[caption caption="Donald Trump dan Setya Novanto I Sumber nyanyut.com"][/caption]Naiknya Presiden Jokowi dan fenomena kemenangan Donald Trump di Amerika Serikat sungguh mencengangkan. Noam Chomsky pun angkat berbicara mengomentari kemenangan di pemilihan pendahuluan Donald Trump. Namun, sejatinya kemenangan Presiden Jokowi di Indonesia dan dukungan rakyat Amerika Serikat dalam pemilihan pendahuluan Partai Republik di dua negara bagian South Carolina dan Nevada, merupakan paradoks politik.
Mari kita telaah fenomena kemunculan Jokowi dan Donald Trump – sahabat Setya Novanto – yang menjadi harapan rakyat karena adanya kesamaan kondisi politis dominasi politik atas rakyat yang tak tersentuh dan rakyat tak berkutik melawannya di AS yang dikuasai oleh neokapitalisme dan Indonesia yang dikuasai oleh mafia dan kapitalis dengan hati gembira riang ria senang bahagia suka-cita menari menyanyi menari pesta-pora selamanya senantiasa, di tengah rakyat yang tak berdaya.
Gambaran frustasi dan ketidakpercayaan rakyat Indonesia terhadap status quo di Indonesia dan kelompok the establishment di Amerika Serikat menjadi sangat menarik yang keduanya menggambarkan kesamaan: political corruption alias politik korup. Kondisi itu pun ditambah dengan arah ekonomi Indonesia yang menuju ke ekonomi neokapitalisme dan liberalisme yang terbukti kini di Amerika Serikat justru menimbulkan masalah besar yakni kemiskinan dan kehilangan harapan rakyat atas kekuasan modal segelintir orang, yang membuat rakyat tak berdaya.
Sebagian besar rakyat di AS dan Indonesia – juga negara-negara Barat – hanya menjadi korban dan buruh bahi sebagian kecil orang yang disebut pemilik modal. Menghadapi kekuasan menentukan kehidupan ekonomi seperti itu, tidak juga di Amerika Serikat, di Indonesia pun rakyat tak berdaya.
Dalam keadaan seperti itu, yang menarik di kedua negara itu menggambarkan upaya rakyat keluar dari kondisi rakyat tanpa daya dan kekuatan melawan dan menjadikan mereka hanya sebagai kelompok penggerutu. Rakyat tak berdaya menghadapi kekuatan yang invinsible tetapi nyata membelenggu seluruh aspek kehidupan, ekonomi dan sosial. Rakyat tak berdaya.
Noam Chomsky menyebutkan bahwa perasaan rakyat Amerika yang terisolasi, tak berdaya, dan menjadi korban kekuatan yang tak mampu dikenali yang menguasai rakyat. Keadaan masyarakat Amerika Serikat saat ini lebih buruk dari Resesi Besar tahun 1930 dan lebih parah dari sekedar kemiskinan.
Kini, rakyat Amerika Serikat tidak memiliki kekuatan dan harapan karena political establishment Partai Republik yang asal beda dengan Partai Demokrat. Munculnya, Tea Party yang menguasai para Senator dan anggota DPR AS dari Partai Republik menjadi bukti bahwa partai politik dikendalikan oleh sekelompok orang, lobbyist, yang menguasai seluruh kehidupan politik yang bermuara mengorbankan rakyat. Rakyat tak berdaya.
Salah satu program kesejahteraan kesehatan rakyat bahkan disebut Obamacare (semacam JKN di Indonesia) ditentang dan bahkan ingin dihapus selama 7 tahun kekuasaan Presiden Obama. Program kesehatan ini ironisnya sekarang Ted Cruz, salah satu kandidat Presiden AS dari Partai Republik, padahal selalu ditentang oleh Partai Republik – sebuah kemunafikan yang merugikan rakyat. Bahkan pada 2014, pendanaan publik pmerintah pernah di-shut-down hanya demi kepentingan citra politik asal berbeda dengan Partai Demokrat. Rakyat pun dirugikan dan tak berdaya.
Bukan hanya kemenangan sebagai Presiden RI, sikap Presiden Jokowi yang menyandarkan dukungan rakyat dan media adalah gambaran the establishment yakni kekuatan politik, uang dan pemodal yang menggerogoti sekaligus mencengkeram rakyat. Rakyat begitu tidak berdaya melihat sikap penguasa, misalnnya sepak-terjang para partai dan DPR-D yang korup dan merasa tak tersentuh hukum – sementara rakyat tak berdaya melihat polah tingkah politikus yang ugal-ugalan.
Bahkan secara terang-terangan DPR akan menghalangi KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dengan melakukan pelemahan. Hanya karena desakan rakyat maka Presiden Jokowi melakukan lobby dengan DPR dan hanya mendapatkan penundaan pembahasan revisi UU KPK ini. Artinya, Presiden Jokowi - sebaga simbol perlawanan rakyat terhadap status quo - kalah oleh DPR dan rakyat kembali tidak berdaya.
Berbagai kebijakan dan legislasi di DPR baik di AS maupun di Indonesia ditujukan bukan untuk kepentingan rakyat, melainkan untuk kepentingan political status quo – yang tengah dibongkar oleh Presiden Jokowi dengan menggalang dukungan rakyat – dan the establishment yang didukung oleh modal alias kapitalisme. Rakyat pun tak berdaya.