Di tengah kisruh sepakbola Indonesia, euphoria tentang kemenangan dan harapan persis sama dengan de javu pada tahun 2010. Kala itu pendongkelan untuk menggusur Nurdin Halid tengah berlangsung, liga pun dua. IPL dan ISL. Bedanya ISL legal waktu itu, IPL tak legal. Kini yang tengah berlangsung adalah kisruh pula. Namun di tengah kekisruhan itu, semuanya sepakat bahwa hari ini adalah hari yang ditunggu oleh jutaan bangsa Indonesia.
Pertandingan Indonesia versus Malaysia bukan hanya sekedar tontonan sepakbola. Lebih dari itu darah nasionalisme mendidih di sana. Jika kita ke KL - maka yang kita akan rasakan adalah suasana hangat, namun menyengat. Terdapat ribuan TKI baik yang legal dan tak legal. Namun secara umum yang tampak dalam hubungan Indonesia-Malaysia, Malaysia lebih cenderung merendahkan Indonesia. Bahkan untuk menyebut Indonesia saja sebagian besar warga Malaysia tidak bersedia: Indon adalah sebutan untuk negara terbesar nomor 14 di muka Bumi dengan 250 juta penduduk. Ini sungguh menghinakan martabat bangsa Indonesia.
Sejak dirampasnya Sipadan dan Ligitan dan gerakan untuk merampok sumber daya alam Laut Ambalat, Malaysia merasa di atas angin. Indonesia dianggap sebagai Turki Ottoman, a lame duck, negara besar yang lumpuh. Kondisi carut-marut di dalam negeri, korupsi, kerusuhan, dan kriminalitas di Indonesia yang marak menyebabkan penghargaan Malaysia atas Indonesia semakin menurun. Indonesia dianggap negara miskin, bodoh dan tidak pantas dihargai oleh Malaysia.
Maka ketika Timnas Indonesia berhadapan dengan Timnas Malaysia, aroma dan bau nasionalisme lebih tampak dan gempita sepakbola menjadi bukan hanya sekedar pertandingan 11 orang Indonesia melawan 11 orang Malaysia di lapangan seluas 110-90 meter itu. Indonesia tak mau direndahkan dan martabat sebagai negara besar harus dijaga. Sementara Malaysia menganggap bahwa Indonesia bukanlah suatu negara yang harus ditakuti.
Buktinya, patok garis perbatasan darat di Pulau Kalimantan digeser sejauh puluhan kilometer kea rah wilayah Indonesia oleh Malaysia - sementara DPR RI hanya diam seribu basa karena sibuk untuk mengatur korupsi. Juga karena membela dan mengawasi perbatasan negara tidak menghasilkan uang untuk para anggota DPR, berbeda dengan mengatur dan mengurusi proyek, rajin bukan main. Nasionalisme DPR adalah nasionalisme proyek-proyek, bukan nasionalisme membara seperti pencinta sepakbola dan pemain sepakbola.
Maka hari ini, nasionalisme para pemain sepakbola menggelegak. Ingatan penghinaan Malaysia atas Indonesia dalam hal TKI, pengakuan dan peng-klaim-an budaya Indonesia oleh Malaysia, dan perampasan Sipadan dan Ligitan - yang akan terus menjadi luka nasionalisme Indonesia sampai kiamat - akan ditumpahkan dalam pertandingan sepakbola. Kemenangan Indonesia versus Malaysia adalah salah satu obat bagi derita dan terkoyaknya rasa nasionalisme Indonesia.
Garuda, selamat berjuang di tengah gelombang kesulitan di dalam dan di luar lapangan pertandingan. Hanya dengan kemenangan atas Malaysia - atau minimal draw atau seri - Indonesia akan puas karena Malaysia tersingkir dari turnamen. Selamat berjuang Timnas Indonesia! Selamat berjuang Bambang Pamungkas, Andik Vermansyah, Raphael Meitimo, Van Baukering, Tonnie Cussel, dan semua pemain lainnya....!!!
Jadi betapa pentingnya para pemain sepakbola Timnas Indonesia. Anggota squad Timnas Indonesia lebih dihargai dan dicintai daripada para anggota DPR yang sibuk mengurus proyek. Jika harus dipilih menjadi idola, maka lebih layak para pemain Timnas Indonesia daripada anggota DPR yang sudah kehilangan nasionalismenya karena hobi para anggota DPR yang korup!
Timnas Indonesia yang akan bermain melawan Malaysia hari ini akan menyedot dan mendorong rasa nasionalisme bangsa Indonesia, mengalahkan para anggota DPR yang tak mampu membangun nasionalisme, bahkan merontokkan nasionalisme Indonesia dan menjadi andil hilangnya Sipadan dan Ligitan yang tidak diurus. Benteng nasionalisme ternyata bisa dibangun dari olah raga; dan sepakbola ada dalam tataran paling atas pemantik nasionalisme. Sementara DPR membuat alergi!
Sekali lagi, Garuda kau harus menang demi nasionalisme yang menggelegak, untuk jembatan pengingat bangsa bahwa suatu saat Sipadan dan Ligitan akan kita rebut kembali. Kini Piala AFF yang kita rebut dulu, untuk membangun harga diri dan rasa nasionalisme, sebagai modal merebut Sipadan dan Ligitan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H