Pollycarpus bebas. Penggiat LSM HAM berteriak. Angin perubahan pemerintahan menyebabkan TPF (Tim Pencari Fakta) mendorong untuk menuntaskan kasus tewasnya Munir. Kini, TPF semakin berteriak dengan menyebut AM Hendropriyono terlibat dalam kasus itu, setelah gagal menyeret Muchdi PR. Motif tewasnya Munir pun oleh TPF diseolahkan dikaitkan dengan kepentingan militer yakni kasus yang membelenggu masa sekitaran 1996-1997 ketika Tim Mawar pimpinan Prabowo bergerak menegakkan tugas keamanan dan ketertiban. Benarkah Hendropriyono dan Prabowo terlibat? Mari kita telaah dengan hati bahagia riang gembira ria.
Setelah gagal mengriminalisasikan Muchdi PR yang dibebaskan oleh pengadilan, TPF Munir, menyasar Hendropriyono sebagai target berikutnya. TPF mengarahkan dan memskenariokan bahwa Munir tewas atas kepentingan BIN. Bahwa Munir tewas karena tindakannya sebagai pegiat HAM. Bahwa Munir tewas karena dia orang Kontras. Bahwa Munir pejuang HAM. TPF Munir memandang bahwa Munir tewas karena sepak terjang yang bersentuhan dengan aktivitasnya sebagai kepala Kontras.
Padahal dalam pandangan BIN, Munir tidak termasuk dalam catatan apa pun dan tidak tercatat sebagai ancaman, tantangan, dan gangguan baik keamanan maupun gangguan riak ketertiban. Munir tidak penting dalam kontestasi politik, sosial, budaya, ideologi yang mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara. Munir pun bukanlah Imam Samudera, atau Imron bin Muhammad Zein, atau Hambali atau kelompok yang masuk peta nyata terdata gerakan teroris eks-pejuang Afghanistan yang harus diberitakan dan diinformasikan untuk dibasmi oleh aparat keamanan semisal Densus 88 dan operasi khusus lainnya. Munir tidak tercatat dan tidak penting untuk dimusnahkan.
Dalam kurun waktu itu, penyembuhan kasus kekerasan Poso, Ambon, Kalimantan dan kejahatan BLBI menjadi prioritas penanganan karena saat itu BLBI dan BPPN menjadi magnet kongkalikong yang merugikan negara sampai ratusan triliun rupiah dan hanya dimakan oleh segelintir mafia perbankan dan para pejabat BPPN. Kasus kejahatan ekonomi saat terbunuhnya Munir lebih mendominasi - termasuk tewasnya Baharuddin Lopa yang dibunuh oleh agen partikelir liar yang disewa oleh mafia hukum dan ekonomi waktu itu. Maka Munir pada saat itu sama sekali bukan siapa-siapa di mata aparat keamanan dan apalagi BIN. Jauh dan jauh tak ada urgensinya di mata siapa pun kecuali penggiat HAM yang ingin menjadikan kasus Munir sebagai bahan pembuat kliping untuk mencari dana ke luar negeri.
TPF Munir pun gagal mendapatkan motif tewasnya Munir. Apa motifnya? Selain gagal mendapatkan motif, TPF Munir pun gagal mendapatkan bukti-bukti otentik dan alat bukti tewasnya Munir selain kandungan arsenic dalam tubuh Munir. Kandungan arsenic dalam jumlah besar itu tak mungkin dibubuhkan di Bandara Changi. Kenapa? CCTV tak menunjukkan sama sekali di Café Bean yang diduga menjadi tempat seseorang memasukkan racun ke dalam gelas Munir.
Ahli forensic almarhum Mu'in Idris menduga hanya di situlah racun itu diduga - sekali lagi diduga dimasukkan dalam minuman. Namun, Mu'in Idris pun gagal menyampaikan 100% tentang kandungan arsenic tersebut 100% baru atau akumulasi penggunaan secara terus-menerus karena Munir terkenal memiliki riwayat penyakit liver. Kondisi kesehatan Munir yang mengonsumsi obat liar di luar diabaikan oleh TPF.
Fakta bertentangan lainnya adalah TPF hanya berpegangan pada hasil otopsi yang menyebut bahwa reaksi jumlah besar dikonsumsi Munir 9 jam sebelum Munir tewas di angkasa Balkan. Artinya kemungkinan Munir mengonsumsi di atas udara perbatasan Thailand-Vietnam atau sekitar 27 menit terbang. Jika hasil otopsi ini dijadikan pegangan, maka Pollycarpus yang disebut oleh Ongen terlihat bersama Munir di Café Bean Bandara Changi - yang Ongen akhirnya mencabut kesaksian palsu akibat tekanan penyidik Matheus Salempang - menjadi terbantahkan.
Jika demikian, maka harus ada orang lain di atas pesawat terbang di udara Vietnam yang menyuguhkan racun arsenic kepada Munir. Siapa? Pollycarpus tak ikut dalam penerbangan itu. Yeti Susmiarti dan Manajer Pantri Garuda Oedi Irianto pun jika memang terbukti seharusnya diperiksa. Namun faktanya baik Yeti maupun Oedi bebas dan tak tersangkut. Kenapa Pollycarpus jadi pesakitan? Karena dia Manajer Keamanan pada saat itu.
Tentang motif tewasnya Munir yang dihubungkan dengan keterlibatan Munir mengkritisi dan mengetahui hilangnya para aktivis terkait dengan pejabat militer dan bukan hanya Prabowo juga hanya hipotesa dan dugaan yang disampaikan oleh TPF Munir. Tak ada bukti otentik terkait keterlibatan unsur militer selain yang sudah terbukti yakni Operasi Mawar - yang menyebabkan Prabowo keluar dari dinas militer. Dugaan keterlibatan para pentolan militer hanya dugaan semata yang tidak memiliki kekuatan hukum. Dalam hukum positif, suatu peristiwa dan motif terhadap tindakan hukum harus jelas dan disertai bukti otentik.
Dalam kasus Munir, bukti yang disampaikan oleh TPF berita di persidangan tentang adalah surat yang dikirim oleh As'ad - kini berpeluang menjadi Kepala BIN 2014-2019 - kepada Manajemen Garuda. Selain itu juga dianggap adanya pembicaraan lewat telepon antara Muchdi PR dan Pollycarpus - tak ada satu pun menyebut Munir dan tanpa sandi sama sekali. Jika itu operasi intelejen, maka pasti ada sandi. Jangankan BIN, lah Angelina Sondakh dan Luthfi Hasan Ishaaq pun memakai sandi. Angie memakai sandi ‘apel malang, apel washington' untuk operasi korupsinya. LHI memakai sandi pustun dan lain-lain.
Kegagalan menampilkan dan membangun motif itu tak menghentikan TPF Munir menduga-duga. Gagal menyasar Muchdi PR, maka kini tewasnya Munir dikaitkan oleh TPF Munir - dan LSM pembuat kliping HAM yang digunakan untuk mengemis dana dari luar negeri - dengan dugaan-dugaan terhadap Om AM Hendropriyono terkait pentolan militer pada masa rezim eyang saya Presiden Soeharto, selain Prabowo yang disebut-sebut bahkan Prabowo pernah dipanggil oleh Komnas HAM tetapi mangkir.