Prabowo memenangkan Pilpres 2014 versi LSN, Puskaptis, JSI dan IRC yang melakukan QC (quick count) termasuk hasil RC (real count) interal PKS (Partai Keadilan Sejahtera). Ternyata hasil quick count mereka memiliki hasil yang berbeda dalam melakukan hitung cepat alias quick count dengan 7 lembaga survei lainnya.
Anehnya, tujuh lembaga yang berbeda hasil dengan LSN dan tiga rekannya itu adalah para lembaga survei yang paling kredibel di tanah air: SMRC, RRI, LSI, Litbang Kompas, Poltracking, CSIS-Cyrus, dan Populi Center.
Publik perlu diberitahu penyebab utama suatu survei memberikan hasil yang berbeda bahkan salah. Apakah sebabnya terjadi perbedaan hasil QC yang satu memenangkan Prahara dan satunya lagi Jokowi? Mari kita telaah.
Sebenarnya, survei seperti quick count bukanlah hal yang gampang namun juga bukan hal yang sulit untuk dilakukan. Survei quick count adalah upaya melakkan hitung cepat dengan memanfaatkan sampling (TPS) dengan jumlah tertentu yang dianggap mewakili keseluruhan TPS. Penentu kebenaran dan keakuratan hasil hitung cepat (quick count) paling kurang ada tiga hal.
Pertama, (1) pengambilan sampling (TPS) populasi harus benar, kedua, (2) metodologi penentuan pengambilan sampling (TPS) juga harus benar, dan ketiga, (3) surveyor harus jujur. Ketiga hal ini yang jika salah satunya dilanggar maka akan menghasilkan kesalahan hasil.
LSN, Puskaptis, JSI, IRC memang memiliki reputasi sebagai lembaga survei yang terkenal dengan berbagai hasil survei yang spektakuler - cenderung ngawur-ngawuran, termasuk LSN memrediksi Gerindra menjadi pemenang kedua pileg di belakang PDIP dengan selisih 0,1%. Dan, bukan hanya sekali dua mereka menghasilkan hasil survei yang spektakuler.
Namun, yang mencengangkan tentu ketika LSN, Puskaptis, JSI dan IRC merilis hasil Quick Count (QC) yang bertolak belakang dengan 7 lembaga survei lainnya. Mereka memenangkan Prabowo-Hatta yang unggul atas Jokowi-JK dengan margin sekitar 1%. Sontak publik terpecah melihat 2 hasil QC oleh dua kelompok: yang satu memercayai Prabowo-Hatta sebagai pemenang, lainnya menganggap Jokowi-JK sebagai presiden-wakil presiden terpilih.
Dua hasil hitung cepat (quick count) yang bertolak belakang itu serta-merta mendelegitimasi reputasi semua lembaga survei. Artinya, quick count dianggap sebagai suatu perhitungan cepat yang tak layak dipercayai. QC hanyalah upaya mendapatkan data cepat sebagai pembanding yang tak perlu dipercayai. Padahal, dalam QC pileg, ketujuh lembaga survei termasuk Litbang Kompas termasuk lembaga yang paling kredibel melakukan hitung cepat. Hasil QC pemilu legislatif lalu nyaris sama dengan hasil pileg yang dilakukan oleh KPU.
LSN, Puskptis, JSI dan IRC kemungkinan gagal menerapkan pengambilan sampling yang benar. Artinya, jika sampling sebanyak misalnya 2,000-an ternyata tidak diambil secara benar yakni mewakili kemajemukan dan cenderung homogen - artinya sampel TPS (tempat pemungutan suara) tidak mewakili sebaran pendukung yang beraneka - seperti basis pendukung sendiri, maka dapat dipastikan hasilnya pun akan berbeda dengan yang pengambilan samplingnya berdasarkan TPS yang heterogen.
Selain itu, terlalu menentukan sampel berdasarkan atau abai terhadap TPS yang homogen pun akan menghasilkan angka yang salah. Jadi dalam hal pengambilan dan penentuan TPS yang akan dijadikan sample dibutuhkan satu survei awal dengan metodologi yang tepat pula.
Dengan demikian, survei untuk Quick Count harus didahului dengan pemetaan tentang demografi, sebaran parpol pendukung, kecenderungan pemilih di suatu tempat pemungutan suara yang hendak dijadikan sample. Untuk itu maka metodologi penentuan TPS yang akan dijadikan sample harus mewakili sebaran dukungan yang adil dan nyata: sampel misalnya 2000-an TPS mewakili 470,000-an TPS di seluruh Indonesia.