekonomi yang porak-poranda dan terbengkalainya pembangunan bangsa dan negara. SBY gagal memenuhi dan memanfaatkan kekuatan yakni: tidak memiliki hutang masa lalu. Namun, ketidakmilikian hutang masa lalu dan tidak terkait dengan masa lalu plus bonus sebagai bekas tentara tidak dimanfaatkan oleh SBY.
Justru SBY dengan gagahnya memeluk dan membangun hutang dengan para begundal dan dimanfaatkan oleh para begundal – sebagai akibat kelemahan dalam kepemimpinan – terjadinya banyak skandal misalnya Bank Century yang mengotori nama Wapres Boediono. Dan korupsi lebih dahsyat lagi BP Migas – sekarang SKK Migas – yang dilakukan oleh Raden Priyono untuk PT Trans Pacific Petrochemical Indontama yang merugikan negara sebesar Rp 35 triliun.
Tak pelak lagi Petral dengan mafia migas M. Riza Chalid yang disebut di belakang mayoritas penunjukan menteri SBY lewat Hatta Rajasa jelas mencorang independensi dan kewibawaan SBY – yang takluk dan mendengarkan bisikan maut kalangan pebisnis dan politikus dan mafia. Kerugian negara selama sepuluh tahun bernilai ribuan triliun, tergambar di laut, darat, hutan dan air.
Akibatnya, karena SBY tidak serius memanfaatkan kekuatan itu, sungguh menganaskan bagi rakyat. Rakyat kehilangan harapan dan akhirnya frustasi – di tengah pesta-pora para para politikus dan pebisnis dan mafia yang merampok kekayaan negara, sekaligus memiskinkan rakyat Indonesia.
Belajar dari Obama. Di Amerika Serikat, gambaran yang sama persis seperti pesta pelantikan Presiden Jokowi di Jakarta. Barrack Obama disambut jutaan masyarakat ketika mengucapkan sumpah sebagai Presiden Amerika Serikat dengan penuh antusias. Harapan baru. Afro-Amerika pertama menjadi Presiden AS. Sama seperti Presiden Jokowi yang hanya dalam tempo 3 tahun naik dari Walikota Solo, lalu Gubernur DKI Jakarta, dan dalam kurang dari dua tahun menjadi Presiden Republik Indonesia. Barrack Obama naik ke puncak pimpinan tertinggi di AS hanya setelah 4 tahun pertama sebagai seorang Senator.