Ya. Prabowo, Ical dan Jokowi tak bisa hidup di Kerajaan Kalingga. Kerajaan yang penuh dengan keadilan dan kejujuran di Bumi Nusantara yang dipimpin oleh Ratu Maharani Shima. Justru Prabowo, Aburizal Bakrie, dan Jokowi menjadi pelajaran politik yang mahal dan luput dari amatan publik. Pelajaran dan latar belakang perseteruan politik itu menyeret kepentingan bangsa dan negara. Sepak-terjang mereka dan orang-orang di belakang mereka menciptkan fenomena politik yang belum pernah terjadi sebelumnya: perseteruan penggambaran politik baik dan politik buruk: yang ujungnya kepentingan ekonomi. Ini fakta yang dirasakan publik. Akibat dari pelajaran politik ini adalah publik menunggu dan terdiam mengamati. Bagaimana agenda politik-ekonomi Prabowo, Ical dan Jokowi dan pelajaran yang bisa dipetik? Mari kita telaah dengan hati gembira sejahtera sentosa bahagia senang riang ria.
Paling kurang ada satu pelajaran yang dapat dipetik dari sepak-terjang Prabowo, Ical dan Jokowi yang memberikan pelajaran kepada publik tentang makna politik. Yakni tentang kepentingan ekonomi dalam politik. Politik selalu terkait dengan kepentingan ekonomi. Publik suka dibuat culun oleh para politikus yang gaya-gayaan mengatasnamakan rakyat. Contoh Golkar menyebut ‘Suara Golkar Suara Rakyat'. Partai Demokrat menyatakan demi kesejahteraan rakyat "Katakan tidak pada korupsi". PDIP menyebut ‘Partainya Wong Cilik'.
Golkar mengatasnamakan suara elite-nya suara rakyat. (Padahal suara para elite tak mendengarkan rakyat. Contoh UU MD3 dan UU Pilkada yang menghendaki Golkar bukan rakyat). Demokrat menolak korupsi untuk kesejahteraan rakyat. Padahal mereka korupsi. PDIP berjuang untuk wong cilik, ( padahal faktanya kredit usaha untuk wong cilik susah, uang di semua bank plat merah dikapling-kapling untuk para pengusaha besar.) Semua partai yang berkuasa tidak memihak rakyat. Bahkan rakyat kecil yang benar-benar mau berusaha dan tidak ngemplang - data menunjukkan kredit macet banyak dilakukan oleh para pengusaha kelas menengah atas dengan menipu besaran asset jaminan. Mereka memihak para pengusaha besar.
Maka karena politik terkait dengan ekonomi, maka setiap perebutan kekuasaan - yang normal dan benar - sebenarnya hanyalah persoalan untuk memenuhi (1) sepiring makanan, (2) satu gelas air minum, (3) satu tempat tidur, (4) satu buah rumah, (5) sehelai pakaian, (6) sebuah kendaraan dan sebuah hobi. Tak ada manusia yang makan secara bersamaan dengan dua piring di dua tempat terpisah. Tak ada orang tidur di dua kasur terpisah. Esensinya manusia hanya membutuhkan sedikit makanan dan sedikit kebutuhan. Jika manusia mengambil kebutuhan secukupnya dan tidak serakah maka dapat dipastikan akan tercipta keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Yang menjadikan masalah dan terciptanya kegiatan yang disebut politik adalah (1) karena adanya orang serakah yang mau mengelola sumber ekonomi dan (2) adanya sebagian besar masyarakat yang tidak menyukai politik dan menyerahkannya kepada kelompok kecil orang serakah yang disebut sebagai politikus.
Tak mengherankan maka politikus selalu terkait di belakangnya adalah pengusaha. Celakanya kebanyakan pengusaha culas dan serakah. Semua hal akan dilakukan untuk menguasai seluruh hajat hidup orang banyak. Pengusaha rakus dan hitam selalu berada di balik para politikus - selain yang putih tentunya.
Kondisi ini ditambah lagi dengan para pentolan politik yag jauh dari keadilan. Padahal ratusan tahun yang lalu, seorang perempuan cantik jelita, pernah memertontonkan kehidupan adil dan makmur bernama Ratu Maharani Shima. Ratu Kerajaan Kalingga ini, karena ketegasannnya, karena kejujurannya, membuat rakyat jujur - karena Ratu Shima dan para aparat Kerajaan Kalingga juga jujur. Dikisahkan bahkan ketika uang emas dan perak ditaruh di pundi-pundi alun-alun pun, tak seorang pun akan tertarik untuk mendekati; apalagi mencuri.
Prabowo, Ical dan Jokowi, dan para pemimpin Indonesia sekarang seharusnya mencontoh Maharani Shima yang jujur. Bahwa Indonesia atau di Bumi Indonesia pernah hidup pemimpin, dan Indonesia memiliki contoh nyata bahwa kita bisa hidup makmur dan damai penuh keadilan jika pemimpinnya adil dan jujur. Sifat ini sangat jauh dari yang terjadi sekarang.
Bukan hanya masalah jujur, bahkan kewajiban pun oleh politikus semacam Ical, seperti kewajiban membayar ganti rugi Lumpur Lapindo pun tak mau membayar. Jangankan berbuat jujur, yang namanya kewajiban pun tak dipenuhi. Ngemplang pajak menjadi alat memerkaya diri. Keinginan menguasai sumber ekonomi seperti tersebut di atas menjadi awal majunya Prabowo yang menginginkan sebanyak yang bisa didapatkan; identik dengan kepentingan Ical. Maka tak salah ketika Ical mendukung Prabowo yang sama-sama memiliki keinginan yang parallel: politik sebagai alat menguasai sumber ekonomi sebanyak-banyaknya.
Majunya Prabowo sebagai calon presiden juga didukung oleh kalangan para pengusaha yang dekat dengan Amerika. Hal itu diawali dengan pertemuan demi pertemuan yang dilakukan oleh Hashim seolah Prabowo pasti menang. Bahkan untuk mendukung kemenangan Prabowo para pengusaha membiayai Rob Allyn ahli strategi kampanye hitam Amerika. Maka muncullah Ical yang menempel ketat ke mana pun Prabowo pergi. Ke mana pun, di situ ada Ical di sana ada Prabowo. Bahkan Hashim menyadari pengaruh kekuatan politik-ekonomi Amerika maka menyampaikan bahwa Amerika di mata Hashim dan Prabowo sebagai kekuatan.
Maka ketika kekalahan terjadi, jelas Ical dan Prabowo tak bisa menyembuyikan kekecewaannya. Kegagalan memenangi pertarungan politik akan berdampak pada (1) berkurangnya jumlah potensi nasi yang bisa dimakan - walau sekali makan satu piring, (2) berkurangnya potensi minum air - walau hanya bisa minum segelas air sekali waktu (3) berkurangnya potensi jumlah kasur yang bisa ditiduri - walau tidur hanya perlu satu kasur, (5) berkurangnya potensi memiliki puluhan rumah - walau sekali waktu hanya bisa meninggali satu rumah, (6) berkurangnya potensi memakai ribuan pakaian - walau sekali waktu hanya sehelai pakaian yang bisa dipakai, dan (6) berkurangnya potensi memiliki ratusan kendaraan dan hobi - walau sekali waktu hanya bisa menikmati satu kendaraan. Kehancuran potensi ekonomi diri dan lingkungannya inilah yang membuat mereka tak bisa menerima kekalahan.